Rakyat Butuh Partai, Bukan Panggung Figur
Kekuatan politik sejati lahir ketika partai mendekat pada masyarakat
Oleh: Muhamad Alfarozy
Mahasiswa Program Studi Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar
Budaya politik hari ini lebih banyak memuja figur personal daripada partai politik. Logikanya sudah mulai terbalik, padahal yang seharusnya mendidik dan melahirkan pemimpin adalah partai politik. Idealnya memang seperti itu. Partai politik menempa kader melalui proses pendidikan, seleksi, dan kemudian memperkenalkan mereka kepada masyarakat sebagai hasil dari proses pembinaan yang panjang. Kami telah mendidik kader-kader yang militan dan berpihak kepada masyarakat — seharusnya itulah kalimat yang keluar dari setiap partai politik.
Namun kenyataannya, partai politik di Indonesia, terutama di tingkat daerah, cenderung pasif. Mereka jarang turun langsung ke masyarakat. Padahal seharusnya mereka datang dan berkata, “Ayo bergabung dengan partai kami. Kami akan memberikan pelatihan, pendidikan, dan mari bersama-sama berjuang demi kepentingan rakyat.”
Alangkah baiknya jika partai politik di negeri ini benar-benar seperti itu — bergerak hingga ke akar rumput, tidak hanya datang membawa janji-janji, tetapi juga berusaha mewujudkannya bersama masyarakat. Dengan begitu, masyarakat akan merasa dirangkul oleh partai politik karena diajak berpikir, berdiskusi, dan bergerak bersama untuk merumuskan persoalan yang mereka hadapi serta mencari solusinya secara kolektif. Bayangkan jika harapan semacam itu benar-benar terwujud. Betapa bahagianya hati kita melihat partai politik turun dari menara gading, menyapa masyarakat, dan mendidik mereka dengan bekal pendidikan politik yang nyata.
Coba kita bayangkan apabila partai politik di negeri ini betul-betul seperti itu. Partai politik akan menjadi lebih kuat, dekat dengan masyarakat, dan mungkin saja masyarakat pun mau ikut membantu keuangan partai. Jika masyarakat memiliki rasa memiliki terhadap partai politik dan menyadari pentingnya partisipasi dalam merumuskan jawaban-jawaban sosial politik di lingkungannya, maka sistem demokrasi di negeri ini akan hidup dengan indah. Merumuskan persoalan bukan lagi menjadi urusan individu, tetapi dilakukan bersama-sama — berdiskusi sambil minum kopi, teh, dan mungkin merokok Surya Filter isi 12.
Celah bagi para oligarki akan tertutup ketika partai politik sudah benar-benar kuat dengan dukungan masyarakat. Mengapa demikian? Karena partai politik yang kuat tidak lagi bergantung pada uang besar untuk menjalankan kegiatan sosialisasi atau seminar formal. Masyarakat sudah menaruh kepercayaan kepada partai, dan kepercayaan itu menjadi modal sosial yang jauh lebih berharga daripada dana dari segelintir elite. Jika khayalan itu benar-benar dijalankan, partai politik tidak akan lagi bergantung pada sumbangan oligarki untuk menggerakkan mesinnya.
Terlebih jika semua partai politik memiliki agenda yang sama: mencerdaskan masyarakat. Mereka bisa membuat program open recruitment kader partai secara terbuka dengan persyaratan yang jelas, lalu mensosialisasikannya kepada masyarakat dengan berbagai cara sesuai aturan yang berlaku. Idealnya, setiap tahun partai politik mengagendakan proses rekrutmen terbuka ini — entah dilakukan lima kali dalam setahun atau sesuai kebijakan masing-masing partai. Namun, perlu ada batas minimal kegiatan open recruitment yang diatur dalam undang-undang partai politik, agar partai benar-benar menjalankan fungsinya dan aktif turun ke masyarakat.
Dengan begitu, masyarakat akan melihat bahwa partai politik hadir dan bekerja nyata di tengah mereka. Masyarakat pun bebas menentukan pilihan: mau bergabung ke partai A, partai B, atau partai mana pun tanpa paksaan. Keputusan itu harus datang dari kesadaran dan keinginan pribadi. Jika partai politik mampu mensosialisasikan programnya dengan baik — menjelaskan arah perjuangan dan tujuan yang sejalan dengan kepentingan rakyat — maka masyarakat akan dengan sendirinya memutuskan untuk bergabung dan berjuang bersama partai tersebut.
Selain itu, partai politik juga harus memiliki sekretariat di setiap tingkatan, mulai dari pusat hingga daerah. Fungsinya bukan sekadar simbol keberadaan partai, tetapi sebagai tempat masyarakat menyampaikan aduan dan persoalan yang mereka hadapi. Setiap aduan yang masuk harus dirumuskan, dikaji, dan kemudian disalurkan kepada kader-kader partai yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatif. Dari situ baru bisa terlihat bahwa partai politik benar-benar berfungsi sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah.
Dengan cara seperti itu, pembagian kerja di dalam tubuh partai pun menjadi jelas. Pengurus harian partai bertugas menampung aspirasi dan mengelola data kebutuhan masyarakat, sementara kader yang duduk di kursi kekuasaan — baik di eksekutif maupun legislatif — memperjuangkan hasil kajian tersebut di ruang kebijakan. Ada efisiensi di situ, karena setiap lapisan kader menjalankan perannya masing-masing demi memastikan kebutuhan masyarakat diolah dan disuarakan dengan baik.
Keuntungan bagi pengurus partai di tingkat bawah juga besar. Mereka memiliki hubungan langsung dengan masyarakat dan bisa dinilai secara nyata kemampuannya dalam merumuskan persoalan rakyat. Masyarakat pun bisa melihat siapa kader yang benar-benar mampu bekerja, berpikir jernih, dan punya integritas. Pembagian kerja ini perlu dijelaskan secara terbuka kepada masyarakat — bahwa pengurus harian partai bertugas mencari fakta, mengumpulkan data, dan membantu kader di legislatif maupun eksekutif dalam merumuskan solusi. Dengan sistem seperti ini, kader yang bekerja dengan baik dan bersih punya peluang besar untuk dipercaya maju ke jabatan publik pada masa mendatang.
Bagaimana masyarakat menilai kinerja kader-kader yang duduk di legislatif maupun eksekutif? Caranya sederhana — masyarakat cukup melihat sejauh mana para kader itu benar-benar memperjuangkan kebutuhan yang telah dilaporkan kepada mereka melalui pengurus partai. Apakah aspirasi itu diperjuangkan? Apakah berhasil diwujudkan atau justru diabaikan? Dari situ masyarakat bisa menilai. Maka pada pemilu berikutnya, akan terjadi sirkulasi elite politik yang alami, sebagai hasil dari evaluasi masyarakat terhadap kinerja para kader partai.
Misalnya, jika masyarakat menilai kinerja pengurus partai harian baik dan terbukti bekerja untuk kepentingan rakyat, maka mereka akan lebih percaya untuk memilih kader tersebut menggantikan kader lama — baik di legislatif maupun eksekutif. Pemilihannya tentu tetap dilakukan melalui mekanisme pemilu yang demokratis.
Jika partai politik dan kader-kadernya aktif serta memiliki pembagian kerja yang jelas, keuntungannya besar: mereka akan mampu melahirkan calon-calon pemimpin baru. Dengan adanya agenda yang nyata di tengah masyarakat, tidak akan muncul lagi yang disebut “krisis calon pemimpin”. Sekarang ini, yang terjadi justru sebaliknya — masyarakat kekurangan pilihan karena partai politik tidak punya agenda langsung di akar rumput. Akibatnya, wajah politik kita hanya diisi oleh orang-orang yang itu-itu saja. Padahal, jika sumber daya manusia dikelola dengan baik, ada banyak sekali calon pemimpin potensial di negeri ini. Di situlah seharusnya partai politik hadir. Dan sebenarnya, tidak perlu biaya besar jika kerja-kerja partai benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dengan cara seperti itu, partai politik juga tidak perlu bersusah payah mencari suara saat pemilu. Agenda mereka di tengah masyarakat harus jelas, konkret, dan benar-benar melibatkan warga. Masyarakat paling senang ketika pendapatnya diminta dan dihargai. Maka, persoalan partai politik di mata masyarakat bukan hanya soal administrasi atau urusan internal belaka, tetapi soal seberapa jauh kegiatan mereka bersentuhan langsung dengan kehidupan dan kebutuhan rakyat.
Partai politik harus tumbuh dari bawah dan memiliki akar yang kuat di tengah masyarakat. Jika partai masih jauh, hanya hadir di langit ketujuh dan sulit dijangkau, bagaimana mungkin masyarakat bisa menaruh simpati dan empati? Karena sejatinya, hubungan antara partai politik dan masyarakat harus bersifat timbal balik — saling membutuhkan, saling menguatkan.




