Mengapa Wacana Gelar Pahlawan untuk Soeharto Harus Ditolak?
Oleh: Randa Fikri Anugrah, Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Tanah Datar
Setiap bangsa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kejujuran ingatan kolektifnya. Sejarah bukan sekadar deretan tanggal dan tokoh, melainkan cermin nilai yang membentuk arah perjalanan bangsa. Karena itu, wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar persoalan administratif atau seremonial kenegaraan. Ia adalah ujian moral dan sejarah bagi Indonesia.
Di tengah peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-98, ketika bangsa ini kembali mengingat fondasi persatuan dan cita-cita kemerdekaan, wacana tersebut muncul seperti ironi yang getir. Sebab, memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti menempatkan seorang tokoh dengan catatan pelanggaran demokrasi, pelanggaran HAM, dan praktik korupsi sistemik sebagai teladan moral bangsa. Itu adalah pergeseran memori kolektif yang dapat merusak integritas sejarah dan nilai yang diperjuangkan generasi terdahulu.
Sejarah Tidak Boleh Dipelintir
Orde Baru berdiri di atas tiang kekuasaan yang represif. Pembungkaman terhadap kebebasan berserikat dan berekspresi, pelarangan oposisi, hingga praktik sensor media menjadi bagian dari pengalaman hidup jutaan rakyat Indonesia. Penangkapan aktivis, penghilangan paksa, dan penindasan gerakan intelektual adalah realitas sejarah, bukan interpretasi politik.
Belum lagi catatan pelanggaran HAM berat, seperti pembantaian massal 1965-1966, tragedi Talangsari, Petrus 1980-an, hingga kekerasan menjelang Reformasi 1998. Semua ini masih menyisakan luka yang belum dipulihkan negara. Memberikan gelar pahlawan kepada sosok yang berada di posisi penentu kebijakan pada masa itu berisiko melukai para korban dan keluarga, serta mengaburkan tanggung jawab politik yang belum pernah diselesaikan.
Pancasila Diperalat
Rezim Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat legitimasi tunggal kekuasaan, bukan sebagai panduan etis untuk menyejahterakan rakyat. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, inti ajaran Marhaenisme yang menjadi ruh Pancasila tergeser oleh kebijakan ekonomi yang melanggengkan konglomerasi, monopoli kekuasaan, dan ketimpangan sosial yang menganga.
Kekayaan negara dinikmati oleh lingkaran elite, sementara petani, buruh, dan nelayan, mereka yang disebut Soekarno sebagai kaum Marhaen justru semakin terpinggirkan. Jika pahlawan adalah mereka yang memperjuangkan rakyat tertindas, maka sejarah sulit membenarkan Soeharto dalam kategori tersebut.
Konstitusi dan Cita-cita Revolusi Dikhianati
Pembukaan UUD 1945 menyatakan tujuan bernegara yaitu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, negara di bawah Orde Baru berjalan sebaliknya, kekuasaan terpusat, hak warga dibatasi, dan kebebasan akademik ditekan.
Lebih jauh lagi, semangat kemerdekaan 1945 adalah semangat melawan kolonialisme. Namun, struktur ekonomi Orde Baru justru membentuk pola kolonialisme baru, negara dikendalikan oleh segelintir elite ekonomi dan politik, sementara rakyat menjadi objek pembangunan, bukan subjek penentu arah bangsa.
Menjaga Kejujuran Sejarah
Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto bukan sekadar penilaian terhadap seorang individu, melainkan upaya penulisan ulang sejarah. Ini berbahaya. Sebab bangsa yang gagal menjaga kebenaran sejarahnya akan berulang kali mengulang kesalahan yang sama.
Gelar pahlawan bukan penghargaan atas lamanya berkuasa atau catatan pembangunan fisik semata. Gelar itu adalah pengakuan atas integritas moral, keberanian memperjuangkan rakyat, dan keteladanan yang menembus generasi. Sementara sejarah Orde Baru meninggalkan terlalu banyak luka dan pertanyaan yang belum dijawab.
Penutup
Kami, Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dengan tegas menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Bukan demi kepentingan politik jangka pendek, tetapi demi menjaga martabat sejarah, menghormati penderitaan korban, dan menegakkan keadilan yang menjadi fondasi Indonesia merdeka.
Penghormatan kepada pahlawan hanya dapat diberikan kepada mereka yang sungguh-sungguh berdiri bersama rakyat, bukan kepada mereka yang meninggalkan jejak penderitaan bagi bangsanya sendiri.
Merdeka.
GMNI Jaya.
Marhaen Menang.



