Keterbukaan Informasi Terganjal: KJI Desak Pemimpin di Sumbar Terbuka pada Jurnalis

Padang66 Dilihat

Padang, BanuaMinang.co.id Ketika tirai pagi tersingkap di ufuk Sumatera Barat, sebuah potret kontras terbentang, di satu sisi, janji-janji pelayanan publik yang diukir para pemimpin, di sisi lain, dinding kebisuan yang kian meninggi. Di kota Padang, suara-suara keresahan mulai bergema, diembuskan oleh para juru warta yang merasa terhalang. Mereka adalah mata dan telinga rakyat, penjaga mercusuar informasi yang mencoba menembus kabut misteri.

 

Sebuah laporan yang mengalir ke markas Kolaborasi Jurnalis Indonesia (KJI) di Padang mengungkap fenomena yang meresahkan, sebagian pemimpin daerah, entah mengapa, tampaknya ‘alergi’ terhadap kehadiran pers. Mereka seolah-olah membangun benteng tak kasat mata, menolak untuk memberikan klarifikasi, enggan berbagi informasi yang sesungguhnya adalah hak publik. Ini bukan sekadar penolakan, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap amanah.

 

Padahal, dalam pasal-pasal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Pers, terukir jelas bahwa hak masyarakat untuk mengetahui adalah sebuah keharusan. Seorang wartawan bukanlah pengganggu, melainkan jembatan yang menghubungkan rakyat dengan pemegang kekuasaan. Mereka adalah pemegang obor yang menerangi sudut-sudut gelap pemerintahan, memastikan bahwa setiap kebijakan dan tindakan diambil demi kepentingan bersama.

 

Andarizal, Ketua Umum KJI, menyuarakan amarah yang membara. “Seorang pemimpin yang tak siap dikonfirmasi, yang alergi terhadap para awak media, tak layak menyandang gelar kepala daerah,” ujarnya, suaranya mengandung gema kekecewaan. Ia mengingatkan bahwa para pemimpin ini bukanlah raja atau bos yang duduk di singgasana. Mereka adalah pelayan yang digaji dari keringat rakyat, dari setiap rupiah pajak yang dibayarkan.

 

Maka, ketika pintu-pintu kantor pemerintahan tertutup, ketika telepon-telepon dibiarkan berdering tanpa jawaban, ketika para pemimpin memilih untuk bersembunyi dalam kebisuan, yang sesungguhnya terluka adalah demokrasi. Kebebasan pers bukanlah anugerah, melainkan fondasi kokoh sebuah negara yang sehat. Membungkam pers sama artinya dengan memadamkan cahaya yang menuntun langkah bersama menuju transparansi dan keadilan.

 

Setiap kata yang tak terucap, setiap informasi yang ditahan, adalah kerikil yang menghambat aliran sungai kepercayaan antara rakyat dan pemimpinnya. Maka, sudah saatnya pintu-pintu itu dibuka, bukan hanya untuk wartawan, melainkan untuk kebenaran itu sendiri.

 

Sumber: KJI

Diterima redaksi BanuaMinang.co.id tanggal 13 September 2025