Pemuda Minang Menolak Normalisasi Bacaruik di Media Sosial

 

Oleh: Abidin Sulaiman

Fenomena media sosial di Sumatera Barat dalam beberapa bulan terakhir menghadirkan kegelisahan baru. Banyak kreator memilih cara instan untuk meraih perhatian publik dengan menampilkan bacaruik pertengkaran yang penuh kata-kata kotor, hinaan, dan makian sebagai bahan tontonan. Potongan video bacaruik diberi judul sensasional, disebarkan di TikTok, Facebook, atau YouTube, lalu viral dalam waktu singkat.

Di balik layar, ada keuntungan ekonomi yang diperoleh: mulai dari views, gift saat live streaming, hingga kontrak iklan. Namun, popularitas yang diraih dari bacaruik sejatinya adalah keuntungan semu yang menggadaikan marwah budaya. Fenomena ini bukan hanya persoalan konten digital, melainkan soal benturan nilai antara budaya Minangkabau yang menjunjung adat dan syarak dengan budaya instan yang dipertontonkan demi cuan.

Bacaruik, Hiburan yang Bertolak Belakang dengan Nilai

Secara budaya, bacaruik di Minangkabau identik dengan pertengkaran yang memalukan. Orang tua zaman dulu selalu mengingatkan, “jangan bacaruik di hadapan orang banyak,” karena akan menurunkan martabat keluarga. Ironisnya, di era digital, hal yang dianggap aib ini justru dijadikan tontonan terbuka.

Inilah wujud kapitalisasi konflik: pertengkaran disulap menjadi konten hiburan, dan kata-kata kasar dianggap sebagai komedi. Jika terus dibiarkan, masyarakat akan semakin permisif terhadap kekerasan verbal, bahkan menganggapnya hal biasa.

Bertentangan dengan Adat dan Syarak

Minangkabau sejak lama berpegang pada falsafah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Segala perilaku dalam kehidupan orang Minang seharusnya berpijak pada ajaran Islam. Bacaruik jelas bertentangan dengan prinsip ini.

Islam sangat menekankan adab dalam berbicara. Nabi Muhammad SAW bersabda:

Seorang muslim adalah yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Hadis ini mengingatkan bahwa mulut yang menebar cacian bukanlah ciri seorang muslim sejati. Sementara itu, pepatah Minang menegaskan:

Nan ameh indak ka habih, nan rancak indak ka basi, kato nan elok indak ka hilang.”

Kato nan ampek: kato mandaki, kato manurun, kato mandata, kato malereng.”

Kedua sumber ini jelas menunjukkan bahwa Minangkabau mengagungkan tutur kata yang santun. Bacaruik, sebaliknya, hanya menampilkan wajah Minang yang kasar dan penuh amarah.

Dampak Nyata bagi Generasi

Normalisasi bacaruik di media sosial punya dampak serius. Pertama, merusak karakter generasi muda. Anak-anak dan remaja yang menjadi penonton aktif media sosial akan meniru kata kasar yang mereka lihat. Mereka belajar bahwa bertengkar adalah cara populer untuk mendapat perhatian.

Kedua, mengikis citra budaya Minang. Bangsa yang dikenal menjunjung musyawarah bisa dicap sebagai bangsa pemaki. Citra ini tentu merugikan, apalagi ketika Minangkabau selama ini bangga dengan warisan adat yang santun.

Ketiga, mengancam kerukunan sosial. Kata-kata kasar menebar kebencian, padahal Islam mengajarkan ukhuwah dan kasih sayang.

Sebuah survei di kalangan siswa SMA di Kota Padang menunjukkan sekitar 20% remaja terlibat dalam perilaku bullying online, termasuk penggunaan bahasa kasar. Ini membuktikan bahwa kebiasaan menggunakan kata-kata kotor di ruang digital bukanlah fenomena remeh, tetapi nyata dan berbahaya.

Peran Pemuda dalam Menjaga Marwah

Sebagai pemuda Minang, saya menolak keras normalisasi bacaruik. Generasi muda tidak boleh hanya menjadi penonton pasif yang ikut larut dalam arus algoritma media sosial. Kita mesti menjadi benteng terakhir yang menjaga marwah budaya dan agama.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

Konten kreator Minang harus berani berhenti mengejar popularitas dengan cara instan. Banyak cara kreatif lain untuk berkarya: mengangkat sejarah, kuliner, tradisi, atau kisah inspiratif Minang.

Masyarakat penonton harus berhenti memberi panggung. Setiap klik, like, dan share adalah dukungan. Jika bacaruik ditinggalkan, maka ia tak akan laku.

Tokoh adat dan ulama perlu lebih vokal menegur fenomena ini. Suara moral dari ninik mamak dan alim ulama punya peran penting untuk menjaga akhlak generasi.

Pemerintah daerah bisa mendorong literasi digital yang berpihak pada nilai budaya. Program pendidikan media perlu digencarkan di sekolah-sekolah agar remaja paham dampak konten kasar.

Saatnya Kembali ke Jalan Lurus

Ruang digital seharusnya menjadi cermin kemajuan, bukan panggung bacaruik. Kreator Minang harus memilih: apakah ingin dikenal sebagai generasi yang membanggakan budaya atau generasi yang menjual marwah demi popularitas sesaat.

Mari kita kembali ke ajaran adat dan syarak yang mengajarkan kesantunan. Sebab kata-kata yang baik akan meninggalkan jejak kebaikan, sementara kata-kata kasar hanya menyisakan luka.

“Budi nan baik baurek, kato nan sopan baguno.”

Sebagai pemuda Minang, saya menyerukan dengan tegas: hentikan normalisasi bacaruik di media sosial! Saatnya kita isi ruang digital dengan karya yang mendidik, menghibur, dan menjaga marwah Minangkabau.