Menilik Usulan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi dari Sudut Pandang Ideologi Syarikat Islam

Oleh : Ardinal Bandaro Putiah

Perdebatan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah (baik bupati, wali kota, maupun gubernur) bukanlah perdebatan teknis yang berdiri sendiri. Ia sesungguhnya merupakan cermin dari kegelisahan yang lebih dalam tentang arah demokrasi Indonesia, tentang siapa yang sesungguhnya berdaulat, dan tentang untuk siapa kekuasaan dijalankan. Usulan untuk meninjau ulang pemilihan langsung kepala daerah, yang kini kembali mengemuka, menandai adanya kesadaran kolektif bahwa demokrasi elektoral yang kita jalani selama ini menyimpan banyak persoalan mendasar. Dari sudut pandang ideologi Syarikat Islam, kegelisahan ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan kelanjutan dari kritik panjang terhadap sistem politik yang kehilangan ruh keadilan dan keberpihakan kepada umat.

Sejak awal berdirinya, Syarikat Islam tidak pernah memisahkan politik dari moral, kekuasaan dari amanah, dan kepemimpinan dari tanggung jawab sosial. Politik, dalam pandangan ideologis Syarikat Islam, adalah sarana perjuangan untuk membebaskan umat dari kemiskinan, ketertindasan, dan ketidakadilan struktural. Oleh karena itu, setiap sistem politik, termasuk mekanisme pemilihan kepala daerah harus diuji bukan hanya dari aspek legalitas dan prosedur, tetapi dari sejauh mana ia menghadirkan kemaslahatan bagi umat dan menutup pintu kerusakan sosial.

Pemilihan kepala daerah secara langsung pada mulanya dipandang sebagai koreksi atas sentralisasi kekuasaan di masa lalu. Rakyat diberikan hak untuk memilih pemimpinnya sendiri, dengan harapan lahir kepemimpinan yang lebih akuntabel, dekat dengan rakyat, dan sensitif terhadap kebutuhan lokal. Namun, perjalanan sejarah menunjukkan bahwa harapan itu tidak sepenuhnya terwujud. Dalam banyak kasus, pemilihan langsung justru berubah menjadi arena pertarungan modal, popularitas artifisial, dan manipulasi kesadaran publik. Rakyat memang hadir di bilik suara, tetapi sering kali absen dalam proses pengambilan keputusan yang sesungguhnya.

Dalam kacamata ideologi Syarikat Islam, inilah problem mendasar demokrasi prosedural, ia mengukur kedaulatan rakyat dari angka partisipasi, bukan dari kualitas kesadaran. Islam tidak menempatkan angka sebagai ukuran kebenaran. Islam menempatkan keadilan, kejujuran, dan amanah sebagai ukuran utama. Ketika pemilihan langsung lebih banyak melahirkan pemimpin yang kuat secara elektoral tetapi lemah secara moral, maka sistem itu patut dipertanyakan legitimasi ideologisnya.

Biaya politik yang sangat tinggi dalam pilkada langsung adalah contoh paling nyata dari penyimpangan tersebut. Untuk menjadi kepala daerah, seseorang harus menyiapkan modal dalam jumlah besar, baik untuk pencalonan, kampanye, maupun konsolidasi politik. Modal ini jarang berasal dari kantong pribadi semata. Ia sering kali berasal dari pemodal besar yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik. Dalam kondisi seperti ini, kemenangan kandidat bukanlah kemenangan rakyat, melainkan kemenangan jaringan kepentingan. Kepala daerah terpilih pun sejak awal sudah terikat oleh hutang politik yang harus dibayar melalui kebijakan.

Bagi Syarikat Islam, kondisi ini adalah bentuk nyata dari ketidakadilan struktural. Kepemimpinan yang lahir dari ketergantungan kepada modal akan sulit berpihak kepada kaum lemah. Kebijakan publik tidak lagi ditentukan oleh kebutuhan umat, melainkan oleh kepentingan investor dan oligarki lokal. Pemilihan langsung, yang semula digadang-gadang sebagai instrumen kedaulatan rakyat, justru berubah menjadi mekanisme legitimasi kekuasaan modal. Dalam situasi ini, mempertahankan pemilihan langsung tanpa kritik ideologis sama saja dengan membiarkan umat terus berada dalam lingkaran penindasan yang terselubung.

Namun, ideologi Syarikat Islam juga menolak sikap simplistis yang menganggap bahwa mengganti pemilihan langsung dengan pemilihan tidak langsung secara otomatis akan menyelesaikan masalah. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa elitisme juga menyimpan potensi kerusakan yang sama besarnya. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD, misalnya, hanya akan bermakna jika DPRD itu sendiri merupakan representasi sejati umat, bukan perpanjangan tangan kepentingan partai dan oligarki nasional. Tanpa reformasi menyeluruh terhadap sistem kepartaian dan kaderisasi politik, pemilihan tidak langsung justru berisiko menjauhkan umat dari proses politik.

Di sinilah pendekatan dialogis ideologi Syarikat Islam menjadi relevan. Pertanyaan yang harus diajukan bukanlah “langsung atau tidak langsung”, melainkan “untuk siapa kekuasaan dijalankan dan dengan nilai apa ia dikelola”. Syarikat Islam memandang bahwa sistem politik apa pun harus tunduk pada prinsip syura. Syura dalam Islam bukan sekadar voting, tetapi proses musyawarah yang jujur, beradab, dan berorientasi pada kebenaran. Syura menuntut adanya partisipasi sadar, bukan sekadar mobilisasi massa.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, syura meniscayakan adanya ruang deliberasi publik yang sehat. Rakyat harus memiliki akses pada informasi yang jujur tentang calon pemimpin, rekam jejaknya, komitmen ideologisnya, dan visi keberpihakannya. Tanpa itu, pemilihan hanya akan menjadi ritual lima tahunan yang miskin makna. Syarikat Islam melihat bahwa kegagalan pilkada langsung hari ini bukan semata kegagalan teknis, tetapi kegagalan ideologis karena politik dipisahkan dari pendidikan umat.

Kerusakan lain yang tidak kalah serius adalah dampak sosial dari pilkada langsung. Polarisasi masyarakat, konflik antarpendukung, bahkan perpecahan dalam keluarga dan komunitas adalah fenomena yang berulang. Dalam banyak kasus, kontestasi politik lokal meninggalkan luka sosial yang tidak mudah disembuhkan. Dari sudut pandang Islam, persaudaraan adalah nilai yang harus dijaga. Politik yang secara sistematis merusak ukhuwah adalah politik yang kehilangan legitimasi moralnya. Syarikat Islam memandang bahwa tidak ada kemenangan politik yang layak dibayar dengan rusaknya persatuan umat.

Pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi sarana memperkuat solidaritas sosial, bukan memecah belahnya. Namun selama politik diperlakukan sebagai kompetisi zero-sum yang menghalalkan segala cara, konflik akan terus berulang. Di sinilah pentingnya kerangka ideologis Islam yang menempatkan akhlak sebagai fondasi politik. Tanpa akhlak, demokrasi akan berubah menjadi anarki yang dilegalkan.

Dari aspek ekonomi, pilkada langsung juga menyisakan ironi besar. Anggaran negara dan daerah tersedot untuk membiayai proses elektoral yang mahal, sementara kemiskinan struktural masih menjadi persoalan utama di banyak daerah. Dari sudut pandang keadilan sosial Islam, pemborosan sumber daya publik untuk kepentingan elektoral adalah bentuk ketidakadilan. Syarikat Islam memandang bahwa setiap rupiah uang publik adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk membiayai ambisi kekuasaan segelintir orang.

Usulan untuk meninjau ulang mekanisme pemilihan kepala daerah seharusnya dibaca sebagai peluang untuk melakukan koreksi ideologis yang lebih dalam. Ini bukan soal mundur atau maju secara prosedural, tetapi soal mengembalikan politik pada tujuan asasinya. Syarikat Islam menolak logika pragmatis yang hanya menghitung untung-rugi elektoral tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap moral dan struktur sosial umat.

Dalam sejarah perjuangannya, Syarikat Islam selalu menekankan pentingnya kaderisasi. Kepemimpinan tidak dilahirkan secara instan, tetapi melalui proses panjang pengabdian dan pembentukan karakter. H.O.S. Tjokroaminoto tidak menjadi pemimpin besar karena popularitas sesaat, melainkan karena integritas dan keberpihakannya kepada rakyat kecil. Tradisi ini seharusnya menjadi inspirasi bagi sistem politik lokal hari ini. Pemimpin daerah idealnya adalah kader yang tumbuh bersama umat, memahami penderitaan mereka, dan memiliki keberanian ideologis untuk melawan ketidakadilan.

Pemilihan langsung yang mengandalkan popularitas justru sering menyingkirkan figur-figur berintegritas yang tidak memiliki modal besar atau akses media. Dalam konteks ini, Syarikat Islam melihat adanya ketimpangan struktural yang harus dikoreksi. Sistem politik yang adil seharusnya membuka ruang yang sama bagi setiap kader terbaik umat untuk tampil, tanpa harus tunduk pada logika pasar politik.

Menilik usulan pemilihan kepala daerah dari sudut pandang ideologi Syarikat Islam juga berarti menegaskan kembali makna kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat bukan hanya hak memilih, tetapi hak mengawasi, mengoreksi, dan bahkan menggugat kekuasaan yang menyimpang. Tanpa mekanisme kontrol umat yang kuat, pemilihan langsung akan tetap melahirkan pemimpin yang merasa berdaulat atas rakyat, bukan sebaliknya.

Dalam konteks ini, Syarikat Islam mendorong penguatan institusi sosial dan keumatan di tingkat lokal. Surau, masjid, organisasi masyarakat, dan komunitas adat harus menjadi ruang pendidikan politik umat. Kepala daerah, siapa pun yang memilihnya, harus berada di bawah kontrol moral dan sosial umat. Tanpa itu, perubahan mekanisme pemilihan hanya akan menjadi kosmetik politik.

Pada akhirnya, perdebatan tentang pemilihan kepala daerah harus dikembalikan pada pertanyaan paling mendasar, yaitu untuk apa negara ini didirikan? Dalam pandangan Islam, negara adalah alat untuk menegakkan keadilan dan memakmurkan umat. Kepala daerah adalah bagian dari alat itu, bukan tujuan. Jika sistem pemilihan (baik langsung maupun tidak langsung) gagal melahirkan pemimpin yang amanah, maka sistem itu wajib dikritik dan diperbaiki.

Syarikat Islam berdiri pada posisi ideologis yang tegas menolak politik yang tercerabut dari nilai, dan menolak kekuasaan yang tidak berpihak kepada umat. Usulan perubahan pemilihan kepala daerah harus diuji dengan standar ini. Apakah ia mendekatkan kita pada keadilan sosial? Apakah ia memperkuat kedaulatan umat? Apakah ia melahirkan kepemimpinan yang berakhlak dan berani?

Jika jawabannya tidak, maka perubahan itu hanyalah pergantian bungkus dari substansi yang sama. Syarikat Islam tidak tertarik pada perubahan semu. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah koreksi ideologis yang mendalam, yang menempatkan kembali politik sebagai jalan pengabdian, bukan jalan akumulasi kekuasaan. Dalam kerangka inilah usulan pemilihan kepala daerah harus dibaca, dikritisi, dan diarahkan.

Dengan demikian, menilik pemilihan kepala daerah dari sudut pandang ideologi Syarikat Islam bukan sekadar soal memilih mekanisme terbaik, tetapi soal memperjuangkan politik yang bermakna. Politik yang berakar pada akhlak, berpihak kepada kaum lemah, dan bergerak menuju keadilan sosial yang hakiki. Inilah sikap ideologis Syarikat Islam, dan inilah kontribusi yang bisa ditawarkan bagi masa depan demokrasi lokal di Indonesia.

Wallahu’alam