LITANI SEPERTIGA MALAM
by Bumiara
Sepertiga malam
kulepas belenggu rasa
Dogma ku urai
Logika diam
Qalbu bicara
Ribuan aksara
menjelma prosa bermakna
Namun pupus tak bersisa
Saat aku berhadap pada-Mu
Yaa Rabb,
inilah aku yang menanggalkan nama, gelar,
dan kebanggaan
Kutaruh di ambang sunyi
Aku mencoba memperbaiki bangunan yang kusebut iman
Lama dimakan rayap
Retak oleh kemarau panjang
Runtuh dihantam badai zaman
Rayap itu tak datang dari luar
Ia menetas dari ayat
yang dipotong rapi
agar muat di perut kekuasaan
Tipu menjelma adat,
khilaf diwariskan sebagai kebiasaan.
Mata lama terpejam
demi kenyang perut para datu’
Mimbar berderit di malam hari
Bukan karena usia, melainkan karena terlalu sering memikul kebohongan yang disucikan.
Doa dibaca seperti pengumuman, iman dihitung seperti laba.
Yang lapar diminta sabar, yang rakus diberi gelar.
Kami diajari patuh,
bukan jujur.
Kami diajari diam,
bukan berpikir.
Kami diajari percaya,
tanpa pernah diajak
melihat cahaya
dari arah lain.
Perut lebih dulu bersuara
sebelum akal sempat bertanya.
Ia menuntut dalil yang bisa dikunyah,
doa yang cepat mengenyangkan.
Sorban mengangguk pelan, menjadi juru damai
Antara lapar dan nurani menutup kepala,
namun menggelapkan langit.
Padahal cahaya-Mu
datang tanpa upah,
menyelinap ke celah retak, menyentuh mereka yang berani lapar demi jujur.
Rayap tak takut cahaya yang mereka takuti
adalah pertanyaan.
Maka jendela ditutup rapat
Anak-anak malam dibungkam
Dan gelap disebut keselamatan
Yaa Rabb,
ternyata menjadi hamba
lebih sulit daripada menjadi benar.
Hamba harus rela
tak selalu menang,
tak selalu dipuji,
tak selalu dipahami.
Maka kupelajari lagi
cara berdiri tanpa mimbar,
cara berbicara tanpa sorban,
cara percaya
tanpa memenjarakan cahaya.
Aku belajar dari air
yang tak memilih tempat tinggi, dari cahaya yang tak memaksa dilihat,
dari malam yang mengajar tanpa suara.
Jika aku keras, itu karena takut.
Jika aku diam, itu karena belum mengerti.
Jika aku melawan, itu karena tak ingin mewarisi dusta.
Tuntun aku untuk terus belajar , dari guru yang berbeda wajah, dari kitab yang berbeda bahasa,
dari hidup yang sering lebih jujur daripada mimbar
Jangan ikat Engkau
pada satu tafsir,
sebab Engkau
lebih luas dari sangkaanku sendiri.
Jika kelak aku lelah,
ingatkan aku pulang tak perlu ramai.
Cukup satu sujud
yang tak ingin dilihat siapa pun selain Engkau.
Aamiin…..
Yang selesai,
namun tak pernah tamat.





