Bencana Berulang di Sumatra: Saat Negara Gagap, Pejabat Sibuk Pencitraan
Sumatra Tenggelam, Negara Kembali Pura-Pura Terkejut
Dalam kurun 2023–2024, Sumatra kembali dilanda rangkaian bencana besar. Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat mengalami banjir dan longsor secara berulang, dengan skala kerusakan yang tidak bisa lagi disebut lokal. Banjir bandang (galodo) di Sumatra Barat menewaskan puluhan orang, menghancurkan ribuan rumah, dan melumpuhkan jalur transportasi utama. Di Aceh, banjir merendam wilayah pesisir dan daerah aliran sungai, memaksa puluhan ribu warga mengungsi. Di Sumatra Utara, longsor di kawasan perbukitan merenggut korban jiwa dan memutus akses ekonomi masyarakat.
Data BNPB mencatat bahwa bencana hidrometeorologi—banjir dan longsor—merupakan jenis bencana paling dominan di Indonesia, dengan jumlah warga terdampak di Sumatra mencapai ratusan ribu jiwa. Infrastruktur rusak, lahan pertanian hancur, dan kehidupan sosial masyarakat terhenti. Ini bukan peristiwa sporadis, melainkan krisis regional yang berulang.
Namun setiap kali bencana terjadi, negara selalu bersikap seolah-olah terkejut. Padahal wilayah terdampak adalah zona rawan yang telah lama dipetakan oleh negara sendiri. Peta risiko BNPB, kajian akademik, dan peringatan organisasi lingkungan telah berkali-kali menyebut kawasan hulu sungai dan perbukitan Sumatra sebagai wilayah berisiko tinggi. Pengetahuan ada, tetapi tidak pernah benar-benar menjadi dasar kebijakan.
Negara Hadir Setelah Korban Berjatuhan
Seperti pola yang sudah mapan, negara baru hadir secara penuh setelah korban berjatuhan dan tekanan publik membesar. Presiden, kepala BNPB, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri PUPR, serta kepala daerah turun ke lapangan. Instruksi disampaikan, bantuan digelontorkan, dan pernyataan empati disebarluaskan melalui media.
Namun kehadiran ini lebih bersifat reaktif dan simbolik. Negara sibuk mengelola dampak, tetapi menghindari pembicaraan tentang sebab. Tidak ada penjelasan terbuka mengapa permukiman dibiarkan berkembang di kawasan rawan. Tidak ada evaluasi serius mengenai izin konsesi yang merusak kawasan hulu. Tidak ada pengakuan bahwa kebijakan pembangunan berkontribusi langsung terhadap meningkatnya risiko bencana.
Di era media sosial, kehadiran negara semakin bergeser menjadi urusan citra. Pejabat tampil dengan rompi lapangan dan sepatu bot, kamera menyala, foto empati tersebar cepat. Tetapi diskusi tentang tata ruang, konflik kepentingan perizinan, dan kelalaian pengawasan lingkungan nyaris tidak mendapat ruang. Negara tampak bekerja, tetapi lebih sibuk menjaga wajah ketimbang membenahi sistem.
Deforestasi, Tata Ruang, dan Politik Izin: Akar Masalah yang Disangkal
Bencana di Sumatra tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang deforestasi dan tata kelola ruang yang buruk. Data KLHK menunjukkan bahwa Sumatra merupakan salah satu pulau dengan tingkat kehilangan tutupan hutan tertinggi sejak dekade 1970-an. Ekspansi perkebunan skala besar, pertambangan, dan proyek infrastruktur telah merusak kawasan hulu sungai dan menghilangkan fungsi ekologis hutan sebagai penyangga air.
Kerusakan ini diperparah oleh tata ruang yang longgar dan mudah dilanggar. Banyak pemerintah daerah menjadikan izin lahan sebagai instrumen pembangunan dan politik, dengan pengawasan yang lemah dan sanksi yang nyaris tidak tegas. Ketika hujan ekstrem yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim turun, air tidak lagi tertahan, melainkan langsung menghantam permukiman.
Namun narasi resmi negara hampir selalu sama: curah hujan tinggi, cuaca ekstrem, faktor alam. Kebijakan tidak pernah disebut sebagai penyebab. Dalam kerangka ini, bencana direduksi menjadi takdir, bukan konsekuensi dari keputusan politik dan ekonomi yang akumulatif.
Mengapa Tidak Pernah Menjadi Bencana Nasional?
Pertanyaan paling krusial sekaligus paling dihindari adalah: mengapa bencana sebesar ini tidak pernah ditetapkan sebagai bencana nasional?
Penetapan status bencana nasional bukan sekadar urusan administratif. Ia berarti pengakuan bahwa negara gagal mengelola risiko secara sistemik. Konsekuensinya besar: mobilisasi sumber daya nasional, evaluasi lintas kementerian, dan tekanan politik terhadap pemerintah pusat. Status ini membuka ruang pertanggungjawaban.
Namun yang dipilih negara justru jalan aman: status darurat daerah, bantuan terbatas, dan narasi bahwa situasi “masih terkendali”. Mengakui bencana nasional berarti mengakui kegagalan, sesuatu yang tampaknya dihindari demi menjaga stabilitas politik dan citra pemerintahan.
Dalam perspektif sejarah, sikap ini bukan hal baru.
Masa kolonial: negara abai terhadap keselamatan rakyat.
Orde Baru: negara menutup kritik demi stabilitas.
Era Reformasi: negara terbuka secara visual, tetapi defensif secara struktural.
Yang berubah hanya gaya komunikasi, bukan paradigma. Pembangunan tetap didahulukan, keselamatan ekologis tetap dikorbankan.
Penutup
Bencana di Sumatra bukan kejadian alam semata, bukan pula kejutan. Ia adalah hasil dari sejarah kebijakan, pembiaran, dan keberpihakan pada kepentingan ekonomi jangka pendek. Selama negara menolak menyebut aktor dan kebijakan yang bertanggung jawab, selama pejabat lebih sibuk mengelola citra daripada membenahi struktur, bencana akan terus berulang.
Ini bukan sekadar tragedi kemanusiaan.
Ini adalah vonis sejarah terhadap kegagalan negara melindungi rakyatnya sendiri.
Penulis: Firmansyah
(2310712031/Mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)

