Tambo Alam Minangkabau: Sejarah Dan Logika

Disadur Dari Buku Minanga, Minangkabau dan Pagaruyung Disusun oleh DR. H. Nudirman Munir, SH, MH

Tambo Alam Minangkabau: Sejarah Dan Logika

 

Disadur Dari Buku Minanga, Minangkabau dan Pagaruyung

Disusun oleh DR. H. Nudirman Munir, SH, MH

 

Dalam tambo versi Datuak Sangguno Dirajo Adityawarman dikisahkan sebagai seorang bergelar Sri Paduka Berhala yang datang dari laut menemui datuk yang bertiga di Pariangan (Lagundi Nan Baselo). Disaat itu timbul perbantahan diantara ninik yang bertiga mengenai Adityawarman. Datuak Katumanggungan mengatakan bahwa dia adalah raja, sedangkan menurut Datuk Parpatiah Nan Sabatang orang itu bukan raja melainkan mentri saja, dan menurut Datuk Sri Maharaja Nan Banego Nego orang itu hanya seorang utusan raja. Akhirnya datuk yang berdua menurut kepada apa yang dikatakan Datuk Katumanggungan karena beliau berniat akan mengambil orang itu sebagai semendanya. Adityawarman kemudian dikawinkan dengan adik Datuk Katumanggungan yang bernama Puti Reno Mandi, dan diberi gelar Sri Maharaja Diraja pula. Tambo versi ini akan membuat kesimpulan bahwa datuk yang berdua hidup sezaman dengan Adityawarman.

 

Agaknya versi ini berusaha mencocok-cocokkan tambo dengan prasasti Padang Roco yang memuat nama Dewa Tuhan Perpatih yang diterjemahkan sebagai Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Tambo ini juga berusaha mencocok-cocokkan tahun peristiwa ini dengan masa Ekspedisi Pamalayu yang dicatat dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Dalam hikayat tersebut disebutkan tokoh Patih Sewatang dari Minangkabau berhadapan dengan Patih Gadjah Mada dari Majapahit. Konsekuensi dari memasukkan penafsiran Sri Paduka Berhala sebagai Adityawarman adalah bergesernya latar cerita Ninik Sri Maharaja Diraja ke sekitar tahun 1000 M (Periode Dharmasraya), akibatnya hubungan keterkaitan Minangkabau dengan Kerajaan Malayu Tua (Minanga) yang eksis tahun 671 menjadi berantakan.

 

Tokoh Dang Tuanku

Dang Tuanku sebenarnya tokoh dalam Kaba Cindua Mato, namun beberapa versi tambo dan cerita rakyat menafsirkan Dang Tuanku sebagai Adityawarman, dan Dara Jingga ibunya sebagai Bundo Kanduang. Dalam Kaba Cindua Mato tersebut ada peperangan antara Pagaruyung (sudah berbentuk kerajaan) dengan Sungai Ngiang (Kuantan Singingi) dimana berakhir dengan kekalahan Pagaruyung. Penafsiran ini agak sulit diterima akal karena Adityawarman adalah seorang panglima militer yang kuat pada zaman itu. Apalagi ia dididik di Majapahit dan pernah terlibat dalam pemadaman beberapa pemberontakan. Namun jika dihubungkan dengan Tombo Lubuk Jambi maka menurut mereka kisah Dang Tuanku ini terjadi pada abad ke 8 Masehi, sezaman dengan Kerajaan Koto Alang.

 

Tokoh Indo Jalito

Indo Jalito punya banyak penafsiran pula, ia dikisahkan sebagai istri Ninik Sri Maharaja Diraja, sedangkan di lain tempat sebagai istri Sang Sapurba, bahkan ada yang menganggap dia adalah Bundo Kanduang itu sendiri. Tokoh Ananggawarman, putra dari Adityawarman. Dalam Tambo Pagaruyung tokoh ini disebut kawin dengan Puti Reno Dewi (anak Datuk Katumanggungan dengan Puti Samputi). Mereka dikaruniai tiga anak perempuan yaitu Puti Panjang Rambut, Puti Salareh Pinang Masak dan Puti Bungsu. Sejak Ananggawarman mangkat tahun 1417 kepemimpinan di Pagaruyung khususnya Raja Alam telah dipegang oleh Datuk Bandaro Putih – Tuan Titah IV yang juga bergelar Rajo Bagewang I yang kemudian diteruskan oleh Yang Dipertuan Sutan Bakilap Alam.

 

Menyoal Tokoh Asing di dalam Tambo

Dari berbagai versi tambo tersebut terjadilah sebuah jalinan cerita yang tidak logis baik secara alur, genealogis maupun latar. Surn4ber kekacauan tersebut tidak lain adalah keinginan sebagian penulis dan penafsir tambo untuk mencocok-cocokkan tambo dengan data-data yang diambil dari prasasti dan legenda masyarakat lain. Dari tokoh-tokoh yang dipaparkan di atas, setidaknya ada 3 tokoh besar yang sebenarnya tokoh ‘asing’ dalam tambo yaitu Sang Sapurba, Adityawarman dan Ananggawarman. Mereka dibawa ke dalam tema sentral cerita tambo oleh dua kelompok berikut:

 

1. Kelompok Pengagung Budaya Melayu Tua. Kelompok ini merasa perlu untuk mengintegrasikan Tambo Alam Minangkabau dengan mitologi dan sejarah masyarakat di Greater Melayu (Pesisir Timur, Sriwijaya, Malaka, Jambi). Analisa kelompok ini pada umumnya didukung oleh keturunan Minangkabau yang tinggal di Malaysia. Konsep Greater Melayu ini meyakini semua kerajaan yang pernah berdiri di Tanah Melayu, yaitu eks Sundaland (termasuk di dalamnya Minangkabau) saling terhubung dan kait berkait secara silsilah dari awal abad pertama Masehi sampai sekarang. Tokoh Sang Sapurba adalah simpul yang diperlukan untuk penyatuan kisah-kisah yang bertebaran di seluruh Tanah Melayu. Di Palembang ia dijadikan menantu Demang Lebar Daun, di Bintan dia mengawinkan anaknya dengan putri Raja Bintan, di Kuantan dia diangkat jadi raja dan di Minangkabau dia “dijerat”, dijadikan semenda oleh Datuak Suri Dirajo. Pengintegrasian Sang Sapurba ke dalam Tambo Alam Minangkabau dilakukan dengan cara menafsirkan Rusa Emas yang datang dari laut sebagai dirinya.

 

2. Kelompok Pengagung Kerajaan Pagaruyung (keluarga bangsawan Pagaruyung). Kelompok ini mengeluarkan Tambo Pagaruyung pada tahun 1970 yang sudah memuat nama Adityawarman. Sebelum penemuan Prasasti Padang Roco dan Arca Amoghapasa di Nagari Siguntur pada tahun 1911, tidak ada ditemukan kemunculan nama Adityawarman dalam tambo-tambo yang beredar di Minangkabau. Kelompok Pagaruyung sangat bersemangat merevisi tambonya (atau lebih tepat mengarang tambonya) setelah satu persatu batu basurek (prasasti) yang dibuat Adityawarman ditemukan dan dapat diterjemahkan. Seluruh isi Tambo Pagaruyung kemudian dikonsep ulang supaya cocok dengan fakta-fakta sejarah yang terukir di prasasti. Bahkan teori terbaru dari kelompok ini menyebutkan bahwa Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya adalah fusi/persatuan dari 3 dinasti kerajaan yang telah ada sebelumnya, yaitu Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan Gunung Marapi. Ketiganya di bawah Adityawarman diintegrasikan dalam satu kesatuan yaitu Kerajaan Malayapura. Tampaknya kelompok Pagaruyung berusaha pula rujuk dengan kelompok Greater Malayu dengan menggandeng Sriwijaya sebagai salah satu nenek moyangnya. Sang Sapurba oleh beberapa penafsir juga diakui sebagai nama asli dari Dapunta Hyang, pendiri Kerajaan Sriwijaya yang masih misteri itu.

 

Kesimpulan Pertama:

Dari ulasan diatas dapat kita pahami sebab musabab terjadinya kekacauan logika dan versi yang berupa-rupa dari tambo yang beredar di Minangkabau. Menurut A.A Navis, adalah wajar bila kisah tambo itu mengandung berbagai versi karena tambo itu yang diceritakan oleh pencerita sesuai dengan keperluan atau kehendak pendengarnya. Dus pada akhirnya kita pun sudah tahu bahwa tambo bukanlah sejarah, melainkan semacam kitab konstitusi yang dibuat pertama kali oleh Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau itu sendiri.

 

Upaya mencocok-cocokkan tambo dengan sejarah etnik lain dan prasasti tidak akan serta merta membuat tambo menjadi dokumen sejarah, apalagi jika upaya tersebut dicampuri pula dengan egoisme kelompok atau egoisme keilmuan. Usaha ini hanya akan menjadi sebuah karya yang prematur yang akan ditemukan cacatnya di kemudian hari, bak kata pantun adat berikut ini:

Bulek ruponyo daun nipah

Buleknyo nyato bapasagi

Diliek rupo indak barubah

Dibukak tambuak tiok ragi

 

Marilah kita mulai penelitian baru dengan menempatkan tambo (dan juga warisan kehidupan yang lain seperti nama tempat, bahasa, adat kebiasaan, arsitektur, musik, kuliner, kesenian, pakaian) sebagai pembangun konteks, bukan cetak biru sejarah yang akan direka-reka.

 

Sang Sapurba dalam Mitologi Kuantan

Ketika Sang Sapurba datang, Kerajaan Kuantan tidak memiliki raja. Oleh sebab itu, kedatangan Sang Sapurba disambut gembira oleh rakyat Kuantan, baik para pembesar, pemuka masyarakat, maupun rakyat jelata. Kemudian, mereka sepakat mengangkat Sang Sapurba menjadi raja, dengan persyaratan, Sang Sapurba bersedia membunuh Naga Sakti Muna yang telah merusak ladang milik rakyat. Sang Sapurba kemudian memerintahkan hulubalangnya, Permasku Mambang untuk membunuh sang naga dengan berbekal sundang (pedang modern) pemberian Sang Sapurba. Hulubalang Permasku Mambang berhasil membunuh naga tersebut, sehingga Sang Sapurba diangkat menjadi raja di Kuantan dengan gelar Trimurti Tri Buana.

 

Kesimpulan Untuk Pelajaran – Tambo Bukan Sejarah

Sebagian besar pengritik Tambo Minangkabau, seperti Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP), menganggap Tambo Minangkabau berisikan kisah atau riwayat niniak muyang orang Minangkabau. Para pengritik umumnya memandang Tambo Minangkabau adalah “catatan sejarah” Minangkabau. Sebagian masyarakat Minangkabau juga mengartikan Tambo Minangkabau sebagai sejarah Minangkabau.

 

Sesungguhnya isi atau muatan Tambo Minangkabau bukanlah sejarah. Kalaupun ada bagian Tambo Minangkabau berisi kaba atau kisah niniak muyang, itu belum dapat dinyatakan sebagai sejarah, sebelum memahami apa sebenarnya isi dan maksud niniak muyang meninggalkan kisah tersebut. Lebih dari itu, bagian Tambo Minangkabau yang berupa kisah atau kaba tersebut bagian kecil dari tambo, baik tambo yang tertulis maupun tambo lisan.

 

Bagian tambo yang populer memang bagian kisah yang sering dikritik sebagai “tidak logis”, tidak masuk akal, khayal dan sebagainya. Seperti ditulis MOP dalam buku Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833.

 

“Brothers from Minang sangat parah handicapped, karena kepertjajaan mereka akan mythos2 tanpa angka2 tahunan. Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty, Mythos Menang Kerbau, Mythos Bundo Kanduang, Tambo Minangkabau, dlsb., semuanya 100% ditelan oleh Brothers from Minang Tanpa mereka sanggup selecting-out 2% fakta2 sejarah dan kicking-out 98% mythologic ornamentations dari mythos2 itu. Tanpa mereka sedikit pun usaha, mentjarikan angka2 tahunan untuk menghentikan big confusions” (679).

Ketika Tambo Minangkabau dianggap sejarah, maka cara pandang seperti MOP tidak dapat disalahkan.

 

Perlu dikaji ulang seluruh isi tambo yang dituduh MOP sebagai sejarah yang irrasional. Tiga kaba yang kontroversial, yang paling lekat dalam ingatan masyarakat adalah “Kaba Alun Baralun,” “Kisah Adu Kabau”, dan “Kaba Cindua Mato”. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: apakah ketiga kaba kontroversial tersebut catatan sejarah? Bagaimana sesungguhnya posisi dan fungsi kaba tersebut dalam Tambo Minangkabau?

 

Menjawab pertanyaan pertama perlu klarifikasi tentang isi/muatan dan maksud/tujuan tambo. Kaba dalam Tambo Minangkabau bukan dimaksudkan sebagai sejarah, tapi jejak kearifan yang ditinggalkan niniak muyang tentang masa lalu. Di dalam kaba tersebut justru ada kearifan untuk menghapus/ menyembunyikan/ menutupi peristiwa sejarah yang kelayn, yang tidak perlu diceritakan secara terbuka. Tambo Minangkabau bukanlah sejarah, karena justru mengandung maksud menghapus/ menyembunyikan/ menutupi peristiwa sejarah.

 

Pertanyaan kedua harus menjadi perhatian, karena telah terjadi reduksi pemahaman tentang tambo Minangkabau. Selama ini Tambo Minangkabau dipahami atau dianggap hanyalah tiga kaba kontroversial tersebut. Padahal, ketiga kaba tersebut hanyalah bagian kecil dari Tambo Minangkabau.

 

Buku Tambo Alam Minangkabau, karya Hadji Datoek Toeah (1957) berisi 55 nomor (bab) 268 halaman. Dari 55 bab tersebut terdapat 3 bab yang memuat ketiga kaba kontroversial tersebut, yaitu:

(1) bab I Mula-mula manusia berkembang.

2) bab II Minang Kabau;

(3) bab III tentang Bundo Kandung dan anaknya.

 

Selain tiga bab tersebut, sebanyak 52 bab berbicara tentang aturan-aturan, undang-undang, pedoman bagi penghulu, pemimpin, kehidupan bermasyarakat, dan semua ketentuan-ketentuan adat Minangkabau. Kitab Tjoerai Paparan Adat Limbago Alam Minangkabau, karya Datoe’ Sanggoeno Di Radjo berisi 39 bagian, 161 pasal, 229 halaman. Hanya pasal (2) dan (3) yang memuat kaba Alun Baralun, ditambah 5 pasal berikutnya tentang pendirian nagari-nagari pertama. Selebihnya, sebanyak 150-an pasal berisi aturan-aturan, undang-undang, pedoman bagi penghulu, pemimpin, kehidupan bermasyarakat, dan semua ketentuan-ketentuan adat Minangkabau.

 

Dari dua contoh buku tandon yang menjadi rujukan para pengritik Tambo Minangkabau terlihat nyata, bahwa Tambo Minangkabau tertulis bukan buku sejarah, tidak dimaksudkan sebagai catatan sejarah, karena lebih 90% isinya mengenai aturan-aturan, undang-undang, pedoman kehidupan, ketentuan-ketentuan adat Minangkabau. Sebagaimana MOP menyatakan: “…mythos2 tanpa angka2 tahunan…”, ketiga kaba dalam Tambo Minangkabau tidak memuat angka-angka tahunan, (sangat mungkin) tidak memuat tokoh sejarah riil, (sangat mungkin) tidak terikat konteks peristiwa riil. Mengapa? Karena ketiga kaba tersebut bukan sejarah!

 

Ketiga kaba kontroversial tersebut bukan sejarah, dan hanya bagian kecil dalam Tambo Minangkabau. Bagian besar isinya justru memuat aturan- aturan, undang-undang, pedoman kehidupan, ketentuan-ketentuan adat Minangkabau. Maka tidak dapat tidak, Tambo Minangkabau bukan sejarah!

 

Bersambung…

Akan terbit:

Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau

 

Referensi berita sebelumnya:

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *