Undang-undang Luhak Jo Rantau dan Undang-Undang Isi Nagari

Undang-undang Luhak Jo Rantau dan Undang-Undang Isi Nagari

 

Ada beberapa undang yang ditemukan, di antaranya Undang-Undang Luhak dan Rantau, antau, Undang-Undang Nagari, Undang-Undang Isi Nagari. Undang nan Duo Puluah, dan Undang-undang Sumbang-Salah

 

Undang-undang Luhak Jo Rantau

 

Undang-Undang Luhak jo Rantau mengatur sistem pemerintahan pada dua wilayah yang berbeda, yakni luhak dan rantau. Undang itu mengatur luhak bapanghulu, rantau barajo (luhak berpenghulu, rantau beraja). Artinya, luhak (wilayah dataran tinggi Sumatera Tengah di sekitar Gunung Merapi) tunduk kepada sistem pemerintahan nagari (mirip sistem polis atau Negara-kota di Yunani Kuno) (Nain, 1984, 1990) dan rantau (daerah di luar wilayah luhak itu, sampai daerah pantai Timur dan Pantai Barat Pulau Sumatera, tunduk kepada sistem pemerintahan kerajaan yang pada masa lalu berpusat di Pagaruyung).

 

Undang-Undang Nagari

 

Undang-Undang Nagari adalah semacam norma tata negara untuk ruang lingkup nagari. Undang-undang ini mengandung delapan pasal yang merupakan persyaratan berdirinya sebuah nagari, sebagai sebuah lembaga pemerintahan yang sah dan otonom. Kedelapan pasal itu diungkapkan dengan konten berpasangan, yaitu:

 

Babalai-bamusajik 

Basuku-banagari 

Bakorong-bakampuang 

Bahuma-babendang 

Balabuah-batapian 

Basawah-baladang 

Bahalaman-bapamedanan 

Bapandam-bapusaro

 

 

Kedelapan persyaratan itu harus dipunyai oleh sebuah nagari yang hendak melaksanakan pemerintahan penuh secara otonom. Persyaratan tersebut adalah berupa prasarana dan sarana pemerintahan (babalai memiliki sarana permusyawaratan) dan peribadatan (bamusajik memiliki masjid) ditupang oleh suku-suku atau clan minimal empat (basuku ‘bersuku atau clan’) yang terstruktur ke dalam sebuah sistem pemerintahan (banagari ‘bernagari’) setiap suku memiliki struktur kepemimpinan (bakorong ‘berkorong’) dan wilayah (bakampuang ‘berkampung’), memiliki sarana perumahan (bahuma ‘berhuma’) dan sarana penerangan (babendang ‘berbenderang”).

 

Selanjutnya, sarana yang dipersyaratkan adalah sarana perhubungan dan jalan raya (balabuah ‘berlebuh’) dan sarana kebersihan seperti tempat mandi-cuci-kakus (batapian “bertepian”), sarana pertanian basah (basawah ‘bersawah’) dan atau sarana pertanian kering (baladang ‘berladang”), sarana permainan kanak-kanak (bahalaman ‘berhalaman’) dan sarana permainan orang dewasa (bapamedanan “berpemedan, dan sarana peristirahatan warga yang telah meninggal yang dikremasi (bapandam ‘berpandam’) dan atau pekuburan (bapusaro ‘berpusara”).

 

Kedelapan atau keenambelas persyaratan tersebut haruslah dipenuhi oleh sebuah komunitas Minangkabau yang hendak mendirikan sebuah nagari yang otonom dalam sistem pemerintahan.

 

Undang-Undang Isi Nagari

 

Undang-Undang Isi Nagari, menurut Navis, berisi ajaran berupa pandangan atau falsafah, etik, dan ketentuan moral. Berbeda dari Undang-Undang Nagari, Undang-Undang Isi Nagari lebih menekankan kepada tata hubungan sosial di antara sesama warga sebuah nagari, seperti sistem kekerabatan, perkawinan, pewarisan, etik dan moral beserta nilai-nilai lainnya (Navis, 1984:95).

 

Undang-undang Isi Nagari dinukilkan dalam ungkapan-ungkapan yang jumlahnya bervariasi antara satu nagari dengan nagari yang lain. Perbedaan itu tampaknya berkaitan dengan ingatan, tingkat kompleksitas persoalan atau faktor lainnya. Hal demikian dapat dipahami karena ketentuan tersebut dipercaya sebagai cetusan pendiri adat Minangkabau, yakni Datuk Katamangguangan dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang (Monografi Silungkang).

 

Persebaran ketentuan yang dianggap sebagai adat nan sabatang panjang tersebut ke nagari-nagari yang tersebar di seluruh Minangkabau (lebih dari 500 nagari) tentulah mengalami berbagai dinamika. Di samping itu, penurunan daya ingatan kolektif (tokoh pemangku adat) terhadap aturan demikian tentu dapat diduga juga ada, karena berbagai persoalan politik, hukum dan praktik social sejak zaman pemerintahan kolonial dan nasional yang menerapkan sistem kekuasaan dan hukum yang sentralistik. Setidaknya, sejak 50 tahun terakhir, pelaksanaan hukum adat ini nyaris tidak lagi diberlakukan.

 

Catatan redaksi: 

 

1. Disadur Dari Buku Minanga, Minangkabau dan Pagaruyung Disusun oleh DR. H. Nudirman Munir, SH, MH. Dt. Palimo Bandaro.

 

2. Banuaminang.co.id mengedit beberapa kalimat menjadi alinea baru, dan menebalkan beberapa poin, tanpa mengubah makna dan arti dari tulisan.

 

3. Keterangan foto: (Alm) DR. H. Nudirman Munir, SH, MH. Dt. Palimo Bandaro (Dewan Penasehat dan pendiri Banuaminang.co.id) dengan beberapa keluarga besar Banuaminang.co.id saat pembahasan masalah adat dan penyerahan beberapa buku yang disusun oleh Nudirman Munir kepada Banuaminang.co.id.

 

4. Akan terbit Undang-undang Duo Puluh.

 

Referensi pemberitaan sebelumnya: