Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau
Disadur Dari Buku Minanga, Minangkabau dan Pagaruyung
Disusun oleh DR. H. Nudirman Munir, SH, MH
Tambo Asli
Sebagian isi dari tulisan ini dikutip dari buku Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau yang ditulis oleh B. Datuak Nagari Basa (1962) beserta kutipan dari tulisan-tulisan dan cerita para orang tua.
Tambo Minang yang asli, pada zaman kolonial Belanda, dipinjam dan tidak dikembalikan kepada pemilik asli (para Tuan Laras). Menurut tambo yang asli, tanah air kita ini dulunya semua kepulauan di Nusantara tidak terpisah-pisah seperti sekarang ini, melainkan menyatu dengan semenanjung Malaysia hingga benua Asia. Terpisahnya menjadi kepulauan Nusantara seperti sekarang ini diakibatkan oleh banjir besar Nabi Nuh, AS. Tanah yang hancur itu dihanyutkan oleh air yang surut dan terjadilah selat-selat dan laut-laut yang tidak begitu dalam.
Menurut para orang tua yang disampaikan secara turun-temurun, menyebutkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau ini berasal dari Persia (kawasan di Timur Tengah). Penduduk Minangkabau pada dahulunya disebut sebagai bangsa Melayu Minangkabau, bahasa yang dipakai serupa dengan bahasa yang dipakai Melayu Riau dan bangsa-bangsa Melayu lainnya, hanya dialeknya yang berubah. Suku Melayu pada awalnya tidak mempunyai huruf sebagai penyampai informasi sampai masuknya agama Islam. Segala sesuatu yang berupa sejarah, undang-undang, silsilah adat dan yang lainnya disampaikan dalam bentuk menceritakan kepada anak dan kemenakan. Kewajiban bagi seorang ninik mamak (saudara laki-laki dari orang tua perempuan ataupun dari nenek), adalah menceritakan kepada kepada anak kemenakan. Bagi kemenakan, adalah suatu kewajiban pula untuk menerima dan mendengarkan cerita dari ninik mamak tersebut. Sesuai dengan pepatah: “manjawek warih, mandanga tutua” atau menerima warisan, mendengarkan tutur atau ucapan kata
Penemuan lokasi tinggal yang baru
Banjir besar Nabi Nuh, AS yang baru surut setelah ratusan hingga ribuan tahun mengakibatkan terpusatnya kelompok-kelompok peradaban umat di beberapa tempat di belahan bumi ini. Sementara masih banyak belahan bumi yang belum dihuni oleh umat manusia. Umat manusia yang masih hidup ini adalah pengikut-pengikut setia Nabi Nuh AS beserta ajarannya. Beberapa diantaranya mencoba mencari lokasi tempat tinggal baru yang akan secara turun temurun akan didiami oleh keturunannya hingga saat sekarang ini. Sementara, kepercayaan yang dianut semakin jauh menyimpang dari ajaran asli para Nabi, karena semakin banyaknya dan jauhnya penyebaran umat di beberapa pelosok bumi.
Diantara para petualang pencari lokasi baru tersebut adalah Maharadjo Diradjo yang konon adalah nenek moyang orang Minangkabau. Sewaktu topan surut, Maharadjo Diradjo berlayar, dan menemui gunung berapi telah timbul dan berlabuh lah perahu besar beliau di gunung tersebut. Konon pula, perahu tersebut ditelungkupkan untuk menjadi atap rumah untuk bertempat tinggal. Itu pula sebabnya, hingga sekarang puncak atap rumah orang Minang menganut model “bagonjong” atau bergonjong, lalu disempurnakan keruncingan ujung atapnya meniru tanduk kerbau.
Maharadjo Diradjo yang telah menemukan lokasi hunian yang cocok bersama pengikutnya mulai mengembangkan wilayah dengan jalan merambah hutan-hutan kemudian menjadikan ladang-ladang dan persawahan. Beberapa diantaranya dijadikan pemukiman yang berjarak-jarak sesuai dengan kemampuan anggota keluarga, namun antara satu pihak dengan pihak lainnya tetap memiliki dan menjalin hubungan yang baik, yang dikenal dengan sebutan “taratak”. Orang-orang yang mengerjakan dan mengusahakan tanah-tanah tersebut berbuat menurut dorongan hati masing-masing, tidaklah dipaksa, untuk kepentingan sendiri-sendiri dan tidak dimufakatkan terlebih dahulu. Kebiasaan ini terlaksana terus (menjadi kebiasaan/adat) sampai terbentuk keramaian yang terfokus (koto) dan negeri dalam masyarakat dalam bidang ekonomi.
Melihat perkembangan yang terjadi, timbullah dalam pikiran Maharadjo Diradjo untuk membuat tempat kediaman yang patut sebagai kediaman bagi manusia yang sempurna, berkumpul beberapa “taratak” tadi menjadi rumah- rumah yang berdekatan dengan tatanan aturan yang baik. Setelah disepakati bersama, dimulailah oleh Maharadjo Diradjo mendahului melakukan perambahan pertama menggunakan sebilah pedang panjang miliknya, tempat yang kemudian dikenal sebagai asal dari penduduk asli Minangkabau, yaitu di Pariangan Padang Panjang. Tepatnya lokasi ini berada di kaki Gunung Marapi. Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Tanpa diperintah, berdirilah rumah- rumah yang berkelompok serta dilengkapi dengan pagar-pagar yang baik sebagai batas bagi setiap keluarga (kaum) hingga membentuk suatu perkampungan. Beberapa kampung selanjutnya membentuk suatu dusun yang bertumpuk. Dusun-dusun yang telah banyak tersebut menurut kelompoknya kemudian membentuk sebuah koto. Koto mempunyai kesepakatan (sekata/”sakato”) dalam menghadapi bahaya dan lain-lainnya menurut perkembangan masa, dan perkembangan itu pula yang menjadi sebuah “negeri”.
Penyebaran penduduk asli Minangkabau dan terbentuknya Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limapuluh
Setelah terjadi perkembangan jumlah penduduk yang kian pesat, penduduk mulai melakukan perpindahan-perpindahan. Pola perpindahan dilakukan adalah perpindahan yang terus-menerus. Maksudnya, apabila Suatu keluarga atau kaum melakukan perpindahan ke lokasi tertentu, kemudian setelah mempunyai keturunan yang baru, mereka melakukan perpindahan berikutnya ke tempat lain yang lebih jauh lagi. Dimulai dari lokasi tempat tinggal asal yaitu Pariangan Padang Panjang, sebagian dari satu kaum pindah ke Tanah Datar, dan setelah berkembang di Tanah Datar, sebagiannya pindah ke Agam. Setelah berkembang pula di Agam, sebagiannya pindah lagi ke Limapuluh Kota. Karena Limapuluh Kota cukup jauh dari lokasi asal yaitu Pariangan Padang Panjang, masyarakat Minang yang mendiami lokasi ini kesulitan dalam berkomunikasi dengan tempat asalnya. Tetapi hubungan kekerabatan tetap mereka jalin, walaupun tidak hapal lagi silsilah atau garis keturunan antara orang tua-orang tua mereka yang masih bersaudara.
Dimasa pemerintahan Datuk Sutan Maharadjo Basa, penduduk dari Pariangan dan Padang Panjang menyebar ke bidang-bidang datar di kaki Gunung Marapi sebelah Selatan sampai di bidang datar di kaki Gunung Sago bagian Selatan dan Timur. Selanjutnya pindah ke beberapa nagari, seperti Sungai Tarab, Sumanik, Saruaso, Padang Gantiang, terus sampai ke Buo dan Sumpur Kudus. Pemindahan-pemindahan ini mengakibatkan berkurangnya penduduk di Pariangan. Istilah pengurangan atau berkurang dan berpindah ke luar ini kemudian dalam istilah Minangkabau disebut dengan “Luak” atau “Luhak”. Dari segi awal bahasanya lebih mirip “Lua” atau “Luar”. Penduduk dipindahkan dari Pariangan, atau penduduk Pariangan yang dikurangkan dan ditempatkan dibidang-bidang datar, maka lokasi tempat tinggal baru tersebut dinamakan Luhak Tanah Datar.
Perkembangan populasi penduduk yang semakin pesat di Luhak Tanah Datar, maka timbul kembali keinginan dari penguasa waktu itu yaitu Sutan Maharadjo Basa untuk memindahkan kembali penduduknya ke tempat lain. Tujuannya adalah agar orang-orang serta para keturunannya dapat membangun nagari yang baru. Sebelum dilakukan pemindahan, terlebih dahulu dilakukan penyelidikan langsung ke lokasi yang akan ditempati nantinya.
Setelah memenuhi syarat untuk ditempati, maka disetujui lah lokasi baru yaitu di sebelah Timur dan Barat Gunung Marapi dan Barat Gunung Sago. Untuk itu ditunjuklah 4 (empat kaum) pergi merambah serta membabati hutan untuk tempat kediaman, untuk peladangan dan perkebunan. Empat rombongan pertama sampai di bagian bawah dataran yang rendah di kaki Gunung Merapi serta di sebelah Utara gunung tersebut. Rombongan tersebut juga mendapati sebuah lembah dan sungai yang jernih airnya, serta hulu sungai yang bercabang dua menuju muara. Lembah itu diberi nama Agam dan sungai yang mengalir melalui lembah arab ke hulu diberi nama Batang Tambuo dan Sungai Janiah atau Sungai Jernih. Sementara sungai yang mengalir menuju muara diberi nama Batang Agam.
Kemudian menyusul lah rombongan kedua ke tempat rombongan pertama tadi sebanyak empat keluarga/kaum. Disusul rombongan ketiga dan keempat menuju rombongan pertama berada. Jumlah rombongan yang berpindah adalah empat kali pemberangkatan. Setiap pemberangkatan berjumlah masing-masingnya empat keluarga/kaum. Total keseluruhan rombongan adalah 16 (enam belas kaum).
Kaum yang pertama datang ke Lubuk Agam terus berangkat mencari lokasi-lokasi baru untuk ditempati dan diolah. Mereka menyebar di kaki Gunung Merapi dan membuat nagari dan koto. Nagari-nagari yang didirikan oleh rombongan pertama tersebut adalah Agam Biaro, Balai Gurah, Lambah, Panampuang dan sekitarnya hingga sampai ke Canduang dan Lasi. Nagari/negeri tersebut adalah negeri rombongan pertama yang berangkat, kemudian sampai sekarang lebih dikenal dengan Nagari Ampek Angkek atau Negeri Empat Angkat.
Kaum yang kedua mendiami daerah di sekeliling bukit yang agak tinggi dan mendirikan nagari sebanyak empat sama seperti rombongan pertama. Nagari-nagari yang mereka dirikan adalah Kurai, Banuhampu, Sianok, dan Koto Gadang. Karena sifat pemindahan penduduk adalah yang pertama yang merintis, kemudian setelah rombongan berikutnya yang meneruskan dan mendiami, rombongan pertama mencari yang lebih jauh. Maka nagari-nagari yang didirikan oleh rombongan kedua ini i dapat dikatakan adalah masuk dalam Nagari Ampek Angkek atau negeri empat angkat juga.
Rombongan atau kaum ketiga menduduki bagian yang tertinggi dari kaki Gunung Marapi, bahkan hingga pinggang gunung sebelah barat. Mereka kemudian membuat empat nagari yaitu Sarik, Sungai Puar, Batagak dan Batu Palano. Sama seperti nagari yang didirikan oleh rombongan kedua di atas, maka nagari-nagari ini adalah termasuk dalam Ampek Angkek atau Empat Angkat juga. Pemberangkatan terakhir mendiami kaki Gunung Singgalang Rombongan ini mendirikan pula empat negeri yang diberi nama Guguk, Tabek Sarojo, Balingka dan Pambatan. Dari semua nagari-nagari yang didirikan tersebut, yang masih bernama Nagari Ampek Angkek adalah nagari-nagari yang didirikan oleh rombongan pertama, yaitu Agam Biaro, Balai Gurah, Lambah, Panampuang, Canduang dan Lasi. Lokasi-lokasi baru yang ditempati dan didirikan menjadi nagari-nagari oleh empat rombongan pemberangkatan ini kemudian diberi nama Luhak Agam.
Selanjutnya, lokasi-lokasi baru yang menjadi perhatian para pemimpin Minangkabau waktu itu adalah lereng-lereng di Gunung Sago sebelah Utara. sampai ke Timur. Tanah dataran yang luas, lembah yang sangat lebar di sepanjang sungai Lampasi, Batang Sinamar dan Batang Agam, kosong belum ada penghuni. Kaum-kaum yang akan menghuni lokasi baru tersebut diambil dari anggota kaum yang telah mendiami nagari-nagari di Luhak Tanah Datar. Kaum-kaum tersebut dibagi, ada yang berangkat, ada yang tinggal. Lalu berangkatlah 50 (lima puluh) keluarga menuju kaki antara kedua gunung yaitu Duman Sabo dan Gunung Marapi. Mereka menempuh perjalanan siang malam menyeberangi Batang Agam.
Dalam perjalanan, saat istirahat di pinggiran Batang Agam, dilakukan penghitungan jumlah rombongan, namun jumlah yang istirahat tidak lagi sama dengan jumlah rombongan saat akan berangkat. Terjadi perdebatan, bahwa dengan jumlah yang kurang adalah sebanyak lima kaum, sebagian lagi ada yang mengatakan hanya sebanyak dua kaum. Pihak yang mengatakan hilangnya menyatakan dua kaum, menerangkan bahwa rombongan yang hilang tersebut dipimpin oleh Datuk Mareko Panjang Jangguik, mereka meneruskan perjalanan ke Kampar Kiri. Mereka mendirikan korong kampung serta koto dan nagari di sepanjang sungai Kampar Kiri. Satu rombongan lagi yang hilang adalah rombongan yang dipimpin oleh Datuk Mareko Putih Gigi. Rombongan ini menyusuri sungai Kampar Kanan hingga ke hilir. Di sepanjang sungai tersebut mereka kemudian beranak pinak. Lokasi baru yang ditempati rombongan yang berangkat dari Luhak Tanah Datar ini kemudian diberi nama Luhak Limapuluh Koto.
Bersambung…
Akan terbit:
- Aturan ahli waris dalam adat Minangkabau
- Sistim Pemerintahan Pertama Minangkabau
Referensi sebelumnya: