Negara Dinilai Kurang Peduli Kepada Karya Besar Penulis Sastra

Negara Dinilai Kurang Peduli Kepada Karya Besar Penulis Sastra

 

Jakarta, Banuaminang.co.id Sejumlah sastrawan, penyair, dan budayawan menilai, sampai hari ini negara dinilai kurang peduli terhadap karya besar para penulis sastra bila dibandingkan dengan negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Vietnam.

 

Demikian hasil rangkuman wawancara penulis dengan Prof.Dr.Wahyu Wibowo, Marlin Dinamikanto, Fanny Jonathans Poyk, dan Tatan Daniel di Jakarta, Kamis (7/9/2023).

 

Sebelumnya keempat penyair dan sastrawan ini telah ditemui penulis pada acara peluncuran buku antologi puisi tunggal ke-6 berjudul IGA, RINDU TANAH PLASENTA karya Penyair Syarifuddin Arifin di kolong jembatan layang (flyover) Jln.Arief Rahman Hakim, Depok Baru, Jawa Barat, Minggu (3/9/2023).

 

“Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus yakni kegiatan apresiasi sastra harus lebih ditingkatkan lagi terutama di sekolah-sekolah yang pernah ada, tetapi hilang.Betul, penyair di Indonesia bisa menjadi profesi asalkan ada dukungan dari pemerintah.Kan.sudah ada dana abadi kebudayaan dari pemerintah, manfaatkan dana abadi itu ,” ujar Prof.Dr.Wahyu Wibowo.

 

Sementara Penyair Perempuan Indonesia yang juga dikenal sebagai Cerpenis Fanny Jonathans Poyk di negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand perhatian pemerintahnya terhadap penulis sangat tinggi.

 

” Di sana seorang penulis dan sastrawan punya kelas paling tinggi.Aku sering ikut mereka.Itu mereka dibiayai oleh pemerintahnya.Apapun yang mereka minta langsung dihargai dan dipenuhi,” ujarnya.

 

Fanny Jonathans Poyk-penulis yang energik dan produktif ini- minta pemerintah terjun ke lapangan, dan lihat langsung aktivitas dan kegiatan berbagai komunitas sastra penyair dan sastrawan atau group-group kesenian lainnya seperti teater dan sebagainya baik di Kota Jakarta dan sekitarnya maupun sejumlah daerah.

 

“Itu kan ada dana abadi kebudayaan.Cari mereka yang potensial berkarya, lalu biayai karya dan kehidupan mereka sehari-hari.Lihat saja nasib kehidupan Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calsoum Bachri dalam usia 83 tahun tiap bulan masih harus memikirkan bayar listrik, telepon, air,dan sebagainya,” katanya.

 

Kecuali mungkin kalau penulis itu pensiunan ASN, dapat uang pensiun, berkarya bebas dan tak pusing lagi bicara soal tunjangan dana sehari-hari.

 

“Saya ini ,misalnya, cuma bisa bergerak pada kata-kata, bergerak di dunia kata-kata, dan mencari peluang rezeki daru kata-kata, bahkan sampai jatuh sakit,” ceritanya.

 

Menurutnya, sampai saat ini para penyair dari kelas bawah tanah atau akar rumput (grass roots) masih berjuang sendiri.

 

“Misalnya, menulis karya sendiri seperti puisi, lalu menerbitkan jadi sebuah buku antologi dengan biaya sendiri.Bahkan menjual sendiri buku antologi tersebut, dan yang beli interen kita sendiri, diantara kita-kita saja,” kilahnya.

 

Begitu pula, lanjutnya, bila ada event-event sastra di luar negeri, terakhir ke Perancis.

 

“Ya, orangnya itu-itu saja, terutama orang-orang tertentu yang sudah punya link ke pemerintah dan swasta.Penulis yang dapat berangkat ke.luar negeri dipilih dari anggota mereka sendiri berdasarkan selera bukan secara acak.Seperti yang kemarin berangkat ke Perancis dari dia ke dia lagi,” tegasnya.

 

Tatan Daniel pada acara diskusi sastra terbuka peluncuran buku antologi puisi tunggal ke-6 karya Penyair Syarifuddin Arifin berjudul IGA, RINDU TANAH PLASENTA di kolong jembatan layang (flyover) Depok Baru, Minggu siang (3/9/2023) juga senada dengan pendapat Fanny Jonathans Poyk.

 

“Penyair menulis puisi karya sendiri,.lalu mencetak buku dengan biaya sendiri, dan menjajakan buku seorang diri juga.Dimanakah negara ? Bandingkan dengan negara Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam,atau Thailand, dan seterusnya.Saya ini tidak menyinggung isu buku, tetapi pada fisik buku.Tentu berkaitan dengan kita semua, dimana kita masih bikin puisi sendiri, cetak sendiri, dan menjual buku sendiri,” katanya seraya mempertanyakan setelah cetak buku antologi puisi apa yang kita terima.

 

“Jangan-jangan buku antologi puisi tunggal IGA RINDU TANAH PLASENTA karya Syarifuddin Arifin ini bisa hanya tersimpan di rak-rak buku Mas Arief Joko Wicaksono yang dikenal tekun dan cermat dengan penuh kasih sayang menyimpan buku dan karya sastra seperti HB.Jassin.Ataukah seperti seorang Adri Darmadji Woko yang beberapa waktu lalu pu blish persoalan musibah kematian kecil karena buku-buku sastra yang disimpannya dimakan rayap dan dihantam bencana banjir,” katanya.

 

“Ini persoalan kita bersama.Buku antologi puisi itu seharusnya bisa dicetak oleh negara.Saya kira hal-hal seperti ini pantas juga dilihat oleh para petinggi di kementerian.Saya ingat saat duduk di bangku SMP buku-buku koleksi Balai Pustaka dan Balai Pustaka juga menyebar sampai ke sekolah saya yang jaraknya kurang lebih 150 kilometer dari Kota Medan.Buku-buku sastra ini bisa dibeli negara, dan royalti dibayar kepada penyair,” ujarnya.

 

Ditambahkan oleh Tatan Daniel seharusnya negara bisa memberikan penghormatan atau pemuliaan, semisal, kepada seorang Arief Joko Wicaksono atau seorang Adri Darmadji Woko yang secara sukarela menyisihkan uang dan ruang untuk koleksi buku-buku tersebut.

 

Marlin Dinamikanto pada kesempatan wawancara dengan penulis menegaskan bahwa sastra itu tak bisa hanya diserahkan kepada komunitas per komunitas kalau mau berkembang.

 

” Sastra memang harus dikelola negara.Sekarang kita desak negara.Juga harus ada gerakan-gerakan di komunitas sastra itu sendiri,” pesannya.

 

Marlin Dinamikanto mengatakan lagi paradigma menteri kita kalau enggak ikuti kapitalisme yang berkembang akan banyak mengalami kesusahan.

 

“Produk-produk pendidikan tak akan terserap ke pasaran kerja. Kita sebenarnya sudah mewakafkan diri sebagai bangsa skrup yakni skrup-skrup kapitalisme.Kita cuma bagian dari bagian kapitalisme, tetapi bukan yang punya ide.Yang punya ide iti adalah kebebasan berfikir, termasuk menulus bagian atau wujud dari kebebasan berfikir.Ini merupakan ekspresi yang paling gampang dilacak jejaknya, ya, menulis itu.

 

Menjawab pertanyaan penulis mengapa pemerintah sekarang lebih fokus memperhatikan karya seni musik ketimbang sastra ?

 

“Industri musik itu kan hubungannya dengan intertaiment, sementara sastra untuk ‘menduitkan’ atau mengkapitalisir enggak bisa untuk unsur komersial yang sesaat,” pungkasnya. (**)

 

Reporter : Lasman Simanjuntak

Keterangan foto : Fanny Jonathans Poyk (Foto : Lasman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *