Misteri illahi
by: Bumiara
Di tepi samudra takdir
terhampar jejak-jejak para kekasih
yang pernah berjalan tanpa tubuh,
tanpa suara,
tanpa kehendak,
hanya digerakkan oleh aliran Rahasia Yang Maha halus.
Jejak itu tak tampak bagi mata,
namun tertanam di hati
mereka yang pernah merasakan
satu detik fana
yang menghapus seluruh sejarah dirinya.
Di antara kabut tipis
yang menyelimuti cakrawala,
terdengar gema tanpa bunyi:
“Tidak ada laut, tidak ada kapal,
tidak ada malam, tidak ada lentera—
yang ada hanyalah Dia
yang menampakkan diri
dalam rupa-rupa.”
Namun manusia,
dengan segala kecerdasan yang ia banggakan,
sibuk menghitung riak di permukaan
dan lupa bahwa seluruh samudra
bergetar mengikuti satu Titah
yang hanya diketahui
oleh orang-orang yang telah dibakar cinta.
Ombak yang menggila
adalah ayat tentang keperkasaan-Nya,
dan ombak yang lembut
adalah ayat tentang kasih sayang-Nya.
Namun manusia memfitnah keduanya:
yang besar ia sebut bencana,
yang kecil ia abaikan,
padahal keduanya adalah surat cinta
yang ditulis dengan bahasa air.
Kabut tebal yang menyergap
bukanlah kesesatan;
itulah sekolah keheningan
di mana murid-murid ruhani
belajar membaca tanpa huruf,
melihat tanpa cahaya,
dan memahami tanpa pikiran.
Di sanalah ruh disabari oleh Tuhan
hingga ia mengenal rahasia
bahwa proses tersesat
sering kali lebih jujur
daripada proses merasa telah sampai.
Bahtera pun terus melaju,
bukan karena ia mampu,
tetapi karena ia ditarik oleh kerinduan
yang lebih tua dari penciptaan ruang.
Sebab kerinduan adalah tali tak kasat mata
yang mengikat antara hamba dan Tuhannya,
melewati tujuh lapis tabir,
hingga yang tersisa
hanyalah getaran yang tak punya arah
kecuali kembali.
Dan lentera itu—
yang kecil, yang sederhana,
yang sering kita remehkan—
tetap berdiri sebagai saksi.
Ia menyala bukan untuk menerangi jalan,
tetapi untuk menegur:
“Jika engkau masih memerlukan cahaya,
engkau belum menjadi cahaya.”
Maka malam pun menjadi guru,
menghapus batas antara gelap dan terang.
Ia menyingkapkan kebenaran
yang tak mampu ditanggung siang:
bahwa seluruh perjalanan ini
bukan tentang sampai,
bukan tentang selamat,
bukan tentang menang melawan badai—
tetapi tentang belajar
menjadi tiada
agar Yang Ada
tampak tanpa penghalang.
—
#foryou
#sufi





