Menafsir Ulang Larangan Menikah Satu Suku di Era Modern
Oleh: Annisa Putri
Di tengah perubahan sosial yang cepat, larangan menikah satu suku di Minangkabau kini menjadi bahan diskusi yang menarik. Sebagian generasi muda menilai aturan ini sudah tidak relevan, sementara sebagian lain melihatnya sebagai bagian penting dari identitas budaya yang harus dijaga. Lalu, bagaimana adat Minang menempatkan tradisi ini di tengah dunia modern?
Adat Minangkabau memiliki falsafah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, adat berpijak pada agama, dan agama berpijak pada Al-Qur’an. Menurut pandangan Islam, menikah sesuku sebenarnya tidak dilarang, selama bukan hubungan darah langsung. Namun, adat Minang tetap mempertahankan aturan ini bukan karena bertentangan dengan agama, melainkan karena alasan sosial dan moral. Adat dan agama berjalan berdampingan, saling melengkapi untuk menjaga keseimbangan hidup masyarakat.
Larangan menikah sesuku bukan hanya masalah garis keturunan, tapi juga simbol pengendalian diri dan penghormatan terhadap batas sosial. Dalam masyarakat modern yang semakin individualistis, prinsip ini justru mengajarkan nilai penting, bahwa perkawinan tidak hanya soal cinta pribadi, tetapi juga tanggung jawab terhadap komunitas dan warisan sosial.
Namun, tantangan muncul ketika urbanisasi dan perantauan membuat batas-batas suku menjadi kabur. Banyak generasi muda Minang yang lahir di luar Sumatera Barat tidak lagi mengenal struktur suku mereka secara jelas. Dalam konteks ini, pemahaman terhadap filosofi di balik larangan menjadi lebih penting daripada sekadar menjalankan aturan secara kaku. Seperti disampaikan Idisda, “Yang harus dijaga bukan hanya nama sukunya, tetapi nilai moral dan keseimbangan yang menjadi tujuan adat itu.”
Pelestarian nilai ini kini dilakukan melalui pendidikan adat, kegiatan nagari, dan pelajaran budaya di sekolah-sekolah. Para ninik mamak berperan mengajarkan kepada anak muda bahwa larangan menikah sesuku adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur dan identitas budaya, bukan sekadar pembatasan kebebasan.
Adat Minangkabau memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi tanpa kehilangan ruhnya. Dalam dunia yang terus berubah, filosofi di balik larangan menikah satu suku tetap mengajarkan kebijaksanaan, tentang pentingnya menjaga hubungan sosial, menghormati asal-usul, dan menempatkan nilai kebersamaan di atas kepentingan pribadi.