Kegagalan Membangun Kader Ideologis Akibatnya Hanya Melahirkan Generasi Biologis Dalam Neo Budaya Dinasty

Jacob Ereste :

Kegagalan Membangun Kader Ideologis Akibatnya Hanya Melahirkan Generasi Biologis Dalam Neo Budaya Dinasty

 

Jika mau merujuk pada budaya dinasty yang pernah ada di Nusantara — pada masa kerajaan dulu — yang kini sudah diubah dalam kesepakatan berbangsa dan bernegara hingga menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia — NKRI, pada jaman kerajaan Mataram Kuno berjaya hanya dahulu misalnya, hanya mengandalkan hasil pertanian, tapi keluasaan kekuasaannya mampu diperluas hingga meliputi Semenanjung Malaka — Malaysia dan Singapura sekarang. Sejarah besar masa itu pun tercatat dalam setiap pergantian kekuasaan (penguasa) kondisi kerajaan justru semakin mencorong hebat, gemilang dan makin berjaya dalam arti politik, ekonomi dan budaya. Begitulah Sri Dharmatungga yang diganti oleh Indra (Syailendra) berhasil menaklukkan Chengla (Kamboja) dan membangun prasasti, seperti Candi Brobudur, persis semacam hasrat pemerintah Indonesia sekarang ingin membangun IKN (Ibu Kota Negara) Indonesia di Kutai Kertanegara. Agaknya, atas dasar itu pula Ibu Kota Negara itu kelak akan disebut IKN Nusantara.

 

Semasa Kerajaan Mataram Kuno dipimpin oleh Samaratungga, ilmu pengetahuan dan kesenian mencapai puncak kegemilangan, seperti yang ditandai oleh bangunan indah Candi Brobudur. Dan Indonesia besok ingin ditandai oleh IKN Nusantara. Hanya saja caranya membangun sejumlah Candi pada masa itu tidak memakai dana dari APBN maupun bantuan dari negara asing.

 

Konon ceritanya saat membangun Candi-candi itu dahulu para leluhur suku bangsa Nusantara ini dalam keadaan sunyi dan senyap — tidak ribut dan gaduh — karena memang sejatinya bangsa-bangsa Nusantara tak suka untuk — pamer — kecuali itu niatnya adalah atas dasar keyakinan dan kepercayaan untuk memuja kebesaran Tuhan. Maka itu, situasi dan kondisi serta posisi candi-candi itu penuh dengan aura yang sakral dan bernuansa ritmik spiritual.

 

IKN Nusantara itu — kalau tetap akan dipaksakan terus dibangun agar dapat segera dijadikan tempat upacara tujuhbelasan yang entah kapan waktunya — kelak akan menjadi semacam prasasti sekaligus monumen sejarah bagi generasi berikut, sehingga sangat patut diduga berpautan dengan maraknya budaya dinasty yang terus bermunculan di Indonesia yang sudah ditasbihkan sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik. Tak lagi perlu ada semacam tanah perdikan — yang diberi secara cuma-cuma dari Sang Maharaja di Depok, misalnya. Sebab wilayah tanah perdikan di Depok itu tinggal dikelola saja. Jika dahulu kata Yudho Swantoro adanya pemberian tanah perdikan dari Sang Maharaja untuk anggota keluarganya –kini suatu wilayah yang tinggal diteruskan kekuasaannya untuk wilayah tersebut berikut rakyatnya yang berada di bawah itu akan sekaligus menjadi bagian dari kekuasaan yang tinggal dilanjutkan.

 

Memang ikhwal tanah perdikan itu pada masa kerajaan dahulu bukan serobotan dari tanah rakyat. Apalagi untuk kekuasaan pada suatu daerah yang sudah ada pengelolanya. Itulah bedanya sistem budaya dinasty pada masa silam dengan sistem dinasty pada masa kini yang tampaknya hendak dihidupkan kembali dalam sistem tata kelola pemerintahan model Republik — bukan model kerajaan — yang telah menjadi kesepakatan bersama.

 

Adapun tata krama dalam pergantian atau peralihan kekuasaan dalam kerajaan dahulu selalu diupayakan berlangsung dalam suasana damai. Lantaran sebelumnya sudah melalui musyawarah — seperti yang kini menempel pada Pancasila — karena senantiasa selalu diusahakan agar tidak gaduh dan tidak kacau. Jadi cara dari musyawarah dan mufakat dalam keluarga kerajaan selalu terjaga dan harmoni.

 

Ikhwal penguasa atau raja pada jaman kerajaan dahulu, mereka dituntun oleh laku spiritual, sehingga kekuasaan tidak semata-mata demi kekuasaan. Maka itu gelar satria pinandita tak mungkin palsu seperti ijazah yang bisa diperjual belikan sekarang. Dan raja pada jaman kerajaan dahulu sungguh memilki bobot dan bebet yang dapat dipertanggung jawabkan. Seperti sebutan ambek para marta, atau gelar khalifatullah sayidin panatagama, sungguh dapat dijadikan panutan.

 

Cerita Sultan Mudhafarsyah dari Kesultanan Ternate semasa hidup, sebagai Raja dia selalu keliling ke kampung-kampung untuk mendengar dan melihat langsung kehidupan nyata warga masyarakat yang dipimpinnya. Kecuali itu, dia memiliki semacam Dewan Pertimbangan Agung yang memantau segala segi kehidupan masyarakat. Sehingga kebijakan yang hendak dilakukan sang raja mampu menjawab kepentingan dan keperluan warga masyarakat yang dibutuhkan. Tak ada manipulasi data, atau sekedar supaya Puan dan Tuan senang dalam kepura-puraan.

 

Jadi sungguh sulit menautkan budaya dinasty yang harmoni pada sistem masa kerajaan dahulu dengan sistem negara republik sekarang ini. Sebab kepentingan untuk menjadi penguasa, sekarang hanya ingin berkuasa, bukan atas dasar pengabdian untuk rakyat. Dan sistem dinasty pada jaman republik sekarang ini sudah lama menjadi wabah di bilik partai politik. Suksesi yang terjadi dalam partai politik bukan atas dasar ketangguhan dan keampuhan ideologis, tapi sekedar tali-menali biologis yang diproses melalui cara karbitan. Maka itu hasilnya, persis seperti buah pisang yang dikarbit. Rasanya magel tak karu-karuan. Tidak matang.

 

Tradisi budaya dinasty ini pun sudah lama melaten di negeri-negeri kecil pada tingkat Provinsi dan Kabupaten serta Kota di Indonesia. Anak, istri, bahkan cucu hingga menantu mendapat warisan kekuasaan yang direkayasa sedemikian gigih dan elok, hingga terkesan caranya yang paling baik untuk membangun negara dan bangsa di republik ini. Penyebabnya adalah akibat dari kedangkalan daya nalar terhadap pemahaman antara ideologis dengan biologis, seperti yang menjadi penyakit paling parah yang melanda partai politik di Indonesia sekarang.

 

Begitu juga soal nafsu untuk menekan estafeta dari suatu model kepemimpinan yang terpaksa diwariskan. Kalau memang hasil dari penilaian semuanya bagus, mengapa tidak program yang telah ditancapkan itu mau diteruskan. Lha, kalau tujuan dan manfaat dari perencanaan dan pembangunan yang dilakukan selama berkuasa tidak seperti yang diinginkan rakyat, artinya itu bagian dari kegagalan, mulai dari memahami tugas dan tanggung jawab bahwa menjadi pengurus pemerintahan itu bukan untuk dan demi kepentingan pribadi, tetapi demi dan untuk orang banyak. Karena itu sebagai petugas partai jelas harus dibedakan secara tegas dan jelas dengan petugas negara.

 

Penulis : Jacob Ereste

Banten, 20 Juni 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *