Kaba Minangkabau

KABA MINANGKABAU

 

Disadur Dari Buku Minanga, Minangkabau dan Pagaruyung

Disusun oleh DR. H. Nudirman Munir, SH, MH.

 

Pengertian

Kaba adalah genre sastra tradisional Minangkabau berupa prosa. Kaba dapat dibacakan maupun didendangkan. Bentuknya berupa pantun lepas maupun pantun berkait disertai ungkapan pepatah-petitih, mamangan, pameo, kiasan, dan sebagainya. Kaba berfungsi untuk menyampaikan cerita atau amanat. Biasanya tokoh dalam kaba tidak jelas dan nama-namanya cenderung bersifat simbolik.

 

Kaba yang disampaikan oleh seorang tukang kaba. Pertunjukan kaba berbeda-beda bergantung daerah Minangkabau. Ada yang menyampaikan kaba dengan randai, ilau, atau dengan nyanyian yang disebut basijobang. Sesudah Perang Dunia 1, kaba mulai dipertunjukkan sebagai sandiwara dan diterbitkan. Kaba pertama kali ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Latin sehingga berkembang sebagai cerita yang bertema aktual. Cerita kaba selalu diawali kisah tambo yang memaparkan asal usul Minangkabau.

 

Asal usul dan Jenis

Asal usul

Kata kaba diduga berasal dari bahasa Arab khabar, yang sinonim dengan kata berita (Minangkabau: barito). Namun, dalam peristilahan Minangkabau kedua kata ini dibedakan. Dalam segi cerita, kaba mirip dengan hikayat atau cerita dalam Sastra Melayu. Beberapa kaba seperti Kaba Sutan Manangkerang (1885) dan Kaba Manjau Ari (1891) pernah diterbitkan sebagai hikayat. Sebaliknya, Hikayat Hang Tuah juga pernah disadur ke dalam bentuk kaba. Perbedaan kaba dengan hikayat terletak pada alat literer yang digunakan. Di dalam hikayat digunakan satuan linguistik seperti kalimat dan paragraf.

 

Jenis

Edwar Jamaris dalam buku Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau (2002: 79), membagi kaba ke dalam dua kelompok, yaitu kaba lama dan kaba baru. Sedangkan Junus (dalam Edward jamaris, 2002: 79) mengelompokkan kaba ke dalam dua kelompok, yaitu kaba klasik dan nonklasik.

 

Edwar Jamaris menambahkan beberapa ciri yang terdapat dalam kaba lama dan kaba baru. Kaba lama mempunyai ciri:

 

a). Berkisah tentang perebutan kekuasaan antara dua kelompok yang salah satunya adalah “orang luar” (dari suatu kesatuan keluarga);

 

b). Kisah itu dianggap berlaku pada masa silam tentang anak raja yang mempunyai kekuatan supranatural. Kaba lama rata-rata disebarkan dalam bentuk tradisi lisan atau bentuk naskah.

 

Beberapa contoh dari kaba lama adalah Kaba Cindua Mato, Kaba si Untuang Sudah, Kaba Magek Manandin, Kaba Malin Deman dengan Puti Bungsu, Kaba Rambun Pamenan, dan Kaba si Umbuik Mudo.

 

Kelompok yang kedua, disebarkan dalam bentuk cetakan. Beberapa cerita kaba baru, misalnya Kaba si Rambun Jalua, Kaba Siti Fatimah, Kaba Rang Mudo Salendang Dunia, Kaba Karantau Madang di Hulu, dan Kaba Siti Jamilah dengan Tuanku Lareh Simawang. Kaba baru menceritakan kehidupan orang kebanyakan beserta dengan persoalan, penderitaan, dan tragedinya.

 

Contoh kaba tradisional yang terkenal adalah Kaba Cindua Mato, Kaba Malin Kundang, Kaba Magek Manandin, Kaba Sutan Pangaduan, Kaba Sutan Pamenan, Kaba Anggun Nan Tongga, Kaba Gadih Basanai, Kaba Sutan Palembang, Kaba Si Umbut Mudo dan Kaba Malin Deman. Kaba seperti ini lebih dikenal sebagai cerita fantasi atau sejarah. Sejak tahun 1920-an telah dikarang pula kaba yang lebih memusatkan perhatian pada dunia kontemporer, seperti Kaba Sutan Lembak Tuah atau Merantau ke Malaysia: Mahyuddin dan Emi (1992).¹

 

Penerapan Kaba di Minangkabau

Kaba Minangkabau sebagai media pemertahanan bahasa ibu, kesusastraan dan pengajaran dalam keluarga di Minangkabau. Pengajaran ini bermakna bahwa dengan terus mempertahankan eksistensi Kaba dalam masyarakat, maka secara otomatis pelestarian bahasa ibu juga akan terus bertahan dalam perkembangan zaman. Bahasa amai atau ibu yang ada dalam kaba Minangkabau jika terus dipertahankan sebagai sebuah inovasi akan menjadikannya sebuah bahasa yang lebih mulia. Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa daerah atau bahasa Minangkabau adalah sebuah bentuk kekayaan budaya yang dapat dimanfaatkan, bukan hanya sebagai sebuah kepentingan pengembangan melainkan sebagai sebuah eksistensi bahasa itu sendiri.

 

Penerapan Kaba Minangkabau sebagai media pelestarian bahasa ibu ini sudah lama diterapkan pada proses belajar dan mengajar di program studi Sastra Daerah Universitas Andalas Sumatera Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar mahasiswa Sastra Daerah menggunakan bahasa Minangkabau dalam berkomunikasi dan dalam situasi komunikasi ini mahasiswa Sastra Daerah mampu mengembangkan pengalaman empiris untuk pengembangan kearifan hidup dalam kaba baik secara individual maupun secara kolektif di kampus ataupun di masyarakat. Secara tidak langsung juga bahasa amai atau ibu yang ada dalam kaba Minangkabau dapat terus dipertahankan sebagai sebuah inovasi akan menjadikannya sebuah bahasa yang lebih mulia.

 

Pendahuluan

Melestarikan sebuah warisan budaya yang menyangkut nilai-nilai budaya itu sendiri memerlukan adanya rasa kepemilikan dan kecintaan yang luar biasa untuk terus bertahan terhadap perubahan zaman. Peninggalan peninggalan kebudayaan yang penuh nilai dan makna ini perlu dilestarikan agar tidak hilang begitu saja ditelan zaman. Masyarakat dan orang yang ahli dalam bidangnya sangat dituntut sekali untuk bisa memahami makna-makna ini, baik itu perubahan budaya, bahasa, kesenian, kehidupan dan lain-lain yang menyangkut pada perubahan tersebut. Perubahan terhadap budaya, bahasa dan sastra ini dapat dapat berjalan secara lamban maupun cepat sehingga susah untuk dikontrol. Perubahan-perubahan tersebut dapat berbeda-beda karena masyarakat itu merupakan masyarakat yang dinamis

 

Hal ini sejalan dengan pendapat Leonard dkk (2009:11), yang menyatakan bahwa masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang mengalami perubahan yang cepat Pendukung kebudayaan seperti budayawan. bahasawan, sastrawan, pekerja seni dan lain-lain hendaknya dapat mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas kebutuhan-kebutuhan kebudayaan itu sendiri pada waktu tertentu, tetapi tidak begitu saja menghilangkan nilai-nilai dan makna-makna dalam kebudayaan ini. Bila perlu terkadang sebuah kebudayaan, bahasa dan sastra ini menjadi sangat mahal untuk kembali “dijual” di tengah zaman yang serba modern ini karena yang asli itu sudah banyak yang hilang dimakan zaman. Budaya, bahasa dan sastra Minangkabau yang dimiliki ini nantinya diharapkan tidak saja bertahan di tengah zaman. namun juga dapat mengukir sejarah peradaban pada bangsa-bangsa di dunia. Keyakinan yang kita harapkan ini secara psikologis tidak hanya akan memberikan kebanggaan, tetapi juga kesetiaan untuk memelihara dan terus mencintai nilai-nilai luhur dalam budaya, bahasa dan sastra Minangkabau yang besar ini.

 

Pembahasan

Pada era globalisasi ini, semua hal yang berkembang seperti halnya teknologi semakin menyusup ke dalam kehidupan masyarakat dunia, baik itu masyarakat modern maupun tradisi khususnya masyarakat Minangkabau. Pengaruh tersebut banyak mengubah tatanan dan cara hidup serta pola pikir masyarakat sampai-sampai masyarakat seakan terhipnotis oleh pengaruh ini. Pengaruh ini akhirnya juga merasuk ke dalam kebudayaan, bahasa, sastra dan spirit kejiwaan masyarakat Minangkabau. Dari sekian banyak bentuk kebudayaan yang ada di Minangkabau, beberapa nya telah mulai terkikis dan bahkan telah ada yang hilang oleh modernisasi sehingga nilai-nilai dari kebudayaan itu luntur dan berubah. Kreativitas adalah kunci jawaban agar spirit kebudayaan Minangkabau dapat fleksibel dan bertahan terhadap perubahan seperti halnya kebudayaan.

 

Ide dan kekayaan batin merupakan modal pokok bagi pengembangan kreativitas para pribadi-pribadi pencinta budaya, bahasa dan sastra Minangkabau ini. Kreativitas orang-orang yang berkecimpung dalam tiap-tiap lini kebudayaan seperti pekerja seni, budayawan, bahasawan dan lain-lain hendaknya dapat menjadi tonggak pembaharu agar kebudayaan tidak hilang begitu saja ataupun punah. Kemunculan individu-individu kreatif merupakan kemunculan kreativitas yang luar biasa. Mereka tidak terikat dengan pola lama yang menghambat kreativitas individu. Mereka muncul secara pribadi-pribadi dan bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lahirkan tanpa menghilangkan nilai-nilai dan makna-makna yang terkandung di dalam sebuah budaya, bahasa dan sastra yang ada di Minangkabau. Kaba adalah sebuah bentuk karya sastra yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau melalui sistem oral. Kaba awalnya berupa bentuk tuturan atau bahasa lisan.

 

Pernyataan ini diperkuat oleh Rahmat (2012:1) bahwa kata kaba sama dengan “kabar”, sehingga boleh juga berarti “berita”, tapi sebagai istilah ia menunjuk suatu jenis sastra tradisional lisan Minangkabau. Kaba berbentuk prosa lirik. Bentuk ini tetap dipertahankan saat diterbitkan dalam bentuk buku, tetapi sebagai istilah ia merujuk pada suatu jenis sastra tradisional lisan Minangkabau. Hal ini dikarenakan pada saat awal berkembangnya kesusastraan, masyarakat Minangkabau tidak mengenal bahasa tulis. Setelah masyarakat Minangkabau mengenal tulisan, maka dituangkan lah kaba tersebut dalam bentuk buku agar salah satu bentuk tradisi ini tidak hilang begitu saja ditelan zaman. Oleh sebab itu kaba bertahan dengan dua bentuk yakni dengan bahasa lisan dan tulisan. Kaba terbagi dua yaitu kaba klasik dan non klasik (Junus melalui Djamaris, 2002:79).

 

Kaba klasik adalah kaba yang isi ceritanya istana sentris, sedangkan non klasik adalah kaba yang bercerita tentang hal kekinian. Kaba banyak mengandung nilai-nilai kehidupan, pendidikan dan pengajaran baik untuk kaum muda maupun kaum tua dalam keluarga. Kaba juga berisi tentang adat, pergaulan, nasehat-nasehat, tanggung jawab, kewajiban sosial, adat dalam berumah tangga serta persoalan kehidupan sosial masyarakat Minangkabau secara umum, yang bertugas untuk mendidik pendengar atau pembaca bagaimana hidup bermasyarakat dan berbudaya. Bahasa Minangkabau, sastra Minangkabau, dendang Minangkabau dan pementasan kesenian daerah di Minangkabau, semuanya berpegang dan berangkat dari kaba tanpa mengesampingkan bentuk tuturan lisan tradisi Minangkabau lainnya. Oleh sebab itu kaba dapat menjadi media pemertahanan bahasa ibu, kesusastraan dan pengajaran dalam keluarga di Minangkabau. Keberadaan budaya, bahasa dan sastra Minangkabau tampaknya mulai mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

 

Perubahan ini menunjukkan adanya pengaruh yang luar biasa dari perkembangan zaman, bahkan sebagian besar perubahan tersebut tidak dapat dirasakan lagi oleh para generasi muda yang hanya mewarisi sebuah bentuk perubahan baru di dalam kehidupan mereka. Generasi muda seolah-olah dibutakan oleh peradaban baru dan membutakan peradaban lama yang luar biasa yang belum mereka rasakan. Ruang lingkup sastra Minangkabau tentu saja adalah karya sastra yang berada dalam ruang lingkup wilayah Minangkabau. Kesusastraan Minangkabau adalah kesusastraan adat, yaitu gambaran perasaan dan pikiran dalam tataran alur patut yang diungkapkan dengan bahasa Minangkabau yang diwariskan secara oral atau kato-kato atau rundiang bakiah kato bamisa (rundingan berkias kata bermisal) dari suatu generasi kegenarasi (Maryelliwati, 1995.29-30).

 

Sastra Minangkabau yang lisan tersebut merupakan suatu bentuk folklore yang hidup dan diwariskan secara turun temurun dalam bentuk tradisional, tidak tertulis dan besar kemungkinan akan hilang, punah atau berubah. Kebanyakan kesastraan lisan yang tetap ada atau bertahan dalam perubahan zaman tersebut banyak mengalami perubahan perubahan. Fenomena-fenomena perubahan yang demikian juga berdampak terhadap eksistensi kaba sebagai media pemertahanan bahasa ibu dalam pendidikan anak di Minangkabau. Kaba berbentuk prosa lirik. Bentuk ini tetap dipertahankan saat diterbitkan dalam bentuk buku. Kesatuannya bukan kalimat dan bukan baris, Kesatuannya ialah pengucapan dengan panjang tertentu yang terdiri atas dua bagian yang berimbang

 

Suatu kesatuan akan diikuti oleh kesatuan lainnya dengan pola yang sama, sehingga terjadi perulangan atau kesejajaran struktur. Dalam berbagai ungkapan istilah kaba sering didahului istilah curito (cerita) sehingga selalu disebut curito kaba (cerita kabar) (Navis, 1982:243). Kaba merupakan salah satu warisan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau. Kaba banyak mengandung falsafah hidup, pendidikan dan pengajaran baik ditujukan untuk kaum muda ataupun kaum tua. Kaba juga berisi tentang adat, pergaulan, nasehat-nasehat, tanggungjawab serta kewajiban sosial, adat berumah tangga serta persoalan kehidupan sosial masyarakat Minangkabau secara umum, yang bertugas untuk mendidik pendengar atau pembaca bagaimana hidup bermasyarakat dan berbudaya. Sebuah karya sastra (kaba) jika menggambarkan sebuah realitas sosial berarti karya tersebut bisa menjadi bahan renungan dan pembelajaran. Contoh bentuk tuturan kaba adalah sebagai berikut:

 

“Bakato Amai Gadang,” kok itu kato kakak, kami mancaliak kami pandangi, batua inyo mudo matah, laku elok parangai rancak, urang mudo bapusako, ado batunjuak baajari, tidak sarupo bujang nan banyak, tibo ka sawah inyo ka sawah, wakatu manggaleh inyo manggaleh, sumbahyang wajib nan limo wakatu indak tingga, itu bana nan mandayo, anak masak bapangaja” (Kaba Siti Kalasun: 13).

 

“Berkata Amai Gadang, “jika seperti itu kata kakak, kami lihat kami perhatikan, betul dia masih muda, sifatnya bagus perangainya baik, seorang pemuda yang berpusaka, ada dididik dan diberi ilmu, tidak seperti pemuda lainnya, sewaktu ke sawah dia kesawah, sewaktu berdagang dia berdagang. sholat yang lima waktu tidak pernah tinggal, itulah hal yang menariknya, seorang anak masak yang ada diajar”.

 

“adat limbago laki-laki, pandai basilek jo manembak, indak jadi batulang lamah, indak buliah badarah bali, tabujua lalu tabalintang patah” (Kaba Sabai Nan Aluih:71).

 

adat lembaga laki-laki, pandai bersilat dan menembak, tidak menjadi bertulang lemah, tidak boleh berdarah bali, terbujur lalu terbelintang patah (tegas, kuat dan tidak penakut).

 

Perubahan-perubahan bisa terjadi pada sebuah keaslian seperti yang berdampak terhadap perubahan struktur, nilai, fungsi dan makna dalam kaba Minangkabau. Kaba lahir dari aktivitas masyarakat yang mempunyai nilai- nilai kehidupan kemudian diceritakan kepada sanak sudaro dan ditambah- tambah agar cerita menjadi baik dan enak didengar. Hal tersebut dipertegas oleh Junus (1984:17), bahwa dalam berbagai ungkapan istilah kaba sering didahului istilah curito (cerita) sehingga selalu disebut curito kaba (cerita kabar). Kaba menyimpan begitu banyak pengetahuan dan pengalaman empiris untuk pengembangan kearifan hidup baik secara individual maupun secara kolektif.

 

Keberadaan kaba dari dulu hingga saat ini menunjukan identitas masyarakat yang berkebudayaan tinggi dan menyenangkan. Dahulunya kaba disampaikan secara lisan oleh tukang kaba sebagai penghibur, Kemudian kaba berubah menjadi tradisi tulis seperti dalam bentuk-bentuk naskah atau buku yang telah dicetak. Kaba yang telah beredar dalam bentuk tulisan atau cetakan ini ada yang berbentuk naskah-naskah (manuskrip) dan ada juga yang berbentuk buku. Penulisan kaba dalam bentuk naskah itu biasanya bertuliskan arab melayu sedangkan dalam bentuk buku seperti tulisan latin saat ini.

 

Dalam kebutuhan sebuah pertujukan, carito-carito kaba ini banyak diadaptasi menjadi sebuah bentuk seni yang diolah dan dimodifikasi agar kaba-kaba tersebut menjadi sebuah bentuk seni pertunjukan. Seni pertujukan tersebut dapat berupa adaptasi kaba ke randai atau teater, kaba ke lukisan, kaba ke tari baik itu tradisi maupun modern, kaba ke musik instrumen tradisional dan lain sebagainya seperti yang ada di Jurusan Sastra Daerah Universitas Andalas. Sehingga secara tidak langsung juga bahasa amai atau bahasa ibu yang ada dalam kaba Minangkabau dapat terus dipertahankan sebagai sebuah inovasi akan menjadikannya sebuah bahasa yang lebih mulia.

 

Keberadaan kaba Minangkabau awalnya sangat digemari masyarakatnya. Kaba dijadikan hiburan pelepas penat bersama anggota keluarga. Biasanya sang ayah akan menceritakan kaba pada anaknya tentang cerita-cerita rakyat, asal-usul suatu daerah, sehingga generasi muda pada saat itu mengerti betul dengan cerita-cerita kaba Minangkabau, sehingga anak-anak tersebut merasa bangga dapat mengetahui dan memahami suatu kaba, kemudian akan diceritakan kembali pada temannya. Keberadaan bahasa amai atau ibu yang ada dalam sebuah sastra Minangkabau atau dalam kaba Minangkabau jika terus dipertahankan dan terus dilakukan sebagai sebuah inovasi akan menjadikannya sebuah bahasa yang lebih mulia. Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa daerah atau bahasa Minangkabau adalah sebuah bentuk kekayaan budaya yang dapat dimanfaatkan bukan hanya sebagai sebuah kepentingan pengembangan melainkan sebagai sebuah eksistensi bahasa itu sendiri.²

 

Kaba, Karya Fiksi Minangkabau 

Kaba adalah kesusastraan Minangkabau sejenis fiksi. Fiksi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah cerita rekaan (roman, novel dll) yang tidak berdasarkan kenyataan atau rekaan belaka alias khayalan dari pengarangnya. Dari pernyataan dan sepertinya membawa kembali ingatan kita ketika membuka lembaran awal cerita-cerita kaba yang telah dituliskan menjadi buku. Biasanya pada lembaran awal kaba itu dibubuhkan pernyataan penulis bahwa kaba itu adalah cerita yang sebenarnya yang pernah terjadi dalam masyarakat Minangkabau pada suatu waktu. Contoh kaba yang telah dicetak dan penulisnya membubuhkan pernyataan bahwa kaba itu adalah cerita sebenarnya adalah Kaba Siti Syamsiah karangan Sjamsudin Sutan Radjo Endah, Kubang Putih, terbitan Pustaka Indah Jln. Soekarno Hatta No. 7 Bukittinggi. Kaba ini selesai ditulis oleh Sjamsuddin Sutan Radjo Endah tanggal 15 Juli 1919.

 

Selain pada Kaba Siti Syamsiah, Samsuddin Sutan Radjo Endah juga membubuhkan tanda bahwa cerita itu adalah fakta pada karya-karyanya yang lain seperti Kaba Si Gadih Ranti dan Si Budjang Saman serta Kaba Si Reno Gadih. Sewaktu kecil saya sering mendengar cerita-cerita orang tua saya bahwa kaba itu adalah cerita yang terjadi di suatu daerah di Minangkabau. Seperti Lareh Simawang adalah cerita tentang Laras Simawang atau cerita lainnya. Orang tua saya mengatakan bahwa kaba tidak sama dengan cerita- cerita seperti Layar Terkembang atau Sengsara Membawa Nikmat. Tetapi karena orang tua saya itu tidak ahli sastra tentu pendapatnya itu tidak bisa dijadikan rujukan

 

Kemudian kaba sebagaimana arti lainnya yang bisa diartikan sebagai kabar berita (dari Bahasa Arab). Maka kaba itu juga merupakan sebuah berita tentang suatu kejadian dalam masyarakat Minangkabau yang disampaikan dengan cara berdendang, baik tanpa alat maupun dengan alat-alat sederhana seperti korek api yang dijentik-jentikkan dengan jari atau dengan cara memukulkan kotak korek api ke atas meja.

 

Saat membayangkan orang bakaba, dugaan saya semakin kuat bahwa kaba bukanlah seperti fiksi dalam artian Bahasa Indonesia. Karena menurut cerita yang di dengar dari orang-orang tua juga, orang bakaba itu tidak selalu seperti yang ditampilkan orang di gedung pertunjukan. Bakaba bisa dilakukan di lepau-lepau sambil minum kopi atau di sawah saat bersama-sama menuai padi. Kaba waktu itu lebih kepada berita tentang suatu kejadian di daerah lain yang diceritakan oleh seseorang kepada orang-orang disekitarnya. Cuma saja agar cerita itu lebih menarik diceritakan dengan cara yang menarik seperti dengan musik atau bahkan dengan ekspresi yang sesuai dengan kondisi berita yang disampaikan. Kalau ceritanya sedih orang yang berkhabar akan berekspresi sedih dan kalau kabar itu adalah suatu yang kocak tukang kaba akan berlaku kocak.

 

Karena sifat kabar itu yang diceritakan dari mulut ke mulut, diceritakan dari satu tempat ketempat lain, bahkan tidak hanya di daerah kejadian. Maka kabar yang disampaikan itu menjadi sebuah cara khas menyampaikan berita bagi masyarakat Minangkabau.

 

Lalu kapan kaba dinyatakan sebagai fiksi? 

Mungkin ketika kabar yang diceritakan itu telah dituliskan menjadi buku saat tradisi tulis sudah berkembang di Minangkabau (umurnya lebih muda dari umur tradisi bakaba itu sendiri). Kabar berita yang dituliskan itu menjadi fiksi ketika para akademisi mulai menerjemahkan tradisi lisan masyarakat Minangkabau itu dengan ilmu-ilmu yang mereka dapat dari luar kebudayaan Minangkabau (teori barat). Ketika akademisi barat mengemukakan sebutan novel, roman untuk cerita-cerita rekaan dan menggolongkannya ke dalam fiksi. maka mereka mulai menyebut kabar yang disampaikan dengan cara bakaba dan kemudian dituliskan itu juga tergolong kepada fiksi.

 

Padahal keduanya sangat bertolak belakang sekali. Fiksi yang disebut akademisi itu adalah cerita rekaan atau khayalan, mungkin mereka menganggap sama dengan kaba, karena mereka berprasangka bahwa kaba juga sebagai rekaan orang-orang Minang. Maka dengan alasan itu mereka golongkan kaba ke dalam fiksi. Padahal kaba bukanlah semata cerita rekaan tetapi dia diangkat dari fakta yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Minangkabau kemudian diceritakan dari mulut ke mulut dan suatu ketika dituliskan.

 

Lalu bagaimana solusi tentang persoalan ini? 

Karena ilmu- ilmu sastra atau teori sastra datangnya dari luar khasanah kebudayaan Minangkabau, maka tidak selalu harus diterapkan untuk menyelidiki secara akademis kaba masyarakat Minangkabau. Hal ini sama dengan orang-orang yang meneliti tradisi pasambahan dengan cara sama dengan menganalisis puisi. Karena dia menganggap kata-kata pasambahan sama dengan puisi. Padahal sesungguhnya hal itu adalah sebuah kekeliruan yang nyata.

 

Kędepan kalau memang penelitian-penelitian atau kajian terhadap seni tradisi Minangkabau akan dilanjutkan, saya rasa para akademisi yang akan meneliti dan mengkaji seni tradisi Minangkabau perlu memikirkan teori atau metode yang tepat untuk mengkaji kesenian tradisi Minangkabau. Tidak hebat seandainya peneliti-peneliti itu mencomot teori asing lalu berusaha bahkan terkesan memaksakan teori itu untuk meneliti kesenian tradisional Minangkabau.

 

Maka hal yang akan lebih baik untuk kita dan ilmu pengetahuan adalah mencarikan atau membuat cara tersendiri untuk menganalisa atau meneliti seni tradisi Minangkabau ini. Kalau dikatakan membuat teori tersendiri yang kontekstual, boleh jadi. Atau kalau dikatakan membuat teori yang berakar dari khasanah kebudayaan tersendiri, mungkin tidak terlalu mengada-ada.³

 

Bersambung…

Akan terbit:

Citra Perempuan Minangkabau Dalam Kaba

 

Catatan Redaksi: Poin-poin yang dirasa ada penekanan tokoh atau suatu peristiwa penting sengaja diberi tulisan tebal.

 

¹ https://id.wikipedia.org/wiki/Kaba

 

²https://www.researchgate.net/publication/312363075 PENERAPAN KABA MINANGKABAU SE BAGAI MEDIA PELESTARIAN BAHASA AMAI IBU DAN KESUSASTRAAN DALAM_PENDIDIKAN LITERASI DI MINANGKABAU/link/599edf73aca272dff134f876/download

 

³https://www.kompasiana.com/azwarnazir/5528a20df17e618e6e8b458a/kaba-karya-fiksi-minangkabau-

 

1#:~:text=Kaba%20adalah%20kesusastraan%20Minangkabau.belaka%20alias%20khayalan%20dari% 20pengarangnya.

 

Referensi sebelumnya:

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *