Jejak Islam Dalam Naskah-Naskah Tambo Minangkabau
Disadur Dari Buku Minanga, Minangkabau dan Pagaruyung
Disusun oleh DR. H. Nudirman Munir, SH, MH.
Jejak Islam Dalam Naskah-Naskah Tambo Minangkabau
Akses masyarakat Minangkabau terhadap naskah-naskah Tambo Minangkabau cukup sulit, karena sebagian besar naskah berada di luar negeri. Kemungkinan besar kondisi tersebut mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap eksistensi Tambo Minangkabau. Ada sinyalemen dan perdebatan yang menyatakan naskah tambo tidak Islami dan berasal dari masyarakat Minangkabau sebelum Islam. Penelitian ini melakukan analisis wacana terhadap kandungan isi naskah-naskah Tambo Minangkabau, khususnya wacana dan terma-terma Islam yang dikandungnya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dalam Tambo terlihat jejak Islam yang nyata, khususnya jejak pemikiran tasawuf. Jejak-jejak tersebut sangat kentara pada naskah-naskah periode pertama, namun berkurang pada naskah periode kedua.
Pendahuluan
Minangkabau sesungguhnya tidak punya tradisi tulis-menulis, setidaknya sampai akhir abad ke-19. Baru pada akhir abad itu ada surat kabar milik orang Minangkabau, yaitu Pelita Ketjil (1886) dan Tjahaja Soematera (1897), keduanya milik Mahjoeddin Datoek Soetan Maharadja. Sebelum itu, dunia tulis-menulis hanya milik para ulama dan murid-muridnya di surau-surau. Sejak Syekh Burhanuddin di Ulakan (1646-1704) sampai ulama-ulama pembaharu murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), bertebaran para ulama dengan surau-suraunya di seantero Minangkabau. Tulisan para ulama tersebut umumnya (kalau tidak semuanya) menggunakan huruf Arab gundul, dan huruf Jawi atau huruf Arab Melayu. Buku-buku dan naskah-naskah tulisan mereka semua ditulis dengan tangan, tidak dicetak. Percetakan baru ada setelah abad ke-19 berlalu. Percetakan pertama milik orang Minangkabau adalah Snelpersdrukkerij Orang Alam Minangkabau (1911), (lagi-lagi) milik Mahjoeddin Datoek Soetan Maharadja. Percetakan itu mencetak koran Oetoesan Melajoe yang terkenal karena polemik dengan ulama Kaoem Moeda yang menerbitkan koran/majalah Al Munir yang dipimpin Syekh Abdullah Ahmad dan Syekh Abdul Karim Amarullah.
Naskah Tambo dan Periode Tambo Dicetak Massal
Naskah Tambo
Seirama dengan perkembangan tulis-menulis di kalangan ulama tersebut, penulisan naskah Tambo Minangkabau juga berlangsung. Dari data-data naskah yang terkumpul, Tambo Minangkabau mulai ditulis pada awal abad ke-19. Naskah tertua yang mencantumkan tahun penulisannya adalah naskah yang tersimpan dalam Perpustakaan Universitas Leiden dengan kode CCLVI.Cod.Or.1745 dalam katalog (Juynboll, 1899). Dalam kolofon naskah tersebut, penulisnya menulis sebagai berikut:
“Tammat al kalam pada hari Rabaa bulan Safar tiga belas hari Hijrah Nabi Muhammad saribu dua ratus ampat puluh tahun alif wa katibuhu Baginda Tanalam Sikaturi Minangkabau di Air Haji Balai Salasa.” (Tamat tulisan ini pada hari Rabu 13 Safar 1240H/ 1824 M, di Air Haji, Balai Selasa, Pesisir Selatan) Naskah lain yang juga mencantumkan tahun lebih tua 1797H, atau bahkan yang mencantumkan 1603M diragukan data tahunnya oleh Djamaris (Djamaris, 1991) karena terlalu jauh dengan tahun penulisan naskah-naskah yang banyak lainnya. Hal tersebut juga didukung oleh data tahun penulisan naskah-naskah lainnya yang semuanya berada di abad ke-19.
Naskah-naskah tersebut dapat dianggap berada dalam periode yang sama karena mempunyai kriteria yang juga relatif sama, yaitu: pertama, Naskah tulisan tangan. Kedua, Sangat bervariasi dari segi ukuran naskah, jumlah baris perhalaman, maupun jumlah halaman. Ketiga, Sangat bervariasi dalam segi muatan, baik kosa kata, tema-tema, maupun jumlah bab atau bagian-bagian isi naskah. Keempat, Berusaha menggunakan bahasa Melayu Tinggi, walaupun banyak kosa kata asli Minangkabau yang tetap dipakai, kemungkinan besar karena tidak ada atau tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Melayu masa itu. Keenam, Umumnya naskah ditulis dengan aksara Arab-Melayu (aksara Jawi).
Terdapat beberapa naskah yang ditulis dengan aksara Latin, dan beberapa naskah menggunakan kedua aksara, Arab-Melayu dan Latin. Jumlah naskah yang terdata di berbagai perpustakaan dan katalog adalah 92 buah Semua naskah tersebar pada enam perpustakaan di empat kota: Leiden, London, Manchester, dan Jakarta. Rincian tempat penyimpanan naskah tersebut terlihat dalam tabel 1 [1] tentang “Keberadaan Naskah-Naskah Tambo Minangkabau Periode Pertama Tulisan Tangan.” Tabel 1. Keberadaan Naskah-Naskah Tambo Minangkabau Periode Pertama Tulisan Tangan No Nama Perpustakaan Jumlah naskah 1. KITLV (Koninklijk Instituut voo Taal Land en Volkenkunde), Universiteit Leiden 6 buah 2. Perpustakaan Universiteit Leiden 52 buah 3. Perpustakaan RAS (Royal Asiatic Society) London 5 buah 4. Perpustakaan SOAS Univ of London 4 buah 5. John Ryland University Library, Manchester 1 buah 6. Museum Nasional, Jakarta 24 buah Total 92 buah Sumber: Data Penelitian Naskah-naskah Tambo Minangkabau tersebut merupakan koleksi yang dikumpulkan oleh para peneliti Belanda sejak awal abad ke-19.
Periode Tambo Dicetak Massal
Tradisi penulisan naskah Tambo Minangkabau berlangsung sampai akhir abad 19. Kolovon naskah tulisan tangan terakhir berbunyi sebagai berikut: “Maka tamatlah kalam pada patang Rabaa, 19 Agoestoes 1896 di Sarik Alahan Tigo pada hari boelan Rabioel Awal. Saja Malin Sampono jang mamboeat ini soerat tambo, salinan dari tambo toeanku radjo disambah Laras Soengai Pagoe.” Naskah yang menggunakan huruf Latin tersebut merupakan naskah Tambo Minangkabau tulisan tangan terakhir yang memiliki data tahun penulisan. Bersamaan tahun itu, di Padang sudah Jejak Islam dalam Naskah-Naskah Tambo Minangkabau 15 terbit surat kabar Tjahaja Soematera yang dicetak di Padang, surat kabar milik Datoek Soetan Maharadja. Maka mulailah masa percetakan massal Tambo Minangkabau. Beberapa naskah dicetak menggunakan aksara Arab-Melayu, sebagaimana juga beberapa naskah lainnya dicetak menggunakan huruf Latin.
Periode paling tua naskah cetakan Tambo Minangkabau adalah naskah beraksara Arab-Melayu, dicetak atas perintah Kerajaan Pulau Kasiak Solok. Tahun pencetakan 1320 H/1902M. Beberapa naskah dapat ditemui dalam katalog Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang, dan dokumen dalam bentuk fotokopi. Naskah periode kedua ini mempunyai kesamaan karakteristik dalam beberapa hal, yaitu: pertama, Huruf cetakan aksara Latin atau ArabMelayu. Kedua, Dicetak dalam bentuk buku standar. Ketiga, Menggunakan Bahasa Indonesia. Keempat, Tersebar dalam jumlah banyak. Kelima, Mengalami cetak ulang. Keenam, Menjadi buku rujukan para peneliti dan pemerhati adat. Muatan atau isi berusaha konsisten dengan muatan dan isi Tambo Minangkabau seperti isi tambo periode pertama.
Walaupun demikian, terlihat nyata ada pengaruh sikap keberagamaan dan rasionalitas penulis. Terlihat pula keinginan untuk bersikap akomodatif terhadap wacana-wacana sejarah ilmiah yang berkembang.
Sekurangnya terdapat sepuluh buku tambo yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok naskah periode kedua ini, yaitunya: [1]
1. Penulis: Ibrahim Datoek Sanggoeno di Radjo/1919. Dengan judul: Tjurai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau. Kota dan Penerbit: Fort de Kock, Typ Drukkerij Merapi.
2. Penulis: Ibrahim Datoek Sanggoeno di Radjo/1924. Dengan judul: Moestiko Adat Alam Minangkabau. Kota dan Penerbit: Jakarta, Weltervreden.
3. Penulis: Ibrahim Datoek Sanggoeno di Radjo/1924. Dengan judul: Kitab Peratoeran Hoekoem Adat Minangkabau. Kota dan Penerbit: Fort de Kock, Drukkerij Gebroeders LIE.
4. Penulis: Maamin Datoeak Padoeko Batoeah/1925. Dengan judul: Minang Kabau Dahoeloenja. Kota dan Penerbit: Fort de Kock, Typ Drukkerij Merapi.
5. Penulis: Djamaran Datuak Batuah Sango/H Dt Toeah/1930. Dengan judul: Kitab Tambo Alam Minangkabau. Kota dan Penerbit: Payakombo.
6. Penulis: Datuk Maruhun Batuah dan Bagindo Tanameh / 1954. Dengan judul: Hukum Adat dan Adat Minangkabau. Kota dan Penerbit: Jakarta, Poesaka Aseli.
7. Penulis: Ahmad Dt Batuah, A Dt Madjoindo/1956. Dengan judul: Tambo Minangkabau. Kota dan Penerbit: Jakarta, Balai Pustaka.
8. Penulis: Datuak Batuah Sango/H Dt Toeah/1959. Dengan judul: Kitab Tambo Alam Minangkabau. Kota dan Penerbit: Payakumbuh, Limbago.
9. Penulis: Bahar Dt Bagari Basa / 1966. Dengan judul: Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau. Kota dan Penerbit: Payakumbuh, CV Eleonora.
10. Penulis: St Mahmoed Manan Rajo Panghulu/1978. Dengan judul Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Kota dan Penerbit: Bukittinggi, Syamza Offset.
Banyak naskah atau buku lain yang juga berkonotasi atau berusaha menampilkan Tambo Minangkabau, tapi tidak memenuhi keenam kriteria tersebut. Naskah-naskah atau buku-buku tersebut dimasukkan sebagai naskah periode ketiga, naskah yang sudah memasuki interpretasi teks tambo. Dalam sepuluh penulisan di atas tentang Naskah Tambo Periode Pencetakan Massal terlihat naskah-naskah tersebut. Naskah periode kedua ini secara relatif melanjutkan tradisi para penulis periode pertama. Penulis hanya menuliskan apa yang didengarnya dari tokoh-tokoh dan pelaku adat, atau menyalin dari naskah tambo terdahulu. Secara keseluruhan, para penulis tersebut masih dapat dikategorikan menulis Tambo Minangkabau.
Perbedaan signifikan dengan penulis periode pertama adalah perbanyakan atau pencetakan secara massal tulisan mereka. Inilah periode naskah tambo massal. Penelitian ini membatasi diri pada naskah-naskah periode pertama dan periode kedua ini. Pertimbangan utama karena seluruh penulisnya tidak melakukan penilaian dan interpretasi atau penafsiran terhadap isi/muatan Tambo Minangkabau. Peneliti berasumsi bahwa naskah tambo yang mereka tulis adalah rekaman obyektif mereka terhadap tuturan tambo yang mereka dengar di zaman mereka masing-masing. Data dan hasil penelitian pada bab berikutnya, hanya membandingkan naskah pada dua periode tersebut, karena diasumsikan pada dua periode tersebutlah para penulisnya hanya menulis, belum menginterpretasikan dan seterusnya.
Transformasi Naskah Tambo
Para penutur Tambo Minangkabau, para janang, juaro pasambahan, guru adat, para penghulu pada dasarnya tidak memandang naskah-naskah tambo sebagai buku tandon, atau buku rujukan adat. Walaupun telah terjadi transformasi wujud naskah tambo dari periode pertama sampai periode keempat, seperti diuraikan di atas, para penutur tambo di galanggang baselo tidak pernah membawa naskah-naskah tersebut pada kegiatan adat. Naskah tambo bagi para pelaku adat dan penutur tambo lisan hanya sebuah bentuk transkripsi, sebuah salinan, saduran, sebuah tafsiran, bukan tambo asli. Tambo asli ada dalam tuturan masyarakat adat itu sendiri. Dengan pemahaman tersebut, maka dapat juga dipahami bahwa berbagai perubahan penulisan naskah tambo dari transkripsi periode pertama, sampai periode keempat, adalah bentuk-bentuk pencarian “tambo yang asli.”
Transformasi itu dapat dipahami sebagai berikut. Periode 1: Transkripsi individual, menyalin tuturan tambo, usaha mengumpulkan semua tuturan sesuai “aslinya.” Periode II: Transkripsi dan pencetakan massal, menyalin tuturan tambo sebagaimana periode 1, kemudian dicetak massal. Periode III: Penafsiran, pencarian makna “Apa di balik tuturan tambo,” penjelasan oleh para pemikir dan ahli adat, dan pelaku adat itu sendiri. Periode IV: Penggalian rahasia “mengapa, kenapa, dan untuk apa” pesan atau tuturan tambo. Penggalian dilakukan dengan berbagai metode ilmu pengetahuan, oleh para peneliti dan akademisi. Mencari penjelasan tentang “Bumi jo Langik Minangkabau di dalam bijo labu yang bernama Tambo Minangkabau.”
Dalam kolofon (catatan penulis) yang ditemukan pada dua puluh empat naskah Tambo Minangkabau, dapat dilihat kemungkinan faktor pendorong penulisan tersebut. Terdapat satu kolofon yang secara nyata menjelaskan alasan penulisan, yaitu perintah dari residen (setingkat bupati). Residen Padangsche Bovenlanden, HE Prins, memerintahkan kepada Soetan Nagrie dari Maninjau untuk menulis naskah berdasarkan data-data yang dikumpulkan Jejak Islam dalam Naskah-Naskah Tambo Minangkabau 17 oleh Oesman Bagindo Khatib, mantri kelas III di Sidjoendjoeng. Padangsche Bovenlanden adalah residen yang meliputi wilayah Darek Minangkabau, mencakup Tanah Datar, Lima Puluh Koto, Agam, Solok, Sawahlunto Sijunjung.
Enam naskah sangat mungkin ditulis atas perintah atau penugasan, karena dinyatakan pada kolofon, bahwa naskah itu milik seorang tokoh adat yang dihormati. Tidak mungkin orang biasa begitu saja menulis naskah untuk seseorang, atau menyalin naskah milik seorang tuanku laras, seperti Laras Soengai Pagoe, kecuali diperintahkan oleh yang bersangkutan. Keadaan tersebut relatif sama dengan lima naskah lainnya, yaitu: naskah milik Kepala Bandar di Balai Salasa, Baginda Tanalam Sikaturi, Demang Alahan Panjang, Penghulu Kepala Koto Tuo Datuak Penghulu Batuah.
Sangat besar kemungkinan keenam naskah ini ditulis atas perintah dari tokoh-tokoh tersebut, untuk perbanyakan, karena percetakan belum ada. Lima naskah dinyatakan oleh penulisnya sebagai catatan pedoman adat. Tidak dapat ditelusuri bagaimana prosesnya sehingga naskah tersebut kemudian menjadi koleksi Perpustakaan Universitas Leiden. Memperhatikan perintah Residen HE Prins untuk mengumpulkan dan menulis naskah Tambo Minangkabau kepada Mantri di Sidjoendjoeng dan Soetan Nagrie di Maninjau, dapat diambil analogi, bahwa kemungkinan besar, naskah-naskah tersebut ditulis terdorong oleh perintah semacam itu. Mungkin si penulis tidak disuruh atau diperintah, tetapi mendapat berita tentang penulis lain, yang tentu mendapat bayaran. Kemungkinan besar naskah-naskah lain tersebut juga dibayar/dibeli oleh para pejabat Hindia Belanda, seperti Residen HE Prins.
Pekerjaan menulis naskah dalam jumlah halaman yang tidak sedikit, bukanlah pekerjaan ringan untuk sekedar hobi. Apalagi kemudian naskah itu berpindah ke tangan orang lain. Bagi masyarakat penutur, Tambo Minangkabau tidak punya signifikansi untuk ditulis, karena sejatinya tambo adalah sastra lisan. Tidak ada alasan yang signifikan bagi masyarakat penutur untuk menuliskan tambo, kecuali ada yang menyuruh/ meminta. Bagi para tokoh adat, ada beberapa kemungkinan alasan penulisan naskah tambo. Salah satu kemungkinan alasan adalah untuk koleksi kerajaan, koleksi yang bersangkutan sebagai tokoh (laras, demang, kepala bandar, penghulu kepala, mantri, dll). Ketika koleksi itu diperbanyak, disalin ulang, dapat menjadi oleh-oleh atau souvenir bagi tamu-tamu penting si tokoh, terutama pejabat Hindia Belanda. Jadi, faktor utama transformasi tambo lisan menjadi naskah tambo adalah keinginan mempunyai koleksi tuturan tambo, dari para tokoh dan dari pendatang.
Bersambung…
Akan terbit:
Ayat-ayat Al-Quran, Kisah Islami, Ungkapan Khas, Hadist Nabi dan Tasawuf
Catatan Redaksi:
Poin-poin yang dirasa ada penekanan tokoh atau suatu peristiwa penting sengaja diberi tulisan tebal.
[1]Ada satu tabel yang akhirnya diedit oleh redaksi Banuaminang.co.id dan diganti tulisan.
Referensi sebelumnya: