Hukum Tarik Balas
Disadur Dari Buku Minanga, Minangkabau dan Pagaruyung
Disusun oleh DR. H. Nudirman Munir, SH, MH.
Hukum Tarik Balas
Sutan Balun merasa keberatan dan menolak kalau dia yang harus bertanggungjawab, karena si anjing lah yang patut didakwa melakukan kesalahan. Sutan Balun berpendapat bahwa dalam menegakkan keadilan harus merujuk pada hukum yang berlaku, dan menurut Hukum Tarik Balas, pelaksanaan hukum atau penjatuhan vonis pada terdakwa harus sama atas perbuatan yang telah dilakukannya pada si korban. Menurut Sutan Balun, ada baiknya pelaksanaan hukuman adalah berdasarkan ilmu dalam menjatuhkan vonis, itulah yang disebut dengan “hukum ilmu”. Peserta dan pendengar sidang di Balairongsari sangat setuju mendengar pendapat dari Sutan Balun. Hakim dan juri dalam persidangan tersebut lalu memutuskan bahwa Hukum Tarik Balas harus tetap dilaksanakan.
Keputusan sidang, karena hulubalang digigit oleh anjing, maka balasannya adalah harus menggigit kembali anjing milik Sutan Balun. Namun, keputusan sidang ini malah membuat pikiran baru, karena tidak mungkin orang atau manusia yang mengigit anjing. Disinilah kesempatan bagi Sutan Balun untuk mengemukakan kembali usulannya yang pernah mentah dan tidak diterima oleh Sutan Maharadjo Basa, bahwa “Hukum Tarik Balas” harus diganti, karena pelaksanaan undang-undang dari “Tarik Balas” hanya akan melahirkan konflik baru setelah penjatuhan vonis hukum. Karena menurut hukum “Tarik Balas”, bila seseorang yang telah melakukan kesalahan dan dihukum, maka yang melaksanakan hukuman adalah juga termasuk telah melakukan kesalahan dan harus dihukum juga. Tentunya akan ada rentetan permasalahan baru yang terjadi sebagai akibat dari permasalahan sebelumnya. Sutan Balun mengusulkan pergantian undang-undang Tarik Balas dengan undang-undang yang lebih menguntungkan rakyat banyak.
Sutan Maharadjo Basa yang mendengarkan pendapat dari adiknya Sutan Balun, teringat kembali kejadian yang membuat larinya Sutan Balun dari kampung, meskipun di dalam hati sangat kagum dan menerima kebenaran tersebut. Dulunya Sutan Maharadjo Basa menolak pendapat Sutan Balun karena ada pra sangka yang tidak baik, takut jika kekuasaannya akan diambil alih oleh Sutan Balun. Namun, di tengah keramaian sidang di Balairongsari, Sutan Mahardjo Basa insyaf dan menyetujui usulan adiknya untuk dilaksanakan.
Tuah Sakato (Demokrasi)
Setelah ada kata sepakat dari Sutan Maharadjo Basa, maka undang- undang Tarik Balas dihapus dan akan dibuat undang-undang baru yang lebih menguntungkan rakyat banyak Rapat pun ditutup untuk sementara waktu menjelang lahirnya undang-undang baru yang dijanjikan oleh para pemuka masyarakat Minangkabau tersebut.
Tiga hari setelah sidang di Balairongsari dilaksanakan, Sutan Maharadjo Basa menemui Sutan Balun untuk menyambung pembicaraan, merancang dan merumuskan undang-undang pengganti undang-undang Tarik Balas yang telah dicabut. Sutan Balun menyanggupi maksud dan tujuan kedatangan Sutan Mahardjo Basa, tetapi menginginkan pembicaraan harus dilakukan di tempat khusus, agar segala hal yang dirumuskan tidak diketahui umum sebelum menjadi sebuah keputusan. Sutan Balun mengusulkan agar ruang sidang Balairongsari atau “Balai Panjang” yang berada di nagari Tabek dan berjumlah tujuh belas ruang, pada bagian tengahnya ada sebuah ruangan untuk dipindahkan ke Pariangan.
Sisa ruangan Balairongsari setelah dikurangi adalah sebanyak enam belas ruang, yang terpisah masing-masing delapan ruang kiri dan kanan. Delapan ruang sebelah kanan digunakan untuk tempat rapat umum, tempat berunding untuk menghasilkan pendapat, dimana pendapat yang dihasilkan harus menghindari sistem suara terbanyak. Keputusan yang diambil harus memberi manfaat bagi rakyat banyak, baik di bidang pemerintahan atau pun bidang-bidang lainnya. Sementara delapan ruang sebelah kiri digunakan untuk menyampaikan keputusan-keputusan yang telah dibuat, serta tempat untuk mengatur pelaksanaan undang-undang. Sebuah ruangan yang dipindahkan dari Balairongsari ke Pariangan diberi nama “Balai nan Saruwang”. Pada kenyataannya, pemotongan ruangan tidak dilakukan karena hanya merupakan hakikat dari pelaksanaan sistem demokrasi yang diusulkan oleh Sutan Balun. Perbedaannya adalah pelaksanaan usulan Sutan Balun terhadap Balairongsari hanyalah pembongkaran lantai pada sebuah ruangan yang berada tepat di tengah-tengah Balairongsari. Itulah pendapat dari Budi Curiga yang ada pada diri Sutan Balun, serta dengan penuh keyakinan dilaksanakan oleh Sutan Maharadjo Basa.
Setelah pelaksanaan keputusan perombakan sistem musyawarah di Balairongsari, maka Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun melaksanakan perancangan undang-undang pengganti undang-undang Tarik Balas di “Balai Saruwang”. Sutan Balun mengemukakan bahwa undang-undang yang bakal dirumuskan harus sesuai dengan kehendak umum dan tidak menyalahi kebenaran, karena yang akan memakai undang-undang adalah rakyat banyak. Setiap rapat yang dilaksanakan harus sesuai dengan pendapat dan keputusan untuk menerimanya harus dengan suara bulat. Suara bulat adalah tidak ada seorang anggota masyarakat pun dengan tanpa unsur paksaan yang membantah, sehingga dalam tatanan hidup Minangkabau tidak ada yang beroposisi. Walaupun dalam melaksanakan rapat banyak usulan yang disampaikan oleh Sutan Balun, namun Sutan Balun tetap menginginkan agar pemerintahan terus dijalankan oleh Sutan Maharadjo Basa sebagai pucuk pimpinan tertinggi dalam nagari. Sutan Mahardjo Basa kemudian menyerahkan semua pelaksanaan perancangan pembentukan undang-undang kepada Sutan Balun. Catri Bilangpandai sebagai yang tertua dan menjadi penengah musyawarah antara Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun menguatkan semua usulan Sutan Balun serta memberikan catatan penting bahwa segala hasil rancangan undang- undang nantinya tidak ada rasa keberatan dari Sutan Maharadjo Basa, atau kemudian dikenal dengan istilah “Tuah Sakato” yang berlandaskan demokrasi.
Kelarasan dan Tikaman Batu Sebagai Lambang Perdamaian
Setelah Sutan Balun dapat menyelesaikan rancangan undang-undang pengganti undang-undang Tarik Balas, maka dilaksanakan lah kembali rapat di Balai nan Saruwang. Sidang yang dihadiri beberapa pemuka masyarakat, dipimpin langsung oleh Sutan Maharadjo Basa. Sebagai pimpinan sidang, beliau meminta peserta sidang untuk mengemukakan pendapat agar dapat menjadi rumusan bersama nantinya. Setelah usulan-usulan diterima, Sutan Maharadjo Basa menyerahkan pimpinan rapat kepada Sutan Balun untuk merancang undang-undang. Disaat serah terima itulah terjadi pelantikan secara resmi. Sebelum memimpin sidang, Sutan Balun melakukan sumpah jabatan. Sutan Balun meminta untuk disediakan sebuah batu yang berukuran besar dengan ketebalan sekitar kurang dari panjang keris, karena bila ditusuk nantinya bisa tembus dari satu sisi ke sisi lainnya. Batu itu akan ditempatkan nantinya di Balairongsari saat undang-undang yang baru telah dinyatakan sah.
Pada saat rapat di Balairongsari dilaksanakan, rapat dihadiri oleh hampir dari seluruh wakil rakyat Minangkabau baik yang berasal dari nagari Pariangan, maupun yang datang dari Luhak Tanah Datar, Lahak Agam maupun dari Luhak Limapuluh kota. Rapat dibuka oleh Sutan Mahardjo Basa, diiringi dengan mengulas kembali aturan pemerintahan yang selama ini telah jalan, yaitu undang-undang Tarik Balas. Namun, dalam perkembangan, undang-undang Tarik Balas tidak sesuai lagi pelaksanaannya dengan perkembangan waktu dan zaman. Peserta rapat yang hadir sepakat atas uraian Sutan Maharadjo Basa serta keinginan penguasa untuk mengubah undang undang Tarik Balas. Setelah disepakati, maka diumumkan lah peresmian dan pelantikan Sutan Balun sebagai pucuk pimpinan rapat untuk menggubah undang-undang Tarik Balas. Setelah disepakati, maka diumumkan lah peresmian dan pelantikan Sutan Balun sebagai pucuk pimpinan rapat untuk mengganti undang-undang.
Sutan Balun menyampaikan rasa terima kasihnya karena rakyat sangat menyetujui pengangkatannya sebagai pimpinan rapat. Sutan Balun menyatakan ikrar atau sumpah jabatan dengan perkataan dan perbuatannya. Sutan Balun pun dilantik oleh Catri Bilangpandai. Atas usulan Sutan Balun, Sutan Maharadjo Basa pun dilantik dan diambil sumpahnya oleh Catri Bilangpandai. Maka terbentuk duet pemerintahan, yaitu Sutan Maharadjo Basa sebagai pucuk pimpinan nagari-nagari termasuk luhak-luhak beserta nagari perantauan, dan Sutan Balun sebagai pucuk pimpinan sidang yang akan memikirkan segala sesuatu tentang pembentukan undang-undang dalam pemerintahan serta undang-undang yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat Minangkabau.
Dalam proses pengambilan sumpah, Sutan Maharadjo Basa memegang gagang keris, sedikit menarik keluar, lalu dengan cepat dimasukan kembali ke sarangnya sebagai tanda kebesaran kerajaan. Namun berbeda dengan yang dilakukan oleh Sutan Balun, Sutan Balun memegang dengan kuat keris di tangan kanannya, sambil mengucapkan sumpah: “Selama batu ini masih berlubang bekas tikaman keris pustaka ini, yang jernih berpantang keruh, adat lembaga akan dikembang, gantang didirikan akan dilandung isinya, tuah disakato, berpantang luput dari hujan, berpantang lengkang oleh panas.” Selesai mengucapkan sumpah, Sutan Balun menikamkan keris ke batu yang telah disediakan hingga terbenam mata keris dan tembus ke bagian sisi lain dari batu tersebut.
Setelah terbentuk dua jabatan penting dalam unsur pemerintahan Minangkabau, Sutan Balun mengusulkan untuk memberikan masing-masing jabatan yang diemban oleh Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun.¹
Bersambung…
Akan terbit:
Tambo Minangkabau, Hikayat dan Mitos Suku Minangkabau
Catatan Redaksi: Poin-poin yang dirasa ada penekanan tokoh atau suatu peristiwa penting sengaja diberi tulisan tebal.
¹ https://mozaikminang.wordpress.com/2011/11/18/tambo-dan-silsilah-adat-alam-minangkabau/
Referensi sebelumnya: