MENANTIKAN BUPATI AGAM YANG BERANI

Oleh : Ardinal Bandaro Putiah

Banuaminang.co.id~~ Sosok Dedi Mulyadi mungkin tidak banyak yang tidak mengenalnya. Ia adalah mantan Bupati Purwakarta Jawa Barat dua periode, anggota DPR RI dan juga sebagai konten kreator. Sebagai konten kreator ia lebih banyak menunjukkan kepeduliannya terhadap daerahnya Jawa Barat. Ia dengan pikirannya mengusung ide dan gagasan untuk kembali menguatkan entitas dan identitas masyarakat Sunda dalam sistem pemerintahan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kegelisahan yang dialami oleh Dedi Mulyadi ini sebetulnya sudah menjadi kerisauan yang cukup lama bagi kita di Minangkabau. Sebelum Republik ini berdiri Minangkabau diatur dengan budaya dan kearifan lokal yang dimilikinya. Namun, sesuai dengan kaidah sakali aie gadang sakali tapian barubah. Pilihan untuk masuk dalam sistem Republik Indonesia, suka atau tidak banyak hal yang telah bergeser.

Republik ini baru berusia 79 tahun. Sedangkan Minangkabau telah melalui berabad abad dalam dimanika dan dilektikanya sehingga masih ada sampai hari ini. Tentu saja ada sesuatu yang sangat luar biasa membuatnya tetap bisa bertahan tidak punah oleh kemajuan zaman. Kegelisahan akan jalan diasak bakeh urang lalu, cupak diganti dek urang panggaleh merindukan anak nagari Minangkabau untuk kembali ke filosofi dasar dalam bermasyarakat yakni adat basandikan syara’, syara’ basandikan kitabullah dalam republik ini.

Sejarah mencatat, kegelisahan itu diawali dengan UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sistem sentralistik yang diberlakukan dimasa itu telah mengharuskan hilangnya eksistensi sistem pemerintahan nagari. Upaya untuk mempertahankannya secara kultural dilahirkanlah Perda No. 13 Tahun 1983. Dampak itu semua membuat Nagari yang dulunya adalah kesatuan masyarakat hukum adat secara
geneologis dan historis dalam wilayah yang batas-batas dalam wilayah tertentu akhirnya terpecah pecah menjadi desa. Jorong jorong pada umumnya menjadi wilayah pemerintahan yang berdiri sendiri dengan nama desa tersebut.

Lebih kurang tujuh belas tahun dalam sistem tersebut dirasakan telah menggeser pondasi yang sudah ada selama ini. Pemerintahan Desa tidak cocok dengan spirit dan semangat adat Minangkabau. Sistem yang otoritarian pada waktu itu memaksa siapapun ketika itu untuk menerima. Sakali aie gadang, sakali tapian barubah. Reformasi bergulir, terjadi perubahan yang fundamental dalam sistem politik di Republik ini. Peluang diberlakukannya kembali sistem pemerintahan nagari terbuka lebar. Tahun 2000 di gaungkanlah Sumatera Barat babaliak ka nagari dengan lahirnya Perda No 9 tahun 2000 tentang pemerintahan nagari.

Lahirnya Perda tersebut merupakan langkah awal yang luar biasa, eforia tentang itu membawa sebuah harapan akan terjadi perubahan yang lebih baik dari kondisi sebelum sebelumnya. Sayangnya setelah ini diberlakukan, ternyata pemerintahan nagari dalam prakteknya tidak berbeda dengan sistem pemerintahan desa. Istilah yang ada dalam peraturan perundang undangan yang mengatur tentang desa dicarikan padan katanya yang sesuai dengan bahasa Minang. Artinya sistem pemerintahan Desa jualah sebetulnya yang berlaku di Minangkabau yang dinamakan dengan Nagari.

Hal ini pun kembali disadari oleh banyak kalangan. Nagari dengan sistem pemerintahan desa itu juga menimbulkan persoalan, tidak jarang terjadi perpecahan karena banyak faktor yang ujungnya terjadi pemekaran wilayah. Peluang untuk mengembalikan Nagari sebagai mana yang dinginkan terbuka kembali dengan lahirnya UU No 6 tahun 2014 tentang Pemerintah Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No more 1 tahun 2017 tentang Penataan Desa.

Peluang ini kembali ditangkap dengan lahirnya Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 17 tahun 2018 tentang Nagari. Sayangnya bagi pemerintahan Kabupaten Agam spirit ini tidak dilanjutkan dengan serius. Sistem pemerintahan nagari yang ada saat ini di Agam masih spirit pemerintahan Desa. Agam seharusnya sudah kembali kepada sistem Desa Adat, kembali ke semangat nagari yang sesungguhnya, karena Agam adalah salah satu daerah inti dari Alam Minangkabau.

Kita tidak tahu, apa yang menjadi alasan dari Bupati dan DPRD yang ada saat itu yang tidak mau untuk mengembalikan sistem pemerintahan nagari kedalam tracknya. Mengembalikan pemerintahan nagari kedalam tracknya merupakan sebuah upaya untuk menjaga nagari ini dalam spirit kaluak paku kacang balimbiang, tampi ruang lenggang lenggokan, anak dipangku kamanakan dibimbiang, urang kampuang di patenggangkan, jago nagari jan binaso.

Kini peluang itu ada, pilkada sedang bergulir. Saatnya kita di Agam untuk mendapatkan pemimpin daerah yang benar-benar memiliki konsen yang serius untuk tumbuh dan berkembangnya Nagari dalam spirit yang sebenarnya. Bupati yang menjaga semangat Nagari sebagai sebuah entitas dan identitas, bukan hanya sebagai sebuah subsistem dalam pemerintahan yang ada di Republik ini.

Semoga saja ada.
Wallahu’alam..

Penulis : Ardinal Bandaro Putiah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *