Tambo Minangkabau, Hikayat dan Mitos Suku Minangkabau 

Disadur Dari Buku Minanga, Minangkabau dan Pagaruyung Disusun oleh DR. H. Nudirman Munir, SH, MH.

Tambo Minangkabau, Hikayat dan Mitos Suku Minangkabau 

 

Disadur Dari Buku Minanga, Minangkabau dan Pagaruyung

Disusun oleh DR. H. Nudirman Munir, SH, MH.

 

Tambo Minangkabau 

Kita tidak akan mempermasalahkan mitos tentang mengapa puncak gunung Merapi sebesar telur ayam, dan mengapa ada nama-nama menggunakan nama hewan, kemudian berapa lama keempat tukang yang memperbaiki kapal Sultan Maharaja Diraja menanti keempat puteri raja menjadi dewasa dan sebagainya. Hal ini karena tambo alam Minangkabau selalu diliputi kabut rahasia, kiasan dan ironi sehingga harus ditafsirkan dengan cara-cara yang tertentu.

 

Pariangan Padangpanjang

Tambo Alam Minangkabau menceritakan bahwa pada masa Datuk Ketemenggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang belum lahir, negeri-negeri masih dikuasai oleh seorang Datuk (datu) yang bergelar Dt. Marajo Basa di Padangpanjang dan Dt. Bandaro Kayo di Pariangan Padangpanjang. Kedua datuk itulah yang memakai gelar “gedang” kebesaran sebelum lahir kedua negarawan Minangkabau yang amat terkenal itu. Pariangan Padangpanjang adalah kampung pertama sekali dalam alam Minangkabau sebelum kampung- kampung lain bermunculan.

 

Undang-undang

Kedua datuk inilah yang menyusun sebuah undang-undang asli yang bernama: Undang-undang “Si Mumbang Jatuh”, “Si Gamak-gamak” dan “Si Lamo-lamo”. Ketiga undang-undang ini disusun tangkainya satu demi satu, dipakukan ke tiang panjang, dibasuh kelautan dalam.

 

Mungkin berdasarkan undang-undang yang sudah ada juga kemudian Datuk Ketemenggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang menyusun undang- undang adatnya yang kemudian jadi terkenal dengan dua prinsip yang berbeda tetapi dapat jalan bergandengan dengan tidak ada saling bentrok, seperti dalam tambo alam Minangkabau.

 

Dasar peraturan Datuk Ketemenggungan adalah “Berpucuk bulat titik dasar dengan tata caranya bertangga turun”. Sedangkan peraturan dari Datuk Perpatih nan Sabatang adalah “Berurat tunggang membersut dari bumi dengan tata caranya berjenjang naik”.

 

Genting putus, biang tumbuk

Bila antara kedua kelarasan itu terjadi pertikaian faham atau pertentangan, maka menurut tambo alam Minangkabau dibawa ke Balai nan Saruang di Pariangan Padangpanjang yang mempunyai hak kuasa mutlak dengan prinsip “Genting putus, biang tumbuk” Ketua dalam Balai nan Saruang ini ialah Datuk Maharajo nan Banego-nego. Bila terjadi kesimpang siuran atau keragu-raguan seperti dicetuskan dalam pantun adat:

Pisang si kalek-kalek hutan,

Pisang tembatu yang bergetah;

Koto Piliang inyo bukan.

Bodi Caniago inyo antah.

 

Menurut tambo alam Minangkabau pada masa itu bermupakatlah datuk-datuk yang lain dengan pimpinan datuk yang berdua itu dengan tujuan kerapatan adalah akan mendirikan sebuah balai tempat mengadakan rapat. Yang Dipertuan menitahkan kepada Cateri Bilang Pandai supaya membangun balai itu yang bernama “Balai Balerong Panjang” dengan ciri khasnya:

 

yang bertonggak teras jelatang.

yang berperan akar lundang.

yang bertabuh pulut-pulut,

yang bergentang jengat tuma,

yang bergendang selaguri.

 

Juga dilengkapi dengan canang buatan Raja Jin yang berdiam di rimba Lawang dan bertelempong yang bernama Raja Sigulambai.

 

Kuburan Panjang

Setelah selesai balairung itu bersuka ria lah semua penduduk dan dihamparilah balairung itu dengan “lapik hilalang”. Sudah pasti semua kata- kata tersebut adalah kiasan juga karena bahan-bahan yang dipergunakan tersebut terdiri dari belukar-belukar kecil yang mustahil dibangun menjadi sebuah balai ruang adat. Itulah balai pertama di Alam Minangkabau yang terletak di Tabek Batusangkar dan arsiteknya bernama Tun Tejo Garhano yang dimakamkan di Pariangan Padangpanjang dan terkenal dengan nama “Kuburan Panjang”. Itu karena begitu tingginya arsitek ini sehingga saat dia membuat atap balai tersebut hanya sambil mencangkung saja seperti diceritakan tambo alam Minangkabau

 

Karena negeri semakin berkembang juga dan tanah datar yang subur semakin luas juga yang dapat dijadikan negeri-negeri. Maka menyerulah Yang Dipertuan kepada Cateri Bilang Pandai agar mencari tanah-tanah untuk kediaman rakyat yang sudah berkembang biak itu. Yang Dipertuan ini maksudnya mungkin sudah keturunan yang lain dan Ceteri Bilang Pandai itu mungkin nama sebuah jabatan pada masa itu yang turun-temurun.

 

Bunga Setangkai

Kemudian menurut tambo alam Minangkabau turunlah raja itu ke Bunga Setangkai namanya dalam tahap pertama sejumlah tujuh orang perempuan dan disusul oleh delapan orang perempuan, bersama-sama sekelompok laki-laki. Mereka mendiami bumi yang bernama Bunga Setangkai itu dan Yang Dipertuan kembali ke Pariangan Padangpanjang.

 

Beberapa waktu kemudian Yang Dipertuan kawin pula dengan seorang perempuan yang bernama Puteri Indah Jelita. Dengan puteri itu beliau mendapat seorang anak laki-laki. Beberapa lama kemudian beliau wafat, jandanya ini Puteri Indah Jelita kemudian kawin dengan Cateri Bilang Pandai. Dengan suaminya ini ia berputera dua orang laki-laki dan empat orang perempuan. Puteri ini dengan suaminya yang baru berganti nama dengan Cati Reno Sadah menurut Tambo Minangkabau.

 

Adapun tempat menetap yang pertama-tama itu bernama “Galundi nan Baselo” dan disanalah dibangun kediaman pertama yang bernama “Koto”. Dan disitu pula perumahan Datuk Suri Dirajo, Datuk Ketemenggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang dan dinamai “Perumahan”. Sebelah baratnya mengalir sebatang sungai kecil bernama “Periangan” Di utaranya ada sebuah tempat bernama “Luhak” dan “Tanah Datar”. Tentang sungai Periangan itu dinyatakan dalam pantun:

 

Beririk pulai di halaman

Tampak nan dari Kepalo Koto

Sungai Periangan di Perumahan

Bak itu pulo nan disiko

 

Karena penduduk bertambah banyak juga dibangun sebuah negeri baru yang bernama “Kuok Bangkinang”. Tempat-tempat bersejarah ini terletak dalam kenagarian Sungai Jambu sekarang.

 

Datuk Suri Dirajo

Putera pertama dari Puteri Indah Jelita yang kemudian bernama Cati Reno Sadah itu kemudian bergelar Datuk Suri Dirajo dan anaknya yang tertua bergelar Datuk Ketemenggungan atau Sutan Maharaja Besar. Datuk Suri Dirajo menjadi teman musyawarah bagi Datuk Ketemenggungan. Dan beliaulah penghulu yang asli dalam Luhak Tanah Datar pada zaman dahulu.

 

Tambo alam Minangkabau menceritakan bahwa dengan Takdir Allah pada suatu masa keluarlah seekor rusa yang amat besar dan liar dari dalam hutan, lalu masuk kedalam negeri Rakyat bersama-sama memperburukan rusa itu tetapi tak juga kunjung dapat. Lalu bersama-sama pula mereka datang menghadap kepada Datuk Suri Dirajo minta petunjuk bagaimana caranya untuk menangkap rusa tersebut.

 

Datuk Suri Dirajo menjawab “Pergilah kalian bersama-sama mencari rotan dan buatlah perangkap kemudian jeratlah rusa itu”. Penduduk melakukan sepanjang nasehat datuk itu dan beramai-ramai mencari rotan, lalu dibuatlah perangkap. Akhirnya rusa besar dan liar itu dapat ditangkap dan diikat pada tanduknya, Rusa itupun disembelih dan dimakan bersama-sama. Semua rakyat beriang-riang sambil berpesta. Kemudian tempat itu dinamakan “Periangan” karena disanalah mereka beriang-riang pesta memakan rusa itu.

 

Tambo Alam Minangkabau sebagai lazimnya kisah mitos rakyat Minangkabau semuanya dengan kiasan dan sindiran. Yang dimaksud dengan rusa masuk kampung itu sebenarnya adalah seorang raja yang datang dari Sriwijaya bernama Sang Sepurba. Dia datang dengan sebilah “Pedang yang panjang”. Itulah sebabnya tempat itu dinamakan Pariangan Padangpanjang. Dia disambut baik dan dijadikan “orang semenda”. Raja itu kemudian diberi tempat bernama Batu Subang Gadang namanya. Datuk Perpatih nan Sebatang

 

Adik anak yang tua dari Cateri Bilang Pandai dengan Cati Reno Sadah pergi berlayar ke muara. Dia seorang yang berdarah perantau. Dalam sebuah pelayaran dia menemui sebuah peti yaitu dekat laut Langkapura. Dalam peti itu terdapat alat-alat pertukangan selengkapnya: pahat, beliung, kapak, dan alat-alat besi. Anak itu kemudian kembali ke Pariangan Padangpanjang. Dia kemudian bergelar Datuk Perpatih nan Sebatang karena dia mendapat peti dan sebatang pohon.

 

Jadi berdasarkan tambo alam Minangkabau, Datuk Ketemenggungan adalah putera tertua yang bapaknya Yang Dipertuan dan dengan Datuk Perpatih nan Sebatang bersaudara se-ibu. Maka tidaklah mengherankan jika Datuk Ketemenggungan berfaham feodal sebab bapaknya seorang raja Sedangkan Datuk Perpatih nan Sebatang berfaham demokrasi (kerakyatan) sebab dia dibesarkan ditengah-tengah rakyat dan banyak merantau. Tetapi faham kedua saudara seibu itu dapat juga saling kerjasama yang baik dan membentuk masyarakat baru serta menciptakan tata kerama adat dalam segala segi kehidupan.

 

Masing-masing membuat tempat kediaman sendiri. Datuk Perpatih nan Sebatang membangun rumahnya dibawah kayu “BODI” yang bernama Naga Terang. Dan Datuk Ketemenggungan dibawah kayu “Sakti”.

 

Pembagian Luhak

Rakyat berkembang biak juga, lalu mupakatlah datuk yang bertiga itu akan membagi “luhak” yakni Datuk Perpatih nan Sebatang, Datuk Suri Dirajo dan Datuk Ketemenggungan. Dalam pada itu Cateri Bilang Pandai sudah meninjau-ninjau daerah yang akan dijadikan tempat tinggal yang baru. Watak dan sifat mereka bertiga saling berbeda pula. Yang seorang berkalang (berbantal) kelapa, yang seorang berkalang gunting dan yang seorang berkalang teras kayu limau manis.

 

Maka mulailah rombongan demi rombongan meninggalkan daerah asalnya untuk mencari tempat kediaman yang baru. Ada yang lima puluh orang serombongan, ada yang berempat, ada yang bertujuh, ada yang berlima dan sama-sama mencari kediaman yang baik menurut pendapat mereka.

 

Padang Siantah

Sebuah rombongan sebanyak lima puluh orang menurun dari Pariangan Padangpanjang menuju sebuah tanah datar yang baik kelihatan dari jauh adalah daerah lima puluh kota sekarang ini. Pada suatu malam mereka bermalam disebuah padang yang amat luas. Ketika hari sudah pagi diperiksa ternyata lima keluarga dan rombongan sudah menghilang entah kemana perginya. Setiap ditunjukan pertanyaan kemana yang berlima itu perginya semuanya menjawab “antah” (entah). Maka padang tempat mereka bermalam itu bernama “Padang Siantah yang letaknya dekat negeri Piladang sekarang ini tak berapa jauh dari proyek PLTA batang agam proyek listrik terbesar didaerah Sumatera Barat.

 

Dengan kurang lima orang rombongan meneruskan perjalanannya dan berpencaran diranah yang kelihatan mula-mula. Itulah asal penduduk Lima Puluh Kota yang sekarang menurut tambo alam Minangkabau.

 

Yang lima keluarga itu akhirnya ketahuan juga, rupanya meneruskan perjalanan menuju daerah sepanjang hiliran sungai Kampar Kanan. Mereka mendirikan negeri-negeri sepanjang hiliran sungai itu. Kenegerian yang pertama mereka dirikan sama dengan negeri asal mereka ialah Kuok dan Bangkinang. Daerah itu kemudian bernama “Lima Koto” yang berasal dari ninik yang berlima yang memencar dari rombongan yang lima puluh orang. Sebab itulah adat istiadat didaerah Limo Koto (Kuok Bangkinang, Air Tiris, Kampar dan Tambang – Danau Bengkuang) banyak bersamaan dengan adat di daerah Lima Puluh Kota. Dan julukan bagi orang Limo Koto dikatakan “Berbapak ke Lima Puluh Kota, berdatuk ke Pagaruyung”

 

 

Bersambung…

 

Akan terbit:

Jejak Islam dalam Naskah-naskah Tambo Minangkabau 

 

Catatan Redaksi: Poin-poin yang dirasa ada penekanan tokoh atau suatu peristiwa penting sengaja diberi tulisan tebal.

 

¹

https://www.tambominangkabau.com/tambo-minangkabau/

 

Referensi sebelumnya:

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *