Pekanbaru, Banuaminang.co.id — Belakangan ini profesi wartawan di Kota Pekanbaru kembali dicemari dan dipermalukan oleh oknum-oknum yang mengaku dan menjelma sebagai wartawan, hanya untuk mendapatkan sejumlah cuan tanpa pernah adanya hasil karya tulis pemberitaan sendiri.
Hal ini disampaikan oleh beberapa orang wartawan senior yang telah lama berkecimpung di dunia jurnalis dan menjadi perbincangan hangat disalah satu tempat ngopi dibilangan Jalan Arifin Ahmad Kota Pekanbaru. Rabu (30/08/2023).
“Dari satu kantor ke kantor yang lainnya, dari satu dinas ke dinas yang lainnya, pergi kesana kemari ketempat-tempat yang dikira akan memberi duit. Berlagak sok hebat tapi ilmunya gak punya, membuat sebuah berita aja gak bisa,” sebut salah satunya sambil tertawa ngakak diikuti yang lainnya.
Lanjutnya, siapa saja silahkan jika ingin menjadi seorang wartawan tapi pelajarilah terlebih dahulu ilmunya dengan baik dan jaga Marwah profesi wartawan itu.
“Parah sekarang ini !! Banyak muncul yang baru-baru, kalau yang baik okelah tapi yang “siluman” itu, udahlah nggak pandai menghargai seniornya. Lagaknya minta ampun, attitude nya gak ada,” timpal yang lainnya.
Banyaknya bermunculan media media online baru ditanah air membuat perekrutan wartawan pun asal terima jadi. Sehingga tak pelak pula belakangan ini muncul istilah wartawan rilis yang bisanya cuma mengirimkan rilis-rilis ke redaksinya yang didapat dari grup-grup WhatsApp seperti dari Humas Institusi Kepolisian dan lainnya. Panjang dan serunya perbincangan itu sambil diselingi dengan canda tawa.
Ditempat terpisah, Ketua Umum Aliansi Media Indonesia (AMI) memberikan tanggapannya tentang perihal ini. Ketua organisasi perkumpulan perusahaan pers yang berpusat di Provinsi Riau ini mengatakan oknum wartawan itu yang bisa dikatakan dan diakui sebagai wartawan adalah perusahaan pers yang mempekerjakan seseorang yang bergerak di perusahaan pers dan seseorang dikatakan wartawan seyogyanya sepantasnya oleh perusahaan pers tentunya berdasarkan kriteria masing-masing perusahaan pers.
“Contoh, ada perusahaan pers yang menentukan seperti seseorang yang ingin menjadi wartawan, wartawati atau jurnalis atau yang ingin bekerja di perusahaan pers, nah itu minimal persyaratan nya tamatan SMA, pernah mempunyai karya jurnalis yang telah dipublikasikan, salah satu baik itu cetak, elektronik atau pun di media online lainnya,” ucapnya
Lanjutnya, kenapa persyaratan itu dibuat oleh perusahaan pers, agar bisa menjaga nama baik perusahaan pers. Dibuat seperti itu, bisa memberikan kontribusi kepada wartawannya agar bisa bekerja sesuai yang diinginkan oleh perusahaan pers sehingga dia bisa mendapatkan kesejahteraan yang ditanggung oleh perusahaan pers. Tetapi ada perusahaan pers yang tidak membatasi hal seperti itu, namun perusahaan pers harus mempertimbangkan ketika ada oknum wartawan yang berjalan tidak sesuai koridor nya sebagaimana yang diatur oleh UU Pers yaitu mencari informasi secara rutinitas tanpa membelakangi kode etik jurnalis yaitu menempuh cara-cara profesional.
Adanya oknum-oknum wartawan yang mencederai profesi yang tidak menjalankan tupoksinya sesuai apa yang diatur dan diamanatkan UU no 40 Tahun 1999 tentang Pers dan kode etik jurnalis. UU Pers dan KEJ itu adalah kitab bagi wartawan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Kalau dia tidak melaksanakan seperti, ada hal – hal yang mengganjal sehingga melukai atau mencederai profesi yang kita cintai, maka seyogyanyalah perusahaan pers yang mengambil tindakan tegas. Yang apabila, ada laporan dari masyarakat tentang perihal oknum wartawan yang diduga mencederai profesi maka perusahaan pers wajib mengambil tindakan tegas, demi menjaga marwah perusahaan dan wartawan yang dipimpinnya. Kalau oknum wartawan itu melakukan perbuatan yang tidak terpuji, selain merusak profesi wartawan juga merusak media (perusahaan pers- red).
Wartawan itu juga harus memahami berita-berita yang dihasilkan, rilis sah-sah saja sepanjang ada aturan etika bermainnya, pertama dilakukan kroscek balance balik dan kroscek kebenaran informasi. Kedua, ketika itu tidak dilakukan kroscek balance balik, rilis itu sumbernya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Contoh rilis advetorial, seperti halnya kegiatan-kegiatan seremonial. Kegiatan- kegiatan seremonial berupa institusi seperti hal institusi kepolisian. Institut kepolisian tidak akan mengeluarkan rilis sembarangan. Di institusi kepolisian tentu ada orang yang berhak mengeluarkan rilis tersebut yakni Humas atau Kasatnya.
Nah kalau rilis biasa yang sifatnya menghantam, dilihat terlebih dahulu apakah sumbernya dapat dipercaya atau tidak, didalam rilis itu ada alat bukti nggak, agar berita yang dihasilkan itu tidak bersifat hoax. Ada konfirmasi dan klarifikasi serta yang memberikan rilis itu dapat mempertanggungjawabkan. Ada yang memberikan rilis didukung dengan data yang dimiliki tetapi tetap tidak menghilangkan azas praduga tak bersalah dan ia mengetahui kejadian itu benar adanya.
Ismail Sarlata juga mengatakan adanya oknum-oknum wartawan pemula yang tidak mempunyai sifat menghargai, sehingga ia mengabaikan teman-teman wartawan yang lebih lama berkecimpung.
Ia berharap agar tolonglah menghargai teman-teman pers yang lebih lama, baginya banyak bertanya itu lebih baik dari pada kita mengambil sikap yang pada akhirnya menjatuhkan profesi kita sendiri.
“Untuk diketahui oleh masyarakat, kita berbicara oknum bukan profesi, profesi wartawan itu tidak salah yang salah adalah oknum yang menyandang profesi wartawan. Ada yang ngaku wartawan tapi kerjanya “nanduk-nanduk”, ada yang ngaku wartawan tapi kerjanya gertak-gertak. Wartawan itu mencari informasi dan banyak bertanya kepada narasumber. Ada wartawan punya KTA punya media punya karya dan dia menjalankan kode etik nah itulah seyogyanya wartawan sejati,” tutup Ismail Sarlata. (af)