Oleh: Ardinal Bandaro Putiah
Sejarah perjuangan manusia, baik dalam ranah politik, sosial, keagamaan, maupun kebudayaan selalu ditopang oleh idealisme dan keyakinan ideologis. Idealisme adalah nyawa, sementara ideologi adalah arah. Tanpa keduanya, sebuah organisasi perjuangan tidak lebih dari sekadar kumpulan kepentingan pragmatis yang mudah dibeli, mudah dipecah, dan mudah dikendalikan. Namun, dalam realitas kontemporer, idealisme kerap runtuh bukan oleh kekalahan gagasan, melainkan oleh godaan uang yang berserakan di sekitar pusat kekuasaan.
Uang, yang pada awalnya hanyalah alat, telah bertransformasi menjadi tujuan, bahkan menjadi ideologi baru yang membajak ideologi lama. Ia menjelma kekuatan laten yang merusak fondasi moral organisasi ideologis, memecah barisan, dan mengaburkan tujuan suci perjuangan. Ketika uang masuk ke ruang-ruang ideologis tanpa kendali nilai, maka yang lahir bukan lagi kader, melainkan broker kepentingan, bukan lagi perjuangan, melainkan transaksi.
Idealisme lahir dari keyakinan akan kebenaran nilai. Ia bukan sekadar retorika, melainkan komitmen batin yang menuntut konsistensi antara kata dan tindakan. Ideologi, dalam konteks organisasi, berfungsi sebagai sistem nilai, kerangka berpikir, dan pedoman bertindak yang mengikat seluruh anggota pada tujuan kolektif yang melampaui kepentingan pribadi.
Organisasi ideologis sejatinya dibangun di atas kesediaan berkorban waktu, tenaga, bahkan kenyamanan hidup. Dalam banyak catatan sejarah, para pendiri dan pejuang awal hidup dalam keterbatasan materi, tetapi kaya secara moral dan intelektual. Mereka memahami bahwa perjuangan tidak selalu berbuah kemewahan, tetapi bernilai karena keberpihakannya pada kebenaran dan keadilan.
Masalah muncul ketika organisasi tumbuh, bersentuhan langsung dengan kekuasaan, dan mulai berhadapan dengan sumber daya finansial dalam jumlah besar. Di titik inilah ujian ideologis yang paling menentukan dimulai.
Uang sebagai Instrumen Kekuasaan
Uang tidak pernah netral. Ia selalu membawa relasi kuasa. Dalam lingkaran kekuasaan, uang digunakan bukan semata untuk operasional, melainkan sebagai alat kooptasi, pembungkaman kritik, dan pengendalian arah organisasi. Uang menjadi bahasa paling efektif untuk mengubah sikap tanpa perlu mengubah argumen.
Dalam banyak organisasi ideologis, uang hadir dengan berbagai wajah berupa bantuan, hibah, proyek kerja sama, hingga kompensasi yang dibungkus dengan istilah perjuangan. Pada tahap awal, semuanya tampak sah dan rasional. Namun perlahan, uang menciptakan ketergantungan struktural. Ketika organisasi tidak lagi mampu berdiri tanpa sokongan dana kekuasaan, maka independensi ideologis mulai terkikis secara sistematis.
Lebih berbahaya lagi, uang melahirkan elit internal yaitu sekelompok kecil yang menguasai akses finansial dan kemudian memonopoli pengambilan keputusan. Demokrasi internal melemah, kritik dianggap ancaman, dan loyalitas diukur bukan dari integritas, melainkan dari kedekatan dengan pusat distribusi dana.
Kerusakan idealisme tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia berlangsung perlahan, hampir tak disadari. Diawali dengan kompromi kecil, pembenaran situasional, dan dalih “demi keberlangsungan organisasi”. Kalimat-kalimat seperti “kita harus realistis”, “perjuangan butuh biaya”, atau “ini strategi, bukan pengkhianatan” menjadi mantra yang meninabobokan nurani.
Pada tahap ini, kader mulai kehilangan keberanian moral. Kritik terhadap kekuasaan dilunakkan, bahkan dihapus sama sekali. Sikap kritis diganti dengan narasi stabilitas. Ideologi tidak lagi menjadi alat pembebasan, melainkan kosmetik legitimasi. Organisasi yang dahulu berdiri di barisan oposisi moral kini berubah menjadi penjaga status quo.
Ironisnya, mereka yang paling lantang berbicara tentang nilai sering kali menjadi yang paling cepat berkompromi ketika uang dan jabatan ditawarkan. Idealisme yang tidak ditopang kesadaran ideologis yang matang akan runtuh saat dihadapkan pada kenyamanan materi.
Uang tidak hanya merusak nilai, tetapi juga memecah organisasi dari dalam. Ketika distribusi sumber daya tidak adil, konflik internal menjadi keniscayaan. Faksi-faksi terbentuk bukan karena perbedaan gagasan, melainkan perbedaan akses terhadap dana dan kekuasaan.
Perpecahan ini sering dibungkus dengan jargon ideologis, seolah-olah konflik terjadi karena perbedaan prinsip. Padahal, akar persoalannya adalah perebutan sumber daya. Ideologi dijadikan alat legitimasi, bukan fondasi perjuangan. Akibatnya, organisasi terjebak dalam konflik berkepanjangan yang menguras energi dan menghilangkan fokus pada tujuan utama.
Dalam situasi ini, musuh sejati perjuangan tidak lagi berada di luar, melainkan tumbuh di dalam tubuh organisasi itu sendiri.
Uang dan Upaya Mempertahankan Kekuasaan
Kekuasaan memiliki naluri untuk mempertahankan diri. Uang menjadi salah satu instrumen utamanya. Dengan mendanai sebagian elit organisasi ideologis, kekuasaan menciptakan ilusi partisipasi dan keterlibatan. Organisasi merasa diakui, padahal sejatinya sedang dijinakkan.
Dalam skema ini, uang digunakan untuk mengalihkan orientasi perjuangan. Isu struktural diganti dengan program teknis yang tidak menyentuh akar ketidakadilan. Kritik sistemik ditukar dengan kegiatan simbolik. Organisasi tetap sibuk, tetapi kehilangan daya guncangnya.
Lebih tragis lagi, sebagian aktivis mulai menikmati posisi tersebut. Mereka memperoleh status sosial, akses elite, dan kenyamanan hidup yang sebelumnya tak terbayangkan. Pada titik ini, tujuan suci perjuangan benar-benar dilupakan, digantikan oleh kepentingan pribadi yang dibungkus narasi pengabdian.
Dalam kondisi paling ekstrem, ideologi tidak lagi diyakini, melainkan diperjualbelikan. Ia menjadi komoditas politik yang lentur, dapat disesuaikan dengan siapa pun yang membayar. Nilai-nilai yang dahulu dianggap sakral kini dinegosiasikan di meja kekuasaan.
Fenomena ini melahirkan generasi aktivis transaksional yang fasih berbicara tentang perjuangan, tetapi miskin keberanian moral. Mereka mampu mengutip teks ideologis, namun gagal menjadikannya sebagai pedoman hidup.
Ketika ideologi telah menjadi komoditas, organisasi kehilangan legitimasi moral di mata publik. Kepercayaan runtuh, militansi melemah, dan kaderisasi kehilangan makna. Organisasi mungkin tetap hidup secara struktural, tetapi mati secara ideologis.
Mengembalikan Idealisme, Jalan yang Terjal
Mengembalikan idealisme yang rusak bukan perkara mudah. Ia menuntut keberanian untuk berkata tidak pada uang yang mengikat, menuntut transparansi internal, serta membangun kembali etika perjuangan.
Pendidikan ideologis harus diperdalam dan dibumikan. Ideologi tidak boleh berhenti pada slogan, tetapi harus menjadi kesadaran kritis yang membentuk sikap hidup. Selain itu, organisasi harus membangun kemandirian ekonomi yang tidak mengorbankan independensi. Ketergantungan finansial adalah pintu masuk paling halus bagi kooptasi kekuasaan.
Yang tak kalah penting adalah kepemimpinan moral. Pemimpin ideologis bukan mereka yang paling dekat dengan kekuasaan, melainkan yang paling konsisten menjaga nilai, meski harus berdiri berseberangan dengan arus.
Uang pada dirinya bukanlah kejahatan. Namun ketika ia menjadi penentu arah ideologi, maka kehancuran hanyalah soal waktu. Organisasi ideologis yang gagal mengendalikan relasinya dengan uang akan kehilangan jiwanya, terpecah barisannya, dan dilupakan sejarah.
Sejarah tidak akan mencatat berapa besar dana yang dikelola sebuah organisasi, tetapi akan mengingat apakah ia tetap tegak ketika uang mencoba membungkukkan prinsipnya. Di situlah martabat perjuangan diuji dan di situlah idealisme menemukan makna sejatinya.
Entahlah…
Wallahu’alam
