TRADISI TURUN MANDI DI MINANGKABAU BESERTA MAKNANYA
Oleh: Windia Jelipa Putri
Prodi: Sastra Minangkabau
Universitas andalas
Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai macam budaya, tradisi, adat istiadat, bahasa dan juga suku. Dengan semboyannya yang berbunyi “bhineka tunggal ika” yang artinya “walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Walaupun Indonesia memiliki banyak keragaman, tetapi warga negaranya dapat hidup secara berdampingan dengan baik, karena masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai toleransi terhadap satu sama lain.
Setiap daerah tentunya mempunyai tradisi tersendiri yang masih dijaga contohnya tradisi turun mandi. Tradisi ini merupakan kebiasaan turun temurun dari nenek moyang zaman dahulu yang masih dipertahankan sampai saat ini agar tidak hilang ditelan zaman, tradisi ini masih dipraktikkan sampai sekarang oleh masyarakat karena mereka beranggapan bahwa kebiasaan yang ada adalah yang paling baik dan benar. Tradisi tetap harus dijaga dan terus dilestarikan agar tidak hilang, dan kita sebagai generasi muda atau penerus bangsa seharusnya merasa bahwa melestarikan tradisi ini merupakan kewajiban dan juga sebagai bentuk cinta kita terhadap bangsa Indonesia.
Tradisi turun mandi ini merupakan tradisi yang dilakukan dari satu generasi ke generasi lainnya dan sebagai bentuk masyarakat minangkabau untuk mengucapkan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT berupa bayi yang baru lahir. Turun mandi juga sebagai pertanda bahwa keturunan dari sebuah keluarga atau suku telah lahir. Salah satu daerah yang masih memiliki tradisi turun mandi ini adalah daerah jorong galogah yang berada di nagari kamang kecamatan kamang baru kabupaten sijunjung provinsi sumatera barat. Sebelum melaksanakan tradisi turun mandi, ada berbagai persiapan yang harus dilakukan yaitu, yang pertama kali adalah penentuan tanggal kapan dilaksanakannya upacara turun mandi ini. Terdapat ketentuan mengenai tanggal pelaksanaannya, kalau bayi laki-laki maka tradisi ini dilakukan di hari ganjil setelah kelahiran sang bayi dan jikalau bayi yang lahir adalah perempuan maka dilaksanakan pada hari genap setelah sang bayi lahir.
Tradisi turun mandi ini hanya dapat dilakukan di sungai yang mengalir atau disebut dengan sebutan batang aia. Pada hari upacara turun mandi ini, nanti warga kampung akan memasak makanan yang disajikan untuak niniak mamak, kerabat jauh yang datang dan juga para tamu undangan lainnya. Pada saat upacara turun mandi ini biasanya bayi dibawa dari rumah menuju sungai oleh orang yang berperan penting dalam membantu proses kelahirannya yaitu bidan desa, si bidan desa akan menggendong sang bayi menuju sungai dan sang bayi yang baru lahir juga diantar secara beriringan dalam perjalanan dari rumah menuju ketempat proses upacara akan dilaksanakan. Adapun syarat yang harus dipenuhi atau dilakukan oleh keluarga sang bayi untuk melakukan upacara ini, yaitu anggota keluarga harus menyediakan batiah dareh badulang atau disebut dengan beras yang sudah digoreng atau juga kami sebut dengan ompiang. Batiah ini akan diberikan kepada anak-anak yang turut hadir dalam upacara turun mandi ini.
Selanjutnya barang yang disiapkan adalah sigi kain buruk yaitu obor yang dibuat dari kain yang sudah robek atau koyak. Obor ini akan dibakar dari rumah kemudian dibawa kesungai tempat upacara dilaksanakan nantinya. Selain itu masih terdapat beberapa perlengkapan yang harus disiapkan oleh pihak keluarga, seperti tampang karambia tumbuah atau bibit kelapa yang sudah bertunas atau siap untuk ditanam. Ketika upacara berlangsung bibit kelapa akan dihanyutkan dari hulu ke hilir kemudian sang ibu bayi akan menangkapnya saat bibit kelapa itu saat mendekati sang bayinya. Bibit kelapa tersebut akan dibawa pulang untuk ditanam yang berfungsi sebagai lambang bekal hidup sang bayi. Kemudian ada tangguak atau tangguk sebagai alat yang berfungsi untuk menangkap ikan, dan menjadi lambang bekal ekonomi untuk sang bayi. Tangguak ini juga berfungsi dalam upacara turun mandi yang dipergunakan untuk meletakkan tujuh batu yang di ambil di sungai, batu tersebut akan dibawa pulang dan dimasukkan kedalam liang tempat bibit kelapa tadi ditanam. Dan terakhir adalah palo nasi, yaitu nasi yang terletak paling atas, palo nasi berguna untuk mengusir setan dan makhluk tak kasat mata yang ingin ikut memeriahkan acara. Nasi tersebut diolesi dengan arang serta darah ayam, disiapkan sebanyak 3 wadah atau cawan, dua wadah ditempatkan dijalan yang mengarak kesungai yang jaraknya sudah disesuaikan dan yang satunya lagi diangkut kesungai tempat dilaksanakannya upacara. Setelah seluruh rangkaian upacara telah dilaksanakan maka sang bayi dan ibunya akan kembali di arak dalam perjalanan pulang menuju rumah, dan seluruh orang yang terlibat dalam keberlangsungan upacara akan dijamu dirumah sang bayi.
Dalam tradisi turun mandi ini juga terdapat beberapa makna yang terkandung didalamnya yaitu:
1. Membawa bayi keluar dari rumah akan mengenalkan anak pada alam sekitar, sehingga pihak keluarga berharap ketika anak tumbuh besar ia akan mengenal alam, dapat hidup dengan alam sekitar serta dapat menikmati banyak atraksi alam.
2. Pada penyalaan obor suluah dengan tangkai pisau yang menghadap tepian mandi mengandung arti bahwa ketika bayi sudah besar nanti mampu menjadi petunjuk bagi masyarakat, agama, dan bangsanya serta berani membela kebenaran.
3. Penggunaan tangguak atau jaring ikan saat mandi berarti bahwa bayi akan tumbuh menjadi orang sukses dari segala aspek.
4. Makna yang terdapat dengan membawa kelapa yang memilik tunas adalah ketika besar nanti mampu tegak mandiri seperti pohon kelapa yang selalu tegak dengan posisinya kemudian agar kelak ketika besar tidak tergantung pada orang lain sepanjang hidupnya.
5. Dengan memberikan beras yang digoreng atau bareh rendang kepada anak-anak maupun orang dewasa bertujuan untuk sang bayi dapat tumbuh menjadi pribadi yang suka memberi kepada sesama dan mempunyai jiwa yang dermawan.
Tradisi turun mandi ini juga mulai memudar di tengah-tengah masyarakat karena hanya sebagian masyarakat yang mengadakan acara untuk tradisi ini. Semoga tradisi ini akan bangkit lagi sehingga tradisi ini tidak hilang ditelan zaman tetapi tetap terus dilestarikan oleh masyarakat.