Sekilas Mengenal Tuanku Lintau

Dikenal Juga dengan Sebutan Tuanku Pasaman/Saidi Muning

Sejarah1031 Dilihat

Sekilas Mengenal Tuanku Lintau

 

Dikenal Juga dengan Sebutan Tuanku Pasaman/Saidi Muning

 

Lahir : Tepi Selo, kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, 1750 M

Panglima Kaum Paderi dalam Perang Padri.

Perjuangan : 1823 – 1830 M.

Orang Tua : ♂️Datuk Sinaro.

Wafat : Pelalawan, Riau 1832 M.

Makam : Desa Wisata Batu Basa, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

 

Keterangan : 

 

Tuanku Lintau atau Tuanku Pasaman (lahir di Tapi Selo, Lintau Buo Utara, Tanah Datar tahun 1750 – meninggal di Pelalawan, Riau tahun 1832) adalah salah seorang panglima Kaum Padri dalam Perang Padri, yang berkedudukan di Lintau. Belum banyak diketahui data mengenai tokoh ini. Menurut Muhamad Radjab, Tuanku Lintau bernama asli Saidi Muning, anak dari Datuk Sinaro. Ia mengajar dan memiliki surau di Pasaman sehingga dijuluki juga sebagai Tuanku Pasaman.

 

Tuanku Lintau memiliki hubungan kekerabatan dengan Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah, sehingga dengan kedekatan ini, ia diminta memimpin perundingan mewakili Kaum Padri dengan Kaum Adat.

 

Dalam beberapa perundingan yang dilakukannya tidak ada kata sepakat antara kaum Padri dengan kaum Adat, dan seiring itu dalam beberapa nagari muncul gejolak dalam Kerajaan Pagaruyung, yang nantinya menyebabkan terbunuhnya dua orang anak Sultan Arifin Muningsyah. Salah seorang muridnya yang terkenal yakni Syekh Bustami.

 

Di Tanah Datar muncul pula seorang ulama, Saidi Muning, anak seorang penghulu bergelar Datuk Sinaro. Ia pernah belajar di surau Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo. Ia melanjutkan pelajarannya di Natal dan Pasaman. Kemudian ia memimpin suraunya yang terletak di pantai di Pasaman. Semenjak itu pula ia dikenal dengan panggilan Tuanku Pasaman.

 

Pada tahun 1813, Tuanku Pasaman kembali ke kampung halamannya di Lintau, di lembah Sinamar. Ia berpendapat, misinya harus diarahkan pada pembaruan tingkah laku masyarakat di sekitar kerajaan Pagaruyung. Ia sangat terkesan dengan pembaruan yang dilakukan Tuanku Nan Renceh, di Kamang.

 

Muningsyah, Raja Pagaruyung, tidak menentang gerakan yang dilakukan Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman di Lintau untuk perbaikan moral masyarakat Tanah Datar. Tetapi, masyarakat di desa-desa yang berdekatan dengan kerajaan Pagaruyung acuh tak acuh terhadap kehidupan masyarakat. Mereka bahkan memperlihatkan permusuhan, sehingga timbul pertentangan di tengah masyarakat.

 

Kerusuhan menjalar ke desa-desa sebelah timur Tanah Datar. Tuanku Pasaman memutuskan mengakhiri sifat otonomi desa yang berlaku selama ini. Ternyata, Raja Pagaruyung tidak mempunyai kekuatan dan tidak mempunyai niat untuk melakukan pembaruan. Tuanku Pasaman berkesimpulan, prasyarat berhasilnya pelaksanaan idenya, ialah dengan jalan melaksanakan administrasi pemerintahan yang seragam di Tanah Datar. Tindakan yang akan dilakukannya ialahpertama, menyingkirkan keluarga kerajaan,kedua menyerang desa-desa yang paling erat dengan kerajaan Pagaruyung. Ia yakin bahwa sistem kerajaan Pagaruyung menjadi penghalang cita-citanya.

 

Pada tahun 1815, ia mengajak Raja Alam beserta keluarga kerajaan lainnya untuk bermusyawarah di Koto Tangah, antara Barulak dengan Saruaso. Pada pertemuan itu tiba-tiba Tuanku Pasaman menuduh Raja Alam kurop dan tidak beragama. Tuanku Pasaman memerintahkan menyerang raja. Banyak anggota keluarga Pagaruyung mati terbunuh dalam peristiwa itu, termasuk dua orang anak Raja Alam Pagaruyung. Raja Muningsyah bersama cucunya dapat meloloskan diri ke Lubuk Jambi. setelah terjadi Peristiwa Koto Tangah itu.

 

Tuanku Pasaman menyerang Lubuk Jambi pada tahun 1823 untuk dapat menguasai kota dagang di pantai timur melalui Sinamar. Tuanku Pasaman berusaha memperkuat kedudukannya di mata penduduk pusat kerajaan. Ia mengawini anak Raja Ibadat terakhir yang meninggal pada tahun 1817. Kemudian ia memindahkan kedudukannya dari Sumpur Kudus ke Lintau dan menyatakan dirinya sebagai pemegang waris Raja Adat dan Raja Ibadat. Semenjak itu pula ia lebih dikenal dengan gelar Tuanku Lintau.

 

Tuanku Lintau dapat meluaskan sistem administrasi Padri di daerahnya dengan dukungan hulubalang yang berpakaian merah untuk membedakannya dengan dubalang yang berwarna hitam. Di daerah bukit sebelah timur Lintau, sistem Padri diterima dengan baik. Penduduk Buo dan Kumanis menganut ajaran Padri. Di sebelah utara Lintau, di lereng Gunung Sago, berada di bawah hulubalang Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Halaban.

 

Sehubungan dengan serangan itu, dasar-dasar ekonomi dan politik Kerajaan Pagaruyung lumpuh. Keluarga kerajaan berusaha menyelamatkan diri dari kehancuran dengan kembali kepada sekutu lama, Belanda. Semua nagari yang terletak pada jalur Koto Piliang ke pantai barat ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda pada tahun 1819. Nagari-nagari ini diwakili dua beradik Sultan Saruaso dan Raja Alam Bagagarsyah dari Pagaruyung dan Nagari Duo Puluh Koto dan Batipuh. Mulai saat itu Gerakan Pembaruan Padri berhadapan dengan Belanda yang kemudian berubah menjadi Perang Padri.

 

Kawasan Lintau dipisahkan dengan pusat Tanah Datar oleh punggung bukit barisan dengan lembah-lembah yang dalam. Bukit pemisah ini ialah Bukit Marapalam dipergunakan sebagai benteng perlindungan yang sulit ditembus dari arah Tanah Datar. Punggung bukit di sekitar Lintau ditanam dengan kopi. Kawasan ini merupakan pertemuan bukit yang membentuk lereng-lereng yang mendaki. Di sela- sela bukit ini mengalir mata air yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi sawah- sawah yang terletak di tengah kebun kopi, dikelilingi oleh sawah yang subur, yang mendatangkan kesejahteraan penduduknya.

 

Halaban dan Lintau semenjak lama mempunyai hubungan dagang dengan pantai timur, di hulu Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Pada tahun 1813, ia membenahi desanya, Lintau. Semenjak tahun 1820 melakukan upaya mengawasi lalu lintas perdagangan jalur Indragiri. Sejak itu pula ia terkenal sebagai Tuanku Lintau.

 

Penduduk Lintau melakukan penukaran kopi dengan barang-barang katun dan garam. Terbukti bahwa terdapat hubungan antara kemakmuran dengan diterimanya asas pembaruan Islam (Protagoni).

 

Tuanku Kacik, utusan Tuanku Lintau datang ke Bonjol menyatakan bahwa pasukan Belanda dengan sekutunya akan menyerang Lintau. Kedatangan pasukan Belanda yang menyerang Bukit Marapalam bergerak dari Pagaruyung dengan kekuatan 8 pucuk meriam dapat dipukul mundur sampai desa Tanjung. Empat pucuk meriam dapat dirampas pasukan hulubalang Lintau. Empat hari kemudian, Belanda kembali mencoba menyerang Bukit Marapalam dari arah desa Tanjung. Peristiwa ini terjadi pada 13 April 1823.

 

Pasukan hulubalang Bonjol di bawah pimpinan Tuanku Mudo yang sedang berada di Ampek Angkek, mendengar serangan Belanda ke Bukit Marapalam itu segera bergerak ke lembah Bukit Marapalam. Pasukan Bonjol menyerang dari arah utara sehingga pasukan hulubalang Lintau dapat menguasai medan pertempuran. Pasukan Lintau dan hulubalang Bonjol dapat menguasai lapangan pertempuran. Kekalahan ketiga kalinya bagi Belanda terjadi pada tanggal 16 April 1823 yang dikenal sebagai Hari Keprajuritan Perlawanan Lintau. Peristiwa serangan Belanda dan perlawanan hulubalang Lintau telah dilukis pada relief Museum Perjuangan Taman Mini. Pada serangan itu Belanda mendapat kekalahan. Tiga orang perwira, 45 serdadu Belanda mati, 9 perwira luka dan 178 prajurit menderita luka. Empat buah meriam Belanda dapat dirampas. Berulang kali serangan dilakukan ke daerah Tuanku Lintau, tetapi pertahanan yang kuat di Bukit Marapalam tidak dapat ditembus pasukan Belanda.

 

Pertahanan Tuanku Lintau (1813-1830) baru ditembus pasukan Belanda melalui pengkhianatan yang dilakukan dalam malam pekat ketika hujan turun dengan deras pada tahun 1830. Hulubalang yang bertugas di Bukit Marapalam dengan mudah dapat dilumpuhkan pasukan Belanda dengan bantuan pengkhianat. Serangan Belanda ke Batu Bulek dapat memecah pasukan Tuanku Lintau (Juli 1830).

 

Penghimpun: iing chaiang.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *