PILKADA YANG KEHILANGAN ESENSI

Oleh : Ardinal Bandaro Putiah

Sumbar, Banuminang.co.id_ Dalam tataran yang lebih sederhana, pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah di tanah air adalah bagian dari langkah mewujudkan agenda demokrasi secara menyeluruh. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang saat ini digelar secara langsung di Indonesia adalah salah satu perwujudan komitmen negara demokrasi sebagaimana yang telah digariskan dalam konstitusi.

Dengan proses demokrasi di tingkat lokal, maka diharapkan agar keterpilihan para pemimpin di daerah juga mencerminkan
aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Hanya saja dalam perjalanannya, proses demokrasi di tingkat lokal tidak selamanya berjalan seiring dengan makna hakiki yang terkandung dalam demokrasi.

Proses perkembangan yang menyisakan sejumlah persoalan dan rumitnya aturan main yang dijalankan menjadi tantangan
tersendiri dalammembangun demokrasi yang lebih berkualitas. Seiring dengan
maraknya pelaksanaan pilkada di berbagai daerah, maka tidak dapat dihindari bahwa persoalan juga tumbuh bagaikan jamur di
musim hujan.

Tidak dapat dielakkan lagi bahwa tahapan demokrasi langsung yang kini telah
menjadi bagian dari proses peralihan kekuasaan di tanah air mulai memunculkan sejumlah persoalan yang sangat kompleks. Harapan akan terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance) pasca peralihan sistem demokrasi dari pola lama yang menerapkan demokrasi tidak langsung menuju demokrasi langsung (direct democracy) ternyata tidak kunjung membawa berkah dalam wujud
perubahan mendasar. Justru yang terjadi adalah fakta yang sangat kontras.

Untuk tingkatan daerah, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu upaya menciptakan pemerintahan yang demokratis. Demokrasi sebagai aspek penting berkaitan dengan
pemerintahan dengan hierarki kekuasaan
yang terdapat dalam suatu sistem politik negara. Artinya, akan terdapat sistem politik nasional yang mengandung subsistem politik daerah dalam bingkai sistem negara yang dianutnya.

Pemilahan demokrasi lokal ini bukan berarti terdapat determinasi wilayah pemberlakuan demokrasi atau bahkan terdapat perbedaan demokrasi dari induknya. Demokrasi lokal ditujukan sebagai bagian utuh dari demokrasi di Indonesia dalam pelaksanaan rekrutmen elit politik di pemerintahan daerah. Demokrasi lokal merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya berada dalam koridor pemerintahan daerah.

Di Indonesia demokrasi lokal merupakan subsistem dari demokrasi yang
memberikan peluang bagi pemerintahan daerah dalam mengembangkan kehidupan hubungan pemerintahan daerah dengan rakyat di lingkungannya. Semenjak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada demokrasi partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik sehingga legitimasi mereka lemah.

Pemilukada langsung, secara niscaya merupakan perluasan partisipasi politik rakyat dalam menemukan figur pemimpinnya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sehingga lahir pemimpin daerah yang sesuai dengan harapan dan aspirasi rakyat serta memiliki legitimasi politik yang kuat. Itu sebabnya diperlukan figur kepala dan wakil kepala daerah yang mampu membawa daerahnya ke arah perkembangan yang inovatif, berwawasan ke depan, dan siap melaksanakan perubahan yang lebih baik bagi kepentingan daerah yang dipimpinnya.

Di dalam itu pun, harapan pemilukada langsung, memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi lokal, keadilan, pemerataan, kesejahteraan rakyat, dan sekaligus memelihara keutuhan dan hubungan yang serasi dan harmonis antara pemerintah dengan rakyat, pemerintah
daerah dan pemerintah pusat.

Pilkada serentak kali ini sepertinya tidak lagi sehangat pilkada yang terjadi sebelum sebelumnya. Terasa di lapangan perhelatan ini tidak begitu menarik menjadi perbincangan rakyat. Hangat mungkin hanya bagi mereka yang dalam tanda petik adalah bagi orang orang yang mendapatkan keuntungan sesaat pada setiap perhelatan politik sebagai agen agen pendulang suara.

Kondisi ini mungkin saja dipengaruhi oleh situasi perpolitikan nasional, atau bisa juga rakyat melihat dari pengalaman yang sudah, didaerah mereka merasakan kepala daerah yang dipilih dengan kepala daerah yang ditunjuk mengisi jabatan kepala daerah yang telah habis menjelang pilkada ini tidak jauh berbeda. Biaya mahal yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan perhelatan tersebut hanya menghasilkan produk kepala administrasi wilayah, bukan pemimpin (kepala) daerah yang mampu membawa daerah keluar dari persoalan yang dihadapinya.

Tidak banyak kepala daerah yang mampu melakukan terobosan untuk itu. Khusus di Sumatera Barat, hampir rata kemampuan kepala daerah hanya menggantung diri dari sharing dana dari pemerintah pusat. Apakah itu melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Akibatnya karena ketergantungan tersebut pembangunan daerah tetap tersandera oleh keterbatasan anggaran.

Sampai hari ini belum ada kita dengar, para calon kepala daerah di Sumatera Barat ini yang berbicara tentang apa yang akan ia lakukan. Walau pun sudah banyak dari mereka yang telah melakukan safari (kalau tidak disebut dengan kampanye) dari satu titik ke titik lainnya simpul simpul massa. Tidak terdengar ide, pikiran dan gagasannya mau diapakan daerah ini ke depan yang ujungnya adalah kesejahteraan rakyat.

Hari ini algoritma media sosial masih dimanfaatkan oleh para kandidat untuk membangun pencitraan dalam merebut hati rakyat untuk mendapatkan mandat. Menduplikasi kesuksesan dalam sistem perpolitikan ditingkat nasional dengan menggunakan media sosial mungkin dianggap masih sesuatu yang ampuh dan efektif dalam membangun citra.

Seharusnya pilkada adalah tempat untuk menguji pikiran, ide dan gagasan dari siapa yang terbaik untuk membawa kemajuan daerah baik kandidat maupun partai yang mengusung sang kandidat itu sendiri. Pilkada secara normatif adalah sebuah mekanisme untuk mendapatkan sosok pemimpin yang ideal. Harapan itu tentu diharapkan didorong oleh para tokoh masyarakat, anak-anak muda, para mahasiswa yang berasal dari daerah itu sendiri dan stakeholder lainnya.

Ruang percakapan (perdebatan) untuk itu sudah saatnya dibuka lebar dengan memberikan peran aktif lembaga yang bisa untuk itu. Salah satunya mungkin dapat dilakukan melalui lembaga Badan Permusyawaratan Nagari (BAMUS) mengundang sang kandidat dengan mengundang perwakilan masyarakat, sehingga anak nagari bisa mendengarkan secara lansung ide, pikiran dan gagasan dari kandidat sekaligus memberikan kritik dan saran dalam mempertajam ide dan gagasan tersebut. Hal ini bisa di dorong oleh pemerintah daerah atau mungkin design kampanye dalam ruang yang ditentukan penyelenggara pemilu.

Pola kampanye perlu sebuah terobosan baru, kampanye kandidat di ruang dan waktu yang disediakan oleh penyelenggara cukup untuk itu bagi kandidat yang bertarung di Kabupaten atau Kota Kampanye yang tidak mendidik atau setidaknya tidak efektif perlu dikaji ulang. Intinya jika pilkada kali ini tidak berbeda dengan pilkada pilkada sebelumnya yang tidak menyediakan ruang untuk menguji ide, pikiran dan gagasan dari kandidat, pilkada telah kehilangan esensinya dan terlalu naif untuk menghamburkan uang yang begitu banyak untuk itu.

Wallhu’alam.

Editor (Tim BM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *