Pati adalah Koendji

Pati adalah Koendji

 

Pati hari ini berbicara dan suaranya tidak lagi bisa diabaikan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pati sepakat menggulirkan hak angket dan membentuk panitia khusus (pansus) untuk menelisik kinerja Bupati Sudewo. Keputusan itu bukan sekadar langkah administratif, ia adalah respons tegas lembaga perwakilan terhadap kegaduhan publik yang melebar dari jalanan hingga ruang sidang.

 

Aksi massa yang memuncak, ricuh, dan berujung pada pelemparan benda ke arah Bupati, bahkan massa sempat menduduki gedung DPRD, menjadi luka terang yang menunjukkan betapa tebal jurang antara janji publik dan praktik pemerintahan di daerah. Ketika rakyat turun ke alun-alun dan DPRD merespons dengan hak angket, itu bukan sekadar drama lokal, itu sinyal bahwa mekanisme demokrasi sedang diuji di tengah tekanan publik.

 

Mengapa Pati menjadi medan tarik-menarik ini? Karena ada persoalan substantif yang membuat tanya, untuk siapa pemerintahan bekerja? Keluhan yang mengemuka dari polemik pengisian direktur rumah sakit, pergeseran anggaran, hingga kontroversi kenaikan dan pembatalan PBB mengisyaratkan kegagalan tata kelola dan ketidakpastian kebijakan publik yang merugikan warga. Ketika keputusan strategis seperti pengisian jabatan publik atau pergeseran anggaran dibuat tanpa transparansi dan akuntabilitas, kemarahan kolektif bukanlah hal yang mengherankan, itu adalah reaksi wajar masyarakat yang merasa diabaikan.

 

Menariknya, dukungan pembentukan pansus datang lintas fraksi termasuk partai yang mengusung Bupati. Ini menimbulkan dua kemungkinan, pertama, kembalinya politik lokal pada tanggung jawab institusional, kedua, risiko politisasi penyelidikan yang berubah menjadi arena balas dendam. Jika DPRD memilih jalur pertama, menggunakan angket untuk mengusut fakta, memanggil pihak terkait, dan merumuskan rekomendasi berbasis bukti, maka Pati bisa menjadi contoh kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh wakilnya. Namun jika angket dipakai sebagai alat tawar-menawar politik, maka yang terjadi justru erosi kepercayaan publik terhadap seluruh sistem.

 

Proses pansus dan kemungkinan pemakzulan bukanlah tujuan akhir, ia adalah alat konstitusional yang mestinya mengembalikan tata kelola pada rel yang benar. Dari tahap pemanggilan saksi, pemeriksaan dokumen, hingga penilaian pelanggaran sumpah jabatan, semua itu harus dilakukan dengan standar bukti, keterbukaan, dan perlindungan terhadap proses hukum yang adil. Jika DPRD berhasil melaksanakan itu, ia tidak hanya mengadili seorang kepala daerah, ia mengobati luka legitimasi lembaga publik yang pernah patah. Jika gagal, seluruh proses akan dianggap pertunjukan politik dan memperparah apatis warga.

 

“Kunci” atau dalam ejaan lama, “Koendji” yang dimiliki Pati hari ini bukanlah senjata untuk mengunci seseorang dari jabatan. Koendji itu seharusnya membuka, membuka kotak hitam kebijakan, membuka mekanisme penganggaran, membuka kertas-kertas keputusan yang selama ini tertutup. Pati telah memegang kunci untuk menegakkan akuntabilitas, apakah kota ini akan memakainya demi kepentingan publik atau menjadikannya alat politik pribadi, itulah pertanyaan penentu nasib demokrasi lokal kita.

 

Bagi DPRD Kabupaten Pati jangan sekali-kali mengecewakan harapan publik dengan performa yang sinis, gunakan angket sebagai instrumen kebenaran, bukan sebagai arena kompromi gelap. Bagi eksekutif, ingat bahwa legitimasi dilahirkan oleh pelayanan, bukan retorika, rakyat yang marah adalah panggilan untuk introspeksi, bukan penindasan. Bagi media dan masyarakat sipil, pantau, catat, dan kawal setiap tahap pansus agar proses berjalan transparan. Dan untuk warga Pati, tetaplah kritis dan tegakkan prinsip hukum. Protes tanpa bukti mudah dimanipulasi, namun berdiam diri juga bukanlah pilihan.

 

Pati hari ini menunjukkan kepada kita satu pelajaran penting, demokrasi daerah tidak hanya soal siapa yang menang dalam pilkada, melainkan soal siapa yang berani membuka kotak kebijakan ketika rakyat menuntut jawaban. Jika pansus itu berjalan adil dan transparan, Pati tidak sekadar menyelesaikan persoalan lokal, ia akan menjadi kunci yang membuka harapan bagi daerah-daerah lain yang tengah bergulat memulihkan kepercayaan publik.

 

Penulis: Randa Fikri Anugrah

Mahasiswa UIN Mahmud Yunus Batusangkar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *