Mereka Tak Tahu Harus Berbuat Apa? Jalan Keluar dari Kebingungan Organisasi

Oleh : Ardinal Bandaro Putiah

“They don’t know what to do.” Ungkapan ini terdengar sederhana, bahkan biasa. Tapi di balik kalimat itu tersembunyi tragedi besar yang melanda banyak organisasi hari ini, terutama organisasi yang seharusnya menjadi tulang punggung perubahan seperti organisasi mahasiswa, pemuda, keagamaan, dan pergerakan sosial. Kita menyaksikan hari ini begitu banyak organisasi yang sibuk secara teknis, aktif secara administratif, tetapi lumpuh dalam arah. Mereka hidup, tetapi tanpa napas. Berjalan, tetapi tanpa peta. Berkegiatan, tetapi tanpa jiwa.

Ini bukan semata-mata karena kader malas atau pemimpin tidak becus. Ini adalah persoalan yang lebih dalam dimana organisasi telah kehilangan orientasi ideologis. Mereka tak lagi tahu untuk apa mereka ada, berpihak kepada siapa, dan harus mengambil sikap seperti apa di tengah realitas yang semakin kompleks. Kita sedang menyaksikan kemunduran organisasi bukan karena kekurangan SDM, bukan karena kurang dana, tetapi karena kehilangan narasi dan kesadaran nilai.

Fenomena ini sangat terasa dalam ruang-ruang rapat organisasi. Agenda demi agenda dilaksanakan, laporan pertanggungjawaban disusun dengan rapi, pelatihan, seminar, dan lomba dilakukan demi mengisi kalender kerja. Namun ketika muncul satu pertanyaan krusial: “Apa sebenarnya yang ingin kita ubah di dunia ini?” tak ada jawaban yang memuaskan. Sebagian hanya menyebut target kuantitatif, sebagian lain bersembunyi di balik kalimat normatif. Inilah wajah organisasi yang kehilangan ideologi besar dalam struktur, tapi rapuh dalam orientasi.

Masalah ini tak bisa diselesaikan dengan memperbanyak kegiatan atau mempercanggih administrasi. Karena yang hilang bukan sistem, tapi kesadaran kolektif tentang tujuan sejarah organisasi. Banyak organisasi hari ini menjadi seperti bangunan megah yang lupa kenapa ia didirikan. Mereka terus berdiri karena tradisi, karena legalitas, atau karena warisan. Tapi tak lagi merasa penting untuk bertanya: “Apa amanat sejarah yang harus kita emban?”

Kondisi ini makin diperparah oleh kepemimpinan yang lemah secara visi. Banyak pemimpin organisasi hari ini lebih sibuk membangun citra daripada membangun kesadaran. Mereka pandai membuat konten, tapi tak mampu membuat arah. Mereka lihai dalam lobby, tapi kaku dalam mengambil sikap. Mereka bisa mengelola konflik internal, tapi tak berani menghadapi konflik sosial yang menuntut keberpihakan. Kepemimpinan semacam ini hanya menghasilkan organisasi yang sibuk bergerak tapi tak pernah sampai ke mana-mana.

Kita juga menyaksikan degradasi dalam proses kaderisasi. Kaderisasi yang seharusnya menjadi ruang ideologisasi dan pembentukan militansi, kini berubah menjadi kegiatan administratif dan seremonial. Kader dididik menjadi pelaksana tugas, bukan pelanjut perjuangan. Mereka dikenalkan pada struktur, tapi tidak dikenalkan pada nilai. Mereka tahu SOP, tapi tak tahu sejarah. Maka lahirlah generasi kader yang pintar berbicara, cakap membuat proposal, tapi kosong dalam kepekaan sosial dan keberanian moral. Mereka tahu cara memimpin rapat, tapi gagap dalam menyusun gagasan.

Dan yang lebih menyedihkan, organisasi-organisasi ini sering kali justru ikut melanggengkan sistem ketimpangan yang mereka kritik. Banyak dari mereka berlomba-lomba masuk ke dalam sistem birokrasi, tanpa menawarkan perubahan apa pun. Mereka berkompromi dengan kekuasaan demi fasilitas, berdiam diri saat terjadi kezaliman, dan memilih netral saat umat dan rakyat terhimpit. Mereka tak tahu harus berbuat apa, karena sejak awal mereka tak dibekali untuk melawan arus. Mereka dibentuk untuk “aman”, bukan untuk berani. Untuk bertahan, bukan untuk memperjuangkan.

Namun, semua ini belum terlambat untuk diperbaiki. Jalan keluar dari krisis ini bukanlah kosmetik programatik, tapi pertobatan ideologis secara kolektif. Organisasi harus kembali ke akar keberadaannya, menjadi alat perjuangan, bukan sekadar alat mobilisasi massa atau pengisi program pemerintah. Ini hanya bisa dilakukan jika organisasi berani menjawab ulang pertanyaan mendasar *“Mengapa kita ada?”*

*Organisasi harus kembali menjadikan ideologi sebagai napas gerakan.* Bukan sebagai dokumen yang dibacakan di forum-forum resmi, tapi sebagai kerangka hidup. Ideologi memberi arah, menyatukan barisan, dan meneguhkan sikap dalam menghadapi tekanan zaman. Dalam konteks organisasi Islam dan kebangsaan, ideologi Tauhid adalah fondasi: membebaskan manusia dari penyembahan terhadap kekuasaan, uang, atau jabatan, dan hanya tunduk pada kebenaran Ilahi yang berpihak pada keadilan.

Kita juga harus mendesain ulang proses kaderisasi agar kembali menjadi medan pembentukan kesadaran sejarah, keberanian sikap, dan loyalitas kepada nilai. Kaderisasi tidak boleh hanya tentang “kenalan dengan struktur,” tapi harus mengantar kader memahami konflik zaman, tugas sejarah, dan posisi ideologis organisasi. Kader harus digembleng untuk tidak hanya pandai memimpin, tapi siap berkorban, siap menghadapi tekanan, dan siap menjadi pembebas bagi rakyat dan umat.

Yang tak kalah penting adalah membangun kembali kepemimpinan ideologis. Kita membutuhkan pemimpin organisasi yang tidak hanya populer, tetapi punya keberanian moral dan arah nilai yang jelas. Pemimpin yang berani mengatakan benar di tengah suara mayoritas yang salah. Pemimpin yang tak takut kehilangan jabatan demi mempertahankan integritas organisasi. Pemimpin yang hidup sederhana, bekerja untuk umat, dan memikul beban sejarah dengan penuh tanggung jawab.

Organisasi juga harus menyusun program kerja bukan untuk “mengisi agenda,” tapi untuk menjawab problem konkret umat dan bangsa. Apakah organisasi ini hadir untuk membela petani yang digusur? Untuk menyuarakan keadilan di ruang publik? Untuk mengedukasi masyarakat yang disesatkan oleh kapitalisme digital? Jika tidak, maka seluruh kegiatan hanya akan jadi rutinitas yang tak meninggalkan jejak sejarah.

“They don’t know what to do” hanya akan menjadi kalimat kutukan jika kita terus diam. Tapi ia bisa menjadi titik balik jika kita mengubahnya menjadi kesadaran bahwa kita selama ini tersesat, dan kini saatnya kembali ke jalan ideologis. Organisasi harus kembali menjadi sekolah perjuangan, kawah candradimuka yang melahirkan manusia bebas, pejuang adil, dan pemimpin masa depan.

Dan pada akhirnya, hanya organisasi yang tahu untuk apa ia ada, tahu ke mana ia melangkah, dan tahu kepada siapa ia berpihak yang akan bertahan dalam sejarah. Yang lainnya, perlahan akan punah, tenggelam dalam lautan formalitas, kehilangan makna, dan dilupakan oleh zaman.

Wallahu’alam
Pondok Syarikat, 10 Juli 2025