Menyongsong Majelis Tahkim Luar Biasa Syarikat Islam Indonesia: Perlukah SII Melebur Ketika PSII Dideklarasikan?
Oleh: Ardinal Bandaro Putiah
Majelis Tahkim merupakan forum tertinggi dalam tradisi organisasi Syarikat Islam Indonesia (SII), tempat musyawarah dan pengambilan keputusan strategis menyangkut arah perjuangan, ideologi, serta konsolidasi gerakan. Dalam menyongsong Majelis Tahkim Luar Biasa yang digagas akhir-akhir ini, muncul kembali pertanyaan mendasar dan historis: apakah Syarikat Islam Indonesia (SII) masih perlu eksis sebagai entitas organisatoris tersendiri, terutama setelah munculnya deklarasi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)?
Pertanyaan ini tidak hanya menyentuh aspek struktural organisasi, tetapi juga menyentuh akar ideologi, tafsir sejarah, dan arah masa depan gerakan Islam yang bercorak sosial-nasionalis seperti yang diwariskan oleh HOS Tjokroaminoto dan generasi awal Syarikat Islam. Tulisan ini akan mengupas secara mendalam dimensi historis, ideologis, politis, serta konsekuensi strategis dari kemungkinan peleburan SII ke dalam PSII, atau justru mempertahankan keberadaannya sebagai entitas gerakan sosial keumatan yang otonom.
Sejarah Ganda SII sebagai Gerakan, PSII sebagai Partai
Syarikat Islam Indonesia bermula sebagai Sarekat Dagang Islam (1905) lalu berkembang menjadi Sarekat Islam (1912), kemudian dalam arus sejarah yang panjang, mengalami transformasi menjadi partai politik, yaitu Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) sejak era pergerakan nasional hingga masa kemerdekaan.
Namun, sejak pertengahan abad ke-20, khususnya pasca-1950-an dan masa-masa penuh dinamika politik Orde Lama dan Orde Baru, banyak tokoh dan kader Sarekat Islam menilai bahwa peran sosial dan dakwah kebangsaan perlu ditempatkan kembali di atas aktivitas politik elektoral semata. Maka, muncullah gagasan untuk menjadikan Syarikat Islam Indonesia sebagai organisasi sosial dan dakwah ideologis, sementara aktivitas politik dijalankan oleh PSII atau kelanjutannya.
Dengan demikian, terjadilah pemisahan peran:
1. SII sebagai gerakan sosial, kultural, dan ideologis,
2. PSII sebagai saluran politik formal yang bisa berkiprah dalam sistem demokrasi elektoral.
Namun sejak runtuhnya Orde Baru dan berubahnya lanskap demokrasi, PSII tidak lagi aktif dalam panggung politik nasional, bahkan eksistensinya menjadi samar-samar hingga beberapa upaya deklarasi ulang muncul di awal abad ke-21.
Pertimbangan Ideologis, Memelihara Gerakan atau Membangun Partai?
Dilema antara menjaga eksistensi SII sebagai gerakan versus melebur ke dalam partai PSII bukan semata-mata soal struktur, tetapi soal jiwa gerakan. Beberapa argumen mendalam bisa dikaji:
1. Jiwa Gerakan Syarikat Islam adalah Pendidikan Umat, Bukan Sekadar Kekuasaan
Syarikat Islam sejak awal dirancang bukan sekadar untuk rebutan kursi politik, melainkan untuk mendidik umat, membebaskan dari belenggu ekonomi kolonial, menanamkan semangat kebangsaan dan kemandirian. Dalam konteks inilah, SII punya legitimasi moral dan historis untuk tetap eksis, bahkan jika PSII dideklarasikan kembali.
2. Lembaga Politik Tidak Bisa Menampung Semua Dinamika Ideologis
Partai politik, karena logika elektoralnya, sering kali harus kompromistis. PSII sebagai partai politik harus menghadapi tuntutan praktikalitas, koalisi, dan elektabilitas. Ini tentu akan mengurangi ruang dialektika ideologis yang menjadi jiwa utama gerakan SII. Melebur ke dalam PSII bisa berisiko memandulkan peran pendidikan dan pemurnian akidah perjuangan Islam yang lebih ideologis dan strategis.
3. Pemisahan Fungsi Menjamin Kejernihan Gerakan
Dengan tetap menjadikan SII sebagai gerakan non-partisan namun ideologis, umat bisa melihat bahwa perjuangan Syarikat Islam bukan hanya tentang kekuasaan. Hal ini memberi ruang untuk mendidik umat secara jangka panjang tanpa harus terlibat dalam kontestasi pragmatis yang kadang menodai idealisme.
Pertimbangan Strategis, Merangkul Generasi Baru
Majelis Tahkim Luar Biasa seharusnya menjadi ruang untuk memperjelas visi strategis:
a. Apakah SII akan menjadi inkubator ideologis, mencetak kader pemimpin umat dan bangsa?
b. Apakah SII akan menjadi motor penggerak kemandirian ekonomi umat melalui koperasi dan usaha syariah?
c. Ataukah SII sekadar menjadi wadah nostalgia sejarah tanpa relevansi?
Untuk itu, keberadaan SII sangat diperlukan, terlepas dari PSII ada atau tidak. Bahkan bila PSII dideklarasikan kembali dan diakui sebagai kendaraan politik resmi pewaris Sarekat Islam, SII tetap penting sebagai pusat ideologisasi dan pembinaan kader.
Generasi muda tidak akan tertarik pada partai politik yang kehilangan arah dan tidak punya basis gerakan. SII-lah yang menjadi lahan subur untuk mempersiapkan generasi baru umat: mereka yang berpikir tajam, berjiwa perjuangan, dan sanggup menghadirkan solusi konkret bagi persoalan bangsa.
Catatan Sejarah Ketika Gerakan dan Partai Berjalan Beriringan
Model dualisme gerakan dan partai sebenarnya bukan hal baru. Kita bisa lihat contohnya:
• Muhammadiyah tetap sebagai gerakan dakwah, sementara kader-kadernya aktif di PAN.
• Nahdlatul Ulama tetap sebagai ormas, meski ada PKB sebagai partai kadernya.
Dalam konteks ini, melebur SII ke dalam PSII justru akan menyempitkan ruang gerak dan memperkecil jangkauan strategis gerakan. Sebaliknya, mempertahankan SII sebagai inti ideologi dan gerakan justru memperkuat eksistensi PSII di masa depan, bila ingin sungguh-sungguh dibangun.
Menyatukan Langkah, Bukan Meleburkan Identitas
Majelis Tahkim Luar Biasa sebaiknya digunakan sebagai momentum konsolidasi gerakan:
1. Meneguhkan kembali peran SII sebagai pusat pembinaan ideologis umat,
2. Menetapkan garis batas dan sinergi dengan PSII, tanpa harus melebur secara struktural,
3. Merancang blueprint kaderisasi, ekonomi umat, dan kontribusi kebangsaan yang nyata.
SII tidak perlu melebur ketika PSII dideklarasikan. Justru, kehadiran SII sebagai poros gerakan Islam ideologis adalah kekuatan strategis yang bisa menjadi ruh perjuangan politik di masa depan. Bila PSII lahir tanpa ruh ideologis dari SII, ia hanya akan menjadi partai biasa yang kehilangan arah. Namun bila SII berdiri kuat, maka PSII dapat berakar dan berbuah dari pohon yang kokoh, pohon perjuangan Syarikat Islam Indonesia yang diwariskan para pendiri bangsa.
Wallahu’alam.