Menunggangi Kuda Mati Bernama Makan Bergizi Gratis
Oleh: Randa Fikri Anugrah, Mahasiswa Pemikiran Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar
Di sebuah padang tandus, seorang penunggang terus memacu kudanya yang sudah lama tak bernyawa. Alih-alih berhenti dan mencari kuda baru, ia malah memanggil dukun untuk meramu jamu, memanggil tukang kayu untuk memasang pelana baru, bahkan mengundang orang kampung menonton atraksinya. Semua itu dilakukan agar orang percaya, kuda itu masih bisa berlari. Beginilah kiranya ilustrasi sederhana Dead Horse Theory, gagasan populer yang menyindir bagaimana organisasi, termasuk pemerintah, sering memilih untuk terus “menunggangi kuda mati” alih-alih mengakui bahwa kebijakan itu keliru sejak awal.
Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang pemerintah kini menyerupai kisah itu. Dengan anggaran fantastis Rp335 triliun, program ini diklaim sebagai wujud kepedulian terhadap rakyat kecil, khususnya anak-anak sekolah. Narasi yang dibangun indah: generasi emas 2045 harus sehat, cerdas, dan bebas stunting. Siapa yang berani menolak cita-cita mulia semacam itu? Namun, pertanyaan mendasarnya, apakah kuda yang ditunggangi pemerintah ini memang masih hidup, atau sejatinya sudah mati sejak dilahirkan?
Jargon Baru, Masalah Lama
Dead Horse Theory mengingatkan kita pada strategi klasik, ketika kuda mati, pemerintah kerap mengganti nama, menambah jargon, atau membentuk tim baru agar tampak seolah-olah ada terobosan. MBG sesungguhnya bukan ide segar. Sebelumnya kita mengenal Program Makanan Tambahan (PMT) di Posyandu, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), hingga Kartu Indonesia Sehat yang beririsan dengan isu gizi. Semua mengklaim berpihak pada masyarakat miskin, namun hasilnya minim. Prevalensi stunting tetap tinggi, ketimpangan gizi antarwilayah masih lebar, dan distribusi pangan sehat tidak pernah beres.
Alih-alih mengevaluasi akar masalah, pemerintah justru memilih merias wajah program. “Bergizi gratis” terdengar lebih menjual ketimbang “tambahan makanan” atau “subsidi pangan.” Retorika baru dipakai untuk menutupi pola lama, membagi-bagi bantuan konsumtif tanpa pembenahan struktural.
Risiko Salah Sasaran dan Politik Anggaran
Rp335 triliun bukan angka kecil. Ia setara hampir seperempat APBN 2025. Dana sebesar itu berpotensi jadi gula manis bagi semut-semut politik: kontraktor katering, pejabat daerah, hingga elite partai. Pengalaman menunjukkan program berbasis distribusi langsung makanan rawan bocor, baik dari sisi kualitas maupun sasaran. Di lapangan, bukan mustahil makanan bergizi yang dijanjikan berubah menjadi menu seadanya, bahkan basi, karena rantai distribusi panjang.
Lebih jauh, MBG mudah diseret jadi proyek politik elektoral. Pemberian makanan gratis punya daya tarik visual, mudah difoto, cepat diviralkan, dan efektif membangun citra. Bayangkan menteri atau kepala daerah membagikan nasi kotak ke anak-anak sekolah dengan senyum lebar di depan kamera. Simbol semacam ini lebih menonjol ketimbang kerja sunyi memperbaiki sanitasi atau membangun irigasi desa, padahal di sanalah akar gizi buruk bertumpu.
Gizi Buruk Bukan Sekadar Perut Kosong
Pemerintah seolah memandang masalah gizi hanya sebagai kekurangan makanan. Padahal, gizi buruk adalah gejala struktural dari kemiskinan, ketidakmerataan distribusi pangan, rendahnya pendidikan keluarga, hingga buruknya akses layanan kesehatan. Anak tidak cukup diberi lauk gratis jika rumahnya tetap berlantai tanah, ibunya tak paham pola asuh, dan air bersih tak tersedia.
Program MBG, dalam kerangka Dead Horse Theory, adalah upaya memaksa kuda mati tetap berlari dengan cara menambah pelana mahal. Padahal, tanpa memperkuat fondasi kesejahteraan, makanan gratis hanya bersifat temporer. Begitu program berhenti, masalah gizi akan kembali.
Belajar dari Negara Lain
Beberapa negara pernah mencobakan skema serupa, tapi kuncinya ada pada desain sistem. Jepang, misalnya, memiliki program makan siang sekolah nasional. Bedanya, menu disiapkan secara terintegrasi dengan pendidikan gizi, partisipasi orang tua, serta distribusi lokal yang ketat. Anggaran tak hanya diarahkan untuk membeli makanan, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya gizi seimbang.
Finlandia juga terkenal dengan makan siang gratis di sekolah, namun program itu ditopang oleh kebijakan sosial luas: subsidi pertanian lokal, kurikulum kesehatan, serta kesejahteraan keluarga. Dengan kata lain, makan gratis hanyalah pintu masuk menuju sistem gizi nasional yang berkelanjutan.
Bandingkan dengan MBG di Indonesia. Apakah ia didesain sebagai sistem jangka panjang, atau sekadar proyek instan yang berorientasi pada citra? Tanpa ekosistem pendukung, makanan bergizi gratis hanya akan jadi nasi kotak raksasa yang dibagikan tanpa makna.
Berhenti Menunggangi Kuda Mati
Jika pemerintah sungguh ingin menurunkan stunting dan memperbaiki gizi bangsa, maka fokus harus dialihkan ke akar masalah Pemberdayaan ekonomi keluarga miskin.
Pastikan orang tua punya daya beli untuk menyediakan makanan bergizi di rumah, bukan hanya di sekolah.
Pendidikan gizi dan sanitasi.
Anak dan orang tua perlu pemahaman tentang pola makan, kebersihan, dan kesehatan reproduksi. Tanpa itu, makanan bergizi bisa percuma.
Pengawasan ketat anggaran.
Rp335 triliun harus dipastikan tidak jadi bancakan, melainkan investasi jangka panjang bagi generasi.
Dengan langkah semacam ini, pemerintah sesungguhnya sedang mencari kuda baru yang sehat, bukan memaksa bangkai berlari.
Pertanyaan untuk Kita Semua
Makan Bergizi Gratis lahir dengan niat mulia, tetapi terjebak dalam pola lama: jargon baru, biaya besar, akar masalah diabaikan. Ia adalah kuda mati yang tetap ditunggangi dengan biaya sangat mahal.
Maka pertanyaan retoris layak diajukan: apakah kita benar-benar sedang menolong rakyat dengan memberi makan bergizi, atau hanya menunggangi kuda mati yang membutuhkan ongkos raksasa Rp335 triliun?