Menjaga Moral dalam Cerita Rakyat: Kritik Struktural dan Moral-Filosofis atas Kaba Putri Batujuh Badunsanak
Oleh: Nurul Fadila
(Mahasiswa Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Di sebuah kampung tua di Tanjuang Ampalu, Sijunjung, ada kisah yang sejak lama dituturkan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kisah tentang tujuh orang putri yang cantik, cerdas, dan dibesarkan dalam rumah gadang bangsawan. Dari ketujuhnya, selalu ada satu yang paling sering dibicarakan: Puti Bungsu, si gadis bungsu yang lembut hatinya, tetapi langkah hidupnya justru paling berliku.
Cerita itu dibuka dengan peristiwa yang tidak lazim: pilihan Puti Bungsu untuk menikah dengan seekor buaya. Di balik keputusan yang tampak mustahil itu, tersimpan misteri, kekuatan, dan takdir yang kelak menentukan nasib seluruh keluarganya. Keanehan ini memicu kecemburuan kakak-kakaknya, dan sejak saat itu, kedamaian di rumah gadang berubah menjadi bara yang pelan-pelan membesar.
Begitulah kira-kira awal dari Kaba Putri Batujuh Badunsanak, sebuah cerita lama yang saya baca kembali melalui naskah beraksara Arab-Melayu hasil transliterasi Yulfira Riza (2023). Meski nama pengarangnya tidak diketahui, jejaknya terasa jelas: cerita ini lahir dari masyarakat yang akrab dengan alam, adat, dan nilai moral. Tidak hanya memuat peristiwa-peristiwa ajaib seperti manusia buaya dan hukuman ilahi, kaba ini juga menjadi tempat berkumpulnya simbol-simbol, ajaran, dan ketegangan sosial yang masih relevan hingga kini.
Sebagai mahasiswa Sastra Minangkabau, membaca ulang kaba ini rasanya seperti berjalan perlahan melewati lorong tradisi yang penuh jejak kearifan, tetapi juga dipenuhi konflik manusia yang sangat dekat dengan kita. Semakin dalam saya menyimak kisah Puti Bungsu dan enam kakaknya, semakin tampak bahwa kaba ini bukan sekadar hiburan, tapi sebuah struktur naratif rapi yang diselimuti pesan moral kuat.
Struktur Cerita: Alur Klasik yang Mengalir dan Sarat Konflik
Kaba Putri Batujuh Badunsanak memiliki alur progresif yang runtut. Cerita dimulai dengan perkenalan tokoh-tokoh utama: tujuh putri bangsawan dengan sifat dan perannya masing-masing. Fokus diarahkan kepada Puti Bungsu, tokoh bungsu yang memilih jalan berbeda dari kakaknya. Keputusannya menikah dengan seekor buaya menjadi titik awal pecahnya hubungan keluarga.
Konflik berlangsung secara bertahap: dari rasa iri para kakak, pembakaran sarang buaya, hingga pengkhianatan yang membuat Puti Bungsu dibuang ke laut. Semua peristiwa ini disusun secara berurutan dan logis, menunjukkan kekuatan struktur kaba yang memadukan unsur dramatik dan moralitas.
Klimaks terjadi ketika identitas suaminya terungkap sebagai Sutan Nan Gombang, sosok sakti pembawa keadilan. Cerita kemudian bergerak menuju penyelesaian: keenam kakaknya mengalami kematian tragis di tangan Sutan Nan Gombang akibat perbuatan mereka sendiri. Sementara Puti Bungsu memperoleh keselamatan.
Alur seperti ini memperlihatkan bahwa kaba tradisional dibangun dengan kesadaran struktur, dimana ada penegasan, ada pengembangan, dan ada pelunasan moral di penghujung cerita.
Tokoh-Tokoh sebagai Cermin Moral
Penokohan dalam kaba ini tidak hanya memperkuat alur, tetapi juga membawa pesan moral yang mendalam.
1. Puti Bungsu digambarkan sebagai sosok perempuan sabar dan teguh, simbol kesucian dan ketabahan perempuan Minangkabau.
2. Sutan Nan Gombang, dalam wujud buaya, melambangkan kekuatan spiritual dan keadilan.
3. Enam kakaknya adalah gambaran nyata iri hati dan rusaknya nilai badunsanak atau nilai kekeluargaan, nilai yang dijunjung masyarakat Minangkabau.
4. Rajo Tuo, sang ayah, hadir sebagai tokoh bijak yang menerima takdir dengan lapang dada.
Melalui tokoh-tokoh ini, kaba menegaskan bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi moral. Tokoh baik memperoleh keselamatan, sementara tokoh zalim menerima balasannya. Penokohan yang demikian memperkaya makna filosofis kaba.
Tema dan Nilai Moral: Antara Keadilan dan Kesetiaan
Tema utama kaba ini adalah keadilan, sebuah prinsip yang menjadi dasar harmoni dalam masyarakat Minangkabau. Keadilan dalam kaba tidak hanya berkaitan dengan hukum, tetapi juga moral dan spiritual. Kesetiaan menjadi pasangan tematiknya: kesetiaan pada pasangan, pada nilai, pada kebenaran.
Tema-tema turunan seperti keretakan hubungan saudara, kesabaran perempuan, dan balasan atas perbuatan baik dan buruk hadir dengan jelas dalam jalannya cerita.
Nilai moral kaba terangkum dalam pepatah yang menjadi napas kisahnya:
“Jiko elok, elok juo balasannyo; jiko buruak, buruak juo pulo ganjarannyo.”
Pesan moral ini selaras dengan falsafah alam takambang jadi guru, gagasan bahwa kehidupan selalu mengajarkan kita melalui pengalaman dan akibat dari tindakan kita.
Simbolisme: Alam sebagai Guru
Kaba Putri Batujuh Badunsanak kaya akan simbol.
• Buaya adalah simbol kekuatan alam dan ujian keteguhan hati.
• Laut menggambarkan ruang antara harapan dan kebinasaan, tempat manusia diuji ketabahannya.
• Api melambangkan pembersihan sekaligus kehancuran.
• Angka tujuh dalam tujuh bersaudara melambangkan kesempurnaan dan keseimbangan dalam kosmologi cerita rakyat Nusantara.
Simbol-simbol ini memperkaya lapisan makna kaba, membuat cerita rakyat ini tidak hanya dapat dibaca sebagai kisah, tetapi juga sebagai teks moral dan filosofis.
Relevansi Kaba di Masa Kini
Konflik iri hati, manipulasi dalam keluarga, dan ketidakadilan adalah isu yang tidak pernah usang. Kaba ini menghadirkan refleksi tentang hubungan kekerabatan, kesabaran, serta pentingnya menjaga integritas moral dalam hidup bermasyarakat.
Bagi generasi muda Minangkabau, membaca kaba seperti ini adalah cara untuk kembali terhubung dengan akar budaya, akar yang tidak sekadar dibaca, tetapi juga direnungkan. Sebagai mahasiswa Sastra Minangkabau, saya melihat kaba ini sebagai pengingat bahwa nilai dan moral sesungguhnya tidak pernah pudar. Mereka hanya menunggu dibacakan ulang.
Kesimpulan
Melalui pendekatan struktural dan moral-filosofis, Kaba Putri Batujuh Badunsanak memperlihatkan kekuatan ceritanya sebagai teks tradisi yang utuh dan kaya. Unsur-unsur intrinsiknya saling mendukung, pesan moralnya kuat, dan simbolismenya dalam.
Kaba ini tidak hanya memberi hiburan, tetapi juga membimbing pembacanya untuk memahami bahwa setiap tindakan memiliki balasan, dan bahwa keseimbangan hidup hanya dapat dicapai melalui kejujuran, kesabaran, dan keadilan.
Dalam dunia yang serba cepat seperti hari ini, karya tradisional seperti kaba hadir sebagai pengingat bahwa kebijaksanaan sering kali ditemukan dalam cerita lama,cerita yang terus hidup karena kita masih butuh pengingat nilai moral tersebut.




