Mengungkap Tradisi Malamang sebagai Alat Komunikasi Masyarakat Padang Pariaman

Penulis: Muhammad Habib Huzaihfa/2210742021

Mengungkap Tradisi Malamang sebagai Alat Komunikasi Masyarakat Padang Pariaman

Penulis: Muhammad Habib Huzaihfa/2210742021

Jurusan: Sastra Minangkabau Universitas Andalas

 

Pembahasan

Di Sumatera Barat, khususnya di Kabupaten Padang Pariaman, membuat lemang (malamang) bukan hanya sekedar tradisi kuliner khas masyarakat setempat, tetapi merupakan tradisi turun-temurun yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat di sana. Membuat lemang telah menjadi kegiatan rutin yang dilakukan hampir di setiap acara adat atau keagamaan. Lemang tidak hanya dijadikan makanan, tetapi juga sebagai media komunikasi dan interaksi sosial di antara warga masyarakat. Proses pembuatan lemang melibatkan banyak orang dan tidak bisa dilakukan sendiri. Ada yang bertugas mencari bahan baku, mencari wadah (talang atau bambu), mencari kayu bakar, dan mempersiapkan hal-hal lain yang dibutuhkan. Dengan demikian, pembuatan lemang menjadi sarana bagi masyarakat untuk saling bekerja sama dan berinteraksi satu sama lain.

 

Budaya dan komunikasi memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Budaya menentukan bagaimana orang berkomunikasi, dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung. Selain itu, budaya juga mempengaruhi cara orang menyandi pesan, makna yang dimiliki untuk pesan, serta kondisi-kondisi untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan pesan. Keragaman budaya dapat menghasilkan praktik komunikasi yang beragam pula, karena budaya merupakan landasan dasar komunikasi. Perilaku kita dalam berkomunikasi sangat bergantung pada budaya di mana kita dibesarkan.

 

Dampak Malamang dalam Kehidupan Masyarakat Padang Pariaman 

 

Salah satu tradisi lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat asli Kabupaten Padang Pariaman hingga saat ini adalah tradisi Malamang. Malamang dalam bahasa Indonesia berarti membuat atau memasak lemang. Tidak ada data yang pasti menunjukkan kapan tradisi ini pertama kali menjadi kebiasaan masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman. Namun, banyak tulisan yang menyatakan bahwa tradisi Malamang ini terkait dengan penyebaran agama Islam oleh Syekh Burhanuddin Ulakan pada awal abad ke-17. Pada awal kedatangannya, Syekh Burhanuddin Ulakan menyebarkan agama Islam di daerah pesisir Sumatera, khususnya di Ulakan Tapakis yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Pada saat itu, masyarakat setempat masih mayoritas memeluk agama Hindu dan banyak mengonsumsi hewan-hewan yang dianggap kotor, seperti tikus, kodok, dan ular. Masyarakat percaya bahwa dalam menyebarkan agama Islam, Syekh Burhanuddin Ulakan juga memperkenalkan makanan yang sekarang dikenal sebagai lemang. Melalui lemang, agama Islam pun cepat menyebar dan dianut oleh hampir seluruh masyarakat Padang Pariaman.

 

Tradisi Malamang masih rutin dilakukan oleh masyarakat Padang Pariaman hingga saat ini di era modern. Kegiatan Malamang semakin berkembang dan dibudidayakan oleh masyarakat setempat dari tahun ke tahun. Meskipun banyak budaya luar yang datang dan mempengaruhi generasi muda, hal itu tidak membuat tradisi Malamang dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakat. Setiap ada kegiatan yang berkaitan dengan Malamang, baik generasi tua maupun generasi muda ikut terlibat di dalamnya. Pada dasarnya, Malamang memiliki keterkaitan yang erat dengan kegiatan-kegiatan yang bertemakan agama Islam. Hal ini menjadi alasan mendasar mengapa kebudayaan ini tumbuh dan berkembang di wilayah Padang Pariaman. Kegiatan keagamaan yang memerlukan adanya lemang dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu yang berkaitan dengan kegiatan mengaji dan yang tidak berkaitan dengan mengaji. Kegiatan yang berkaitan dengan mengaji antara lain perayaan Maulid Nabi, doa untuk orang yang meninggal, menjemput orang sumando yang meninggal, dan malam 27 Ramadhan. Sementara kegiatan yang tidak berkaitan dengan mengaji adalah menyambut bulan Ramadan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha.

 

Kontribusi Malamang Terhadap Komunikasi Masyarakat Padang Pariaman 

Keberadaan lemang dalam banyak kegiatan keagamaan Islam bukan hanya sekadar sebagai syarat yang harus ada tanpa alasan. Pada awal perkembangannya, tradisi Malamang yang diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan berfungsi sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Padang Pariaman yang saat itu belum banyak mengenal dan menganut agama Islam. Metode menggunakan makanan sebagai sarana dalam setiap kegiatan diskusi juga menjadi kebiasaan umum bagi masyarakat Minangkabau. Orang Minangkabau cenderung untuk makan terlebih dahulu sebelum melakukan perundingan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa untuk berpikir dan berdiskusi membutuhkan energi yang besar. Jika belum mendapatkan asupan energi yang cukup melalui makanan dan minuman, maka dapat menyebabkan perundingan yang tidak tuntas atau suasana emosional yang tidak stabil.

 

Oleh sebab itu, Syekh Burhanuddin selalu membawa lemang saat melakukan dakwah dan membuka diskusi dengan masyarakat untuk membahas kebenaran tentang Tuhan. Malamang menjadi media komunikasi yang efektif dan bermanfaat bagi masyarakat Padang Pariaman dalam hampir semua kegiatan mereka. Saat melakukan malamang, orang-orang yang terlibat akan mempererat ikatan kekeluargaan mereka, minimal di dalam keluarga masing-masing, saat menyiapkan dan membuat lemang bersama-sama. Seperti aktivitas memasak pada umumnya, malamang juga membutuhkan alat dan bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhannya. Namun, tidak banyak pasar yang dapat menyediakan kebutuhan untuk membuat lemang, berbeda dengan bahan makanan sehari-hari. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi dan kerjasama yang kuat dalam kelompok untuk membagi tugas pada setiap kegiatan malamang di semua keluarga. Ada yang bertugas mencari bumbu dan bahan utama lemang, ada yang mencari kayu bakar, ada yang mencari talang sebagai wadah lemang, dan ada yang mencari daun pisang.

 

Kesimpulan

Tradisi malamang bagi masyarakat Padang Pariaman berfungsi sebagai jamuan yang wajib ada dalam menyambut berbagai kegiatan yang kental dengan ritual agama Islam. Kegiatan agama tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu yang berkaitan dengan mengaji dan yang tidak berkaitan dengan mengaji. Kegiatan yang berkaitan dengan mengaji meliputi merayakan Maulid Nabi, mendoakan orang meninggal, menjemput orang sumando (mertua) yang meninggal, dan kegiatan pada malam tanggal 27 Ramadan. Sedangkan yang tidak berkaitan dengan mengaji adalah menyambut bulan Ramadan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha.

 

Tradisi malamang merupakan media atau sarana komunikasi bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Sebagai media komunikasi, malamang dapat memfasilitasi penyampaian pesan atau informasi yang efektif di antara masyarakat Padang Pariaman pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan malamang. Setiap kegiatan yang berkaitan dengan malamang akan terasa hampa dan tidak bermakna apabila masyarakat tidak menyediakan lemang sebagai jamuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *