Membangun Aturan Tanpa Dialog: Tantangan Demokrasi Kampus di UIN MY BATUSANGKAR

Membangun Aturan Tanpa Dialog: Tantangan Demokrasi Kampus di UIN MY BATUSANGKAR

 

Pada Rabu, 6 Agustus 2025, proses penyusunan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Mahmud Yunus Batusangkar berlangsung tanpa melibatkan mahasiswa secara langsung. Padahal, dalam struktur demokrasi kampus yang sehat, mahasiswa—melalui organisasi perwakilan seperti SEMA (Senat Mahasiswa) dan DEMA (Dewan Eksekutif Mahasiswa)—harus aktif berpartisipasi dalam setiap proses penyusunan kebijakan yang mengikat mereka. Ketidakhadiran mahasiswa dalam momen penting tersebut menumbuhkan rasa bahwa dialog hanya terjadi dalam satu arah: dari kampus ke mahasiswa, tanpa ruang konsultasi balik atau aspirasi yang tersalurkan.

 

Fenomena serupa juga pernah terjadi di UIN Jakarta, di mana ormawa sempat diundang dalam draf awal perumusan kode etik tetapi keterlibatan DEMA-U dan SEMA-U sangat minim, bahkan ada yang tidak diundang sama sekali, sehingga aspirasi mahasiswa belum sepenuhnya terakomodasi. Ini mempertegas bahwa demokrasi kampus tidak sekadar soal struktur formil, melainkan juga praktik partisipatif yang nyata—sebuah praktik yang seharusnya juga menjadi standar di UIN MY Batusangkar.

 

Ketidaklibatan mahasiswa dalam perumusan kode etik tidak hanya soal prosedural, tapi lebih jauh lagi mencerminkan ketimpangan dalam distribusi ruang demokrasi di kampus. Ketika kebijakan dibuat dari atas ke bawah, tanpa dialog, mahasiswa bisa merasa terpinggirkan, seolah peran mereka hanya sebagai subjek aturan, bukan sebagai rekan dalam penyusunannya.

 

Sebagai kampus Islam yang idealnya mengedepankan nilai inklusivitas dan musyawarah, UIN MY Batusangkar perlu merenungkan kembali proses pembentukan aturan internal. Keterlibatan mahasiswa dalam rapat penyusunan atau setidaknya melalui forum aspirasi terbuka bukan hanya meningkatkan legitimasi aturan, tapi juga memperumit sekaligus memperkaya perspektif kebijakan—yang pada akhirnya menumbuhkan pemahaman dan kepatuhan yang lebih dalam.

 

Selanjutnya, kampus perlu mengevaluasi mekanisme komunikasi formal antara lembaga kemahasiswaan, fakultas, dan birokrasi, agar kedepannya tidak ada lagi aturan penting yang dibahas secara sepihak. Seminar publik, focus group discussion, atau workshop bersama perwakilan mahasiswa bisa menjadi jembatan nyata untuk merawat praktik demokrasi kampus. Tanpa dialog, aturan seperti kode etik hanya menjadi monolog institusional, bukan kesepakatan akademik kolektif.

 

Peran dan Fungsi Praktis Mahasiswa dalam Demokrasi Kampus

 

Mahasiswa bukan sekadar penerima aturan—mereka adalah aktor utama dalam komunitas akademik. Melibatkan mereka dalam penyusunan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa bukan hanya tentang prosedur, tapi juga tentang membangun kesadaran kolektif dan tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai kampus. Ketika dialog terganggu, aturan rentan dianggap arbitrer, bukan hasil kesamaan pandang dan keseimbangan kepentingan berbagai pihak.

 

Legitimasi Aturan lewat Partisipasi

 

Peraturan yang dihasilkan bersama lebih mudah diterima dan ditaati. Jika mahasiswa tidak terlibat, potensi resistensi dan penolakan terhadap aturan baru menjadi nyata—mulai dari ketidakpatuhan hingga konflik internal. Legitimasi aturan bergantung kuat pada proses: dialog adalah fondasi. Tanpa itu, aturan tidak lebih dari regulasi sepihak.

 

Praktik Musyawarah sebagai Nilai Hadis UIN MY

 

Sebagai lembaga pendidikan Islam, UIN MY sepatutnya menerapkan budaya musyawarah (shura)—nilai inti dalam tradisi Islam dan budaya akademik. Dengan mengabaikan perwakilan mahasiswa dalam rapat penting, kampus kehilangan kesempatan untuk menerapkan nilai ini secara nyata. Padahal, musyawarah bukan hanya formalitas—itu adalah praktik yang membangun rasa memiliki dan tanggung jawab bersama.

 

Efek pada Iklim Akademik dan Kepemimpinan

 

Dialog yang terbuka mendorong pengembangan keterampilan soft skills—seperti kemampuan berargumen, berdiplomasi, dan merumuskan kebijakan. Melibatkan mahasiswa justru melatih mereka menjadi pemimpin yang kritis, empatik, dan punya integritas. Tanpa kesempatan itu, kampus berisiko mencetak lulusan yang belum siap mengambil peran advokasi atau pengambilan kebijakan di masa depan.

 

Alternatif Mekanisme Partisipasi yang Praktis

 

— Forum Aspirasi dan Sosialisasi Awal: Sebelum rapat penyusunan regulasi, kampus bisa membuka forum daring atau tatap muka bagi mahasiswa untuk menyampaikan pandangan, kritik, dan usulan.

— Delegasi Resmi Ormawa di Setiap Fakultas: Setiap fakultas bisa memilih delegasi formal yang mewakili aspirasi jelas dari mahasiswa.

— Workshop Kode Etik Bersama Semua Pihak Terkait: Dengan fasilitasi moderator, aturan dibahas bersama, menumbuhkan pemahaman lintas perspektif.

— Evaluasi Tahapan Penyusunan: Menyediakan draft terbuka dalam durasi tertentu sebelum finalisasi sehingga mahasiswa punya waktu refleksi dan masukan.

 

Penutup

 

Demokrasi kampus bukan sekadar slogan—itu adalah praktik hidup yang membentuk kultur akademik sehat dan inklusif. Tanpa dialog, penyusunan Kode Etik di UIN Mahmud Yunus Batusangkar hanya menjadi untaian aturan yang kehilangan makna kolektif. Menempatkan mahasiswa dalam ruang dialog bukan hanya memperkaya kualitas peraturan, tetapi juga memastikan bahwa nilai-nilai seperti keadilan, keterbukaan, dan tanggung jawab bersama benar-benar hidup dan berkembang di kampus.

 

Oleh: Muhamad Alfaorzy

 

Bidang Polkastrat Dema UIN Mahmud Yunus Batusangkar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *