Melirik Nasib Pilu Masyarakat “Bencah Seratus” Kota Garo, Kampar: SUDAH JATUH, MASIH TERTIMPA TANGGA

Melirik Nasib Pilu Masyarakat “Bencah Seratus” Kota Garo, Kampar: SUDAH JATUH, MASIH TERTIMPA TANGGA

 

 

“Sudah jatuh, masih tertimpa tangga”, pepatah ini pun tampaknya belum cukup untuk menggambarkan keadaan masyarakat Bencah Seratus, Kota Garo, Tapung, Kampar.

 

Betapa tidak, tanah leluhur yang sudah didiami semenjak Republik belum lagi berdiri, kini telah berpindah tangan menjadi area usaha pengusaha keturunan.

 

Sementara mereka mesti tersingkir dan eksodus ke wilayah lain, baik di sekitar area Tapung sendiri ataupun ke pinggiran Sungai Siak. Parahnya, kini tangan-tangan kekuasaan oknum DLHK turut pula memojokkan dan menghalang-halangi usaha mereka dalam menggarap sepotong tanah yang tersisa.

 

Berawal lebih dua dasawarsa silam. Saat masyarakat tempatan diiming-imingi kerjasama pemanfaatan lahan mereka lewat Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).

 

Masyarakat pun diarahkan untuk membentuk kelompok tani bernama “Tunas Karya” guna mengorganisir jalannya kerjasama pendirian dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

 

Namun 23 tahun berlalu, kebun sawit telah berdiri dan tentunya menghasilkan akumulasi rupiah yang banyak. Sementara masyarakat tetap tidak mendapat bagian sama sekali.

 

Seluas hampir seribu hektar dari total 1.200 hektar tanah ulayat telah dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa. Separuhnya dikuasai Hansen William (CV Alam Riau Bertuah) dengan mencatut nama Kelompok Tani Tunas Karya.

 

Ketua kelompok tani tersebut, Zainal, membantah bahwa mereka pernah berurusan jual beli lahan ataupun kerjasama.

 

“Nama kelompok tani kami dicatut dan disalahgunakan”, pungkas Zainal. Sedangkan sebahagian lagi dikuasai oleh Kwancin alias Acin alias Acin Togel, pengusaha Cina yang luas dikenal sebagai  bandar judi yang sekarang disebut-sebut berdomisili di luar negeri.

 

Parahnya, sudahlah kerjasama pengelolaan kawasan yang secara administratif masih berstatus sebagai hutan produksi itu menguap begitu saja tanpa kejelasan.

 

Jejak peradaban masyarakat yang ada di atas tanah garapan itu turut pula dimusnahkan. “Kuburan leluhur dan orang-orang tua kami sudah habis dibuldozer, begitu juga mushalla tempat kami beribadah dahulu”, tutur Bahar Leli (58 tahun), penduduk asli kelahiran Dusun Bencah Seratus.

 

Tidak sampai di sana. Jalur darat untuk masuk ke sisa-sisa tanah masyarakat yang hanya tersisa kurang lebih 100 hektar pun turut ditutup.

 

Akibatnya, hak servitude penduduk atas lahan mereka diabaikan begitu saja. Padahal ada nelayan yang berpuluh tahun menggantungkan hidup dari aktivitas di tepian sungai.

 

Ada pula pekebun karet kecil yang memerlukan jalan tersebut. Apabila mereka mencoba masuk, intimidasi dari preman dan oknum aparat yang membekingi baik pihak kebun Kwancin maupun Hansen telah menanti.

 

“Ayah saya sudah berkebun karet di sini sejak tahun 1988, tapi belakangan kami tidak bisa masuk. Terpaksa lah kami lewat jalur sungai, dengan sampan atau perahu, yang tentu lebih sulit dan juga mahal. Mau bagaimana lagi, kami tak berani dengan preman dan aparat,” cerita Nanda Bahtera, pemilik lahan warisan orangtuanya di daerah tersebut.

 

Beberapa bulan belakangan, sekira September 2023, dengan niat merevitalisasi lahan yang sudah kosong dan tidak produktif (hanya ditumbuhi ilalang meskipun status administratifnya adalah kawasan hutan), beberapa warga lokal berinisiatif menyewa alat berat.

 

Tujuannya adalah berkebun dengan tanaman tua atau tanaman hutan, semisal jengkol, karet ataupun durian.

 

Namun baru saja mereka berkegiatan di sana untuk mengeruk lahan yang banjir akibat limpahan air dari kanal kebun sawit Kwancin, ratusan aparat DLHK beserta Polhut serta-merta menggeruduk dan menghentikan aktivitas mereka.

 

Aparat-aparat yang hadir tersebut sangat tegas bertindak menyegel lahan atas nama hukum dan perlindungan terhadap kawasan hutan. Tanpa mau menyadari bahwa kenyataannya lahan yang mereka sebut hutan di mana mereka tengah berdiri itu sebahagian besarnya adalah ladang sawit ilegal para pengusaha besar.

 

“Kami hanya bersihkan lahan yang tak sampai 30 hektar mereka bukan main tegas. Ini kebun sawit hampir seribu hektar sudah berpuluh tahun ada mereka tutup mata. Dimana keadilan?” Mukti Arifin bertanya.

 

“Kami rakyat kecil hanya ingin membangun pondok untuk tempat berteduh ketika mencari ikan, ingin menanam lahan kami sendiri dengan tanaman tua, mereka bilang harus ada izin menteri. Jauh betul rasanya kami orang kampung ini ingin berurusan dengan menteri di Jakarta sana pula”, tutur orang tua dan tokoh tempatan itu.

 

Apa yang terjadi di Bencah Seratus ini seharusnya menjadi perhatian. Betapa carut-marut konflik agraria masih saja terjadi, dan sebahagian besarnya masih mengorbankan hak masyarakat kecil dan pemilik tanah ulayat

 

Bahar Leli, selalu perwakilan masyarakat Bencah Seratus saat ini telah mengadukan nasibnya dan membuat laporan resmi ke Polda Riau.

 

Masyarakat Bmecah Seratus terus berharap bahwa pemerintah akan segera bertindak dan aparatur hukum bisa menanggapi laporan mereka.

 

Sekaligus, memberi perlindungan, pengayoman dan menghadirkan rasa keadilan bagi komunitas termarginalkan. Jangan sampai idiom “hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas” lagi-lagi jadi kenyataan yang dilestarikan.

 

By: AndAr rAm

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *