LITANI SEPERTIGA MALAM

Puisi dan Sastra101 Dilihat

LITANI SEPERTIGA MALAM

by Bumiara 

 

 

Sepertiga malam

kulepas belenggu rasa

Dogma ku urai

Logika diam

Qalbu bicara

Ribuan aksara

menjelma prosa bermakna

Namun pupus tak bersisa

Saat aku berhadap pada-Mu

Yaa Rabb,

inilah aku yang menanggalkan nama, gelar,

dan kebanggaan

Kutaruh di ambang sunyi

Aku mencoba memperbaiki bangunan yang kusebut iman

Lama dimakan rayap

Retak oleh kemarau panjang

Runtuh dihantam badai zaman

Rayap itu tak datang dari luar

Ia menetas dari ayat

yang dipotong rapi

agar muat di perut kekuasaan

Tipu menjelma adat,

khilaf diwariskan sebagai kebiasaan.

Mata lama terpejam

demi kenyang perut para datu’

Mimbar berderit di malam hari

Bukan karena usia, melainkan karena terlalu sering memikul kebohongan yang disucikan.

Doa dibaca seperti pengumuman, iman dihitung seperti laba.

Yang lapar diminta sabar, yang rakus diberi gelar.

Kami diajari patuh,

bukan jujur.

Kami diajari diam,

bukan berpikir.

Kami diajari percaya,

tanpa pernah diajak

melihat cahaya

dari arah lain.

Perut lebih dulu bersuara

sebelum akal sempat bertanya.

Ia menuntut dalil yang bisa dikunyah,

doa yang cepat mengenyangkan.

Sorban mengangguk pelan, menjadi juru damai

Antara lapar dan nurani menutup kepala,

namun menggelapkan langit.

Padahal cahaya-Mu

datang tanpa upah,

menyelinap ke celah retak, menyentuh mereka yang berani lapar demi jujur.

Rayap tak takut cahaya yang mereka takuti

adalah pertanyaan.

Maka jendela ditutup rapat

Anak-anak malam dibungkam

Dan gelap disebut keselamatan

Yaa Rabb,

ternyata menjadi hamba

lebih sulit daripada menjadi benar.

Hamba harus rela

tak selalu menang,

tak selalu dipuji,

tak selalu dipahami.

Maka kupelajari lagi

cara berdiri tanpa mimbar,

cara berbicara tanpa sorban,

cara percaya

tanpa memenjarakan cahaya.

Aku belajar dari air

yang tak memilih tempat tinggi, dari cahaya yang tak memaksa dilihat,

dari malam yang mengajar tanpa suara.

Jika aku keras, itu karena takut.

Jika aku diam, itu karena belum mengerti.

Jika aku melawan, itu karena tak ingin mewarisi dusta.

Tuntun aku untuk terus belajar , dari guru yang berbeda wajah, dari kitab yang berbeda bahasa,

dari hidup yang sering lebih jujur daripada mimbar

Jangan ikat Engkau

pada satu tafsir,

sebab Engkau

lebih luas dari sangkaanku sendiri.

Jika kelak aku lelah,

ingatkan aku pulang tak perlu ramai.

Cukup satu sujud

yang tak ingin dilihat siapa pun selain Engkau.

Aamiin…..

Yang selesai,

namun tak pernah tamat.