KINI SAAT TIGA SARINGAN
by: Bumiara
Malam mengendap seperti maling, menarikku turun dari peraduan.
Mata menolak pejam,
karena resah sudah menjadi dirigen
mengatur orkestra sesal dan lelah.
Beduk penyesalan ditabuh keras,
tapi riya malah ikut kafilah pahala,
dan dosa menunggu di pintu
dengan karpet merah dan jamuan manis.
Dari kiri-kanan, suara bertengkar
menghantam gendang telinga seperti badai di pasar murah.
Mulut dikunci, mata dipejam.
Betapa nyamannya jadi buta, tuli, bisu,
asal dompet dan nama baik tetap aman.
Lihatlah nakhoda di atas geladak
Membusungkan dada seperti pahlawan,
padahal arah kompas sudah digadaikan
Kepada sponsor yang membayar lebih.
Awak kapal sibuk main peran,
menghafal dialog suci untuk panggung upacara.
Penumpang?
Mereka membuat lubang di lambung kapal, lalu menyerahkan nasib kepada doa yang ditulis di papan iklan.
Di kejauhan, Ya’juj dan Ma’juj menggelar tikar,
menikmati tontonan sambil menghitung untung rugi.
Bencana pun datang seperti rombongan pesta,
dan kita rebutan kursi di barisan penonton VIP.
Setapak demi setapak,
kita meniru wajah, menyalin bahasa,
dan mengoleksi gestur yang terlihat alim
meski hati masih sibuk tawar-menawar dengan dunia.
Coba tanya apa gunanya lukisan
jika kanvasnya dilumuri tinta hitam,
dan warna-warni hanya tersisa di brosur pameran?
Kegembiraan kini berselubung kain putih yang ternoda bukan oleh dosa besar,
tapi oleh remah kue di meja rapat pengurus.
Jika saringan robek,
tambal dengan benang kejujuran ,bukan pita peresmian.
Biar air kembali bening
dan putihnya memantulkan langit tanpa malu.
Aku tak mau jadi koleksi manekin putih pakaian,
Karena aku ingin jadi putih itu sendiri
Bukan bungkusnya,
melainkan cahaya yang tak butuh izin tampil.
Kini…
Saat tiga saringan bekerja menyaring mana yang benar, mana yang bermanfaat, dan mana yang pantas diucapkan
sebelum kapal ini tenggelam
dengan sorak-sorai penumpangnya.
—
#foryou
#syair