Ketua PN Surabaya Tidak Menjalankan Putusan MA
Advokat Dr (C) Lukas Santoso, SH.,MH.,MM.,MSi. yang juga anggota saya di Depkumham PJI (Departemen Hukum dan HAM-Persatuan Jurnalis Indonesia) menemui saya bersama kliennya, Irwan Budi Soewardi. Diterangkan mereka, singkatnya, tahun 2020 lalu Irwan membeli sebidang tanah dan rumah di Sutorejo Selatan No. 17 Surabaya dari orang bernama Marco Hadisuryo Kuncoro, tunai. Transaksi diformalkan melalui Akta Pengikatan Jual Beli No. 59, Akta Kuasa Menjual No. 060 dan Akta Perjanjian Pengosongan No. 061 Notaris Ardyan Pramono Van Wignjodigdo, SH., MKn. Persil yang dibeli Irwan untuk dijual lagi itu dikemudian hari jadi kasus.
Marco berjanji membantu menjualkan dan sempat meminjam sertifikat rumah dengan alasan ada pembeli serius (ada tanda terima). Ternyata Marco mencoba menjual rumah tersebut secara diam diam tanpa sepengetahuan Irwan, melalui Notaris Felicia Imantaka, SH. di Surabaya. Sertifikat telah diserahkan ke notaris Felicia. Penjelasan Felicia kepada saya, sertifikat masih disimpannya (Jum’at 27/9).
Permintaan kembali sertifikat mendapat perlawanan. Irwanpun memberi kuasa kepada Advokat Dr (C) Lukas Santoso, SH.,MH.,MM.,MSi. untuk menggugat Marco serta Notaris Felicia di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Gugatan tercatat dalam perkara nomor 504/Pdt.G/2022/PN.Sby. Putusan PN Surabaya mengabulkan gugatan Irwan. Putusan PT dan kasasi tetap menguatkan putusan PN, sehingga putusan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Advokat Lukas mengajukan eksekusi ke Ketua PN Surabaya. Pihak Marco mengajukan gugatan perlawanan eksekusi.
Saya baca berkas gugatan perdata nomor 504/Pdt.G/2022/PN.Sby. Sejak PN sampai putusan Kasasi/MA, dimenangkan Irwan. Persil/rumah Sutorejo Selatan 17 Surabaya diputuskan sah milik Irwan. Siapapun wajib mengosongkan. Marco dan Notaris Felicia wajib mengembalikan sertifikat kepada Irwan (melalui Ketua PN Surabaya), serta menghukum Marco untuk membayar sejumlah kewajiban pembayaran.
Notaris Felicia saya konfirmasi tentang kewajiban penyerahan sertifikat kepada Ketua PN Surabaya sesuai putusan, hanya menjelaskan, sampai sekarang sertifikat masih disimpannya. Sertifikat sudah dibawanya ke PN Surabaya saat proses rencana eksekusi. Ada Ketua PN Surabaya serta semua pihak yang berperkara. Tetapi. Informasi yang saya dapat, Ketua PN Surabaya, Dadi Rachmadi tidak mau mengeksekusi. ‘Menunggu putusan gugatan perlawanan eksekusi dulu’. Pemahaman saya yang awampun terusik. Tidak ada peraturan yang melegalkan penundaan eksekusi sampai ada putusan gugatan perlawanan eksekusi.
Pasal 195 HIR/pasal 206 RBg dan Pasal 197 ayat (1) HIR / pasal 207 RBg menjelaskan, eksekusi atas permintaan pemenang perkara yang telah inkracht. Dan gugatan perlawanan eksekusi tidak menunda eksekusi secara otomatis. Penundaan eksekusi dimungkinkan hanya bila ada ada perintah khusus dari pengadilan lebih tinggi untuk menunda eksekusi. Landasan ini diperkuat SEMA (Surat Edaran MA) No. 3 Tahun 2000, yurisprudensi Mahkamah Agung dan Perma (Peraturan MA) No. 2 Tahun 2015. Saya berharap ada ahli hukum memberi masukan atas pemahaman hukum saya ini.
Saya jadi bertanya-tanya, apa benar Ketua PN Surabaya melakukan tindakan (yang menurut saya, tidak semestinya) itu?! Kalau benar, saya lihat ada indikasi pelanggaran etik dan profesionalisme dari Ketua PN Surabaya. Saya klarifikasi Humas PN Surabaya, Alex Adam,SH.,MH. melalui WA 0821XXXXX134 dan ke jurusita PN Surabaya, Darmanto Dachlan, S.H., M.H. melalui WA 0816XXXX571. Masing masing 2 kali (27/9 dan 28/9), tidak ditanggapi. Telpon tidak diterima. Saya mempertanyakan itikad Ketua PN Surabaya. Ada apa dengan Ketua PN itu?! Klarifikasi sayapun tidak ditanggapi.
Apapun alasannya, keadilan tidak boleh ditunda-tunda, apalagi dalam kasus yang sudah jelas putusannya. Ketua PN Surabaya wajib segera melaksanakan eksekusi. Faktanya putusan MA dilawan Sang Ketua PN. Tidak dijalankan. Penilaian saya, ini bentuk pelanggaran terhadap kewajiban hukum. Jelas tidak sehat dan berpotensi merusak prinsip kepastian hukum. Menciptakan preseden buruk dan membuat orang kehilangan keyakinan/kepercayaan pada pengadilan. Putusan hukum telah inkracht, eksekusinya kok dipersulit?! Saya yang awam saja mengerti aturan!
Saya harapkan PT (Pengadian Tinggi), KY (Komisi Yudisial), Badan Pengawas MA dan Ketua MA, bisa proaktif bertindak tegas bila ada informasi penyimpangan hukum/keadilan.
Sebenarnya masih ada langkah hukum/administratif yang bisa dijalankan, yaitu mengadukan ke Ombudsman RI atau melakukan Gugatan Tata Usaha Negara (TUN). Tapi apa mungkin keadilan masih bisa ditegakkan?! Walahualam.
Penulis:
Hartanto Boechori
Ketua Umum PJI
Persatuan Jurnalis Indonesia