KEGAGALAN KADERISASI DALAM TUBUH SYARIKAT ISLAM INDONESIA: ANTARA WARISAN SEJARAH DAN TANTANGAN KONTEMPORER

Oleh: Ardinal Bandaro Putiah

KEGAGALAN KADERISASI DALAM TUBUH SYARIKAT ISLAM INDONESIA: ANTARA WARISAN SEJARAH DAN TANTANGAN KONTEMPORER

 

Banuaminang.co.id- Syarikat Islam Indonesia (SI Indonesia), organisasi Islam tertua yang pernah menjadi pelopor kebangkitan nasional, kini menghadapi ancaman paling mendasar: kegagalan dalam melahirkan kader-kader ideologis yang mampu meneruskan cita-cita perjuangan. Di tengah tantangan zaman yang kompleks, organisasi ini terlihat kian lemah dalam regenerasi, dengan struktur yang rapuh dan ekosistem kaderisasi yang nyaris mati.

 

Warisan Besar, Regenerasi Kecil

 

Sejak didirikan tahun 1905 oleh Haji Samanhudi sebagai Sarekat Dagang Islam, kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, organisasi ini bukan hanya sekadar gerakan sosial-keagamaan, tapi juga menjadi tempat pembibitan kader bangsa. Tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Semaoen, Agus Salim, Soekarno, Hamka, Abdul Moeis, dan Kartosuwiryo semuanya pernah dididik dalam atmosfer perjuangan SI.

 

Namun, ironi sejarah terjadi hari ini. Di tengah kebanggaan akan narasi perjuangan masa lalu, Syarikat Islam Indonesia gagal menjawab tantangan regenerasi. Generasi muda yang seharusnya menjadi garda depan perjuangan malah menjauh, bahkan banyak yang tidak mengenal SI sebagai sebuah kekuatan sosial-politik dan keagamaan yang pernah punya posisi strategis dalam sejarah Indonesia.

 

Dalam dua dekade terakhir, hampir tidak ada tokoh nasional baru yang muncul dari rahim Syarikat Islam Indonesia. Organisasi ini cenderung menjadi ruang nostalgia elit-elit tua yang tidak memberi ruang partisipasi kepada kader muda. Rapat dan muktamar (Majelis Tahkim) lebih banyak menjadi ajang formalitas administratif daripada ajang adu gagasan kader.

 

Struktur Lemah, Pendidikan Kader Mandek

 

Salah satu titik lemah paling krusial dari SI Indonesia hari ini adalah absennya sistem pendidikan kader yang terstruktur. Tidak ada kurikulum kaderisasi yang diterapkan secara nasional dan menyeluruh. Pendidikan ideologis yang mengakar pada pemikiran Tjokroaminoto seperti “Islam sebagai asas pergerakan”, “kedaulatan rakyat” dan “ekonomi umat” tak lagi menjadi rujukan utama dalam pembinaan kader.

 

Proses kaderisasi seringkali hanya berjalan di tingkat lokal, itupun jika ada inisiatif personal dari seorang pimpinan wilayah. Tidak ada modul pelatihan yang seragam, tidak ada sistem rekrutmen yang sistematis, dan tidak ada program kaderisasi berjenjang dari anggota biasa ke pemimpin.

 

Salah seorang mantan kader SII dari Sumatera Barat mengatakan:

“Saya aktif beberapa tahun, tapi tak pernah merasakan ada sistem kaderisasi. Tidak pernah ada pelatihan ideologi, tidak ada pembekalan kepemimpinan, tidak ada pelatihan teknis apa pun. Akhirnya saya pindah ke organisasi lain yang lebih serius membina kader.”

 

Ketergantungan pada Elit dan Politisasi Organisasi

 

Kegagalan kaderisasi juga disebabkan oleh dominasi elit dalam struktur organisasi. Banyak pimpinan yang terjebak dalam mentalitas feodal, jabatan sebagai simbol status, bukan sebagai amanah ideologis. Pola kaderisasi menjadi vertikal dan transaksional, bukan horizontal dan meritokratis.

 

Akibatnya, kader muda kehilangan kepercayaan. Mereka tidak melihat organisasi ini sebagai tempat bertumbuh secara intelektual maupun organisatoris. Banyak di antaranya justru bergabung dengan gerakan sosial keagamaan yang lebih cair dan progresif, atau bahkan berpindah ke partai politik yang memiliki sistem kaderisasi yang lebih jelas.

 

Studi Kasus: Organisasi Tanpa Denyut Kader

 

Di beberapa wilayah, SI Indonesia bahkan tak lagi berfungsi. Cabang-cabang hanya hidup di atas kertas, tanpa aktivitas berarti. Salah satu cabang di Jawa Tengah, misalnya, terakhir mengadakan rapat pada tahun 2018, dan hingga kini tidak ada kegiatan apapun. Struktur pengurus hanya difungsikan untuk menghadiri undangan resmi atau rapat politik menjelang pemilu.

 

Sebaliknya, di daerah seperti Aceh dan Sumatera Barat, terdapat inisiatif sporadis dari beberapa kader muda yang mencoba menghidupkan kembali semangat Tjokroaminoto melalui diskusi-diskusi kecil, kajian buku, dan kerja-kerja pemberdayaan. Sayangnya, tanpa dukungan struktur nasional, semangat itu cepat padam.

 

Warisan Tjokroaminoto yang Terabaikan

 

Dalam pidatonya pada Kongres SI tahun 1917, H.O.S. Tjokroaminoto menyatakan:

“Jikalau kamu ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.”

 

Ungkapan ini bukan sekadar motivasi, melainkan cerminan dari filosofi kaderisasi SII saat itu membentuk pemimpin umat melalui pendidikan intelektual, keberanian politik, dan komitmen sosial.

 

Tapi hari ini, warisan itu tidak lagi dijadikan pegangan. Sebagian besar kader bahkan tidak pernah membaca karya-karya Tjokroaminoto seperti “Islam dan Sosialisme” atau mengenal konsep “sosialisme teosofis” yang menjadi rujukan utama gerakan SI masa awal. Pendidikan ideologis digantikan dengan agenda-agenda pragmatis, dan kader lebih sibuk memburu jabatan daripada memperjuangkan gagasan.

 

Kegagalan Membangun Ekosistem Kaderisasi

 

 

Kaderisasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan ekosistem: lingkungan yang mendukung pertumbuhan, pengembangan, dan pelibatan kader secara berkesinambungan. SI Indonesia gagal membangun ekosistem itu.

 

Beberapa indikator kegagalan ekosistem kaderisasi di SI antara lain:

a. Tidak adanya pusat kaderisasi nasional yang aktif dan produktif.

b. Ketiadaan sistem pelatihan kader berjenjang, dari dasar, menengah, hingga lanjutan.

c. Tidak ada pelatihan instruktur kader secara berkala.

d. Tidak ada media komunikasi internal kader, baik berupa buletin, jurnal, atau platform digital.

e. Minimnya program kaderisasi berbasis isu kontemporer seperti digitalisasi dakwah, ekonomi kreatif, atau advokasi hukum.

 

Akibatnya, banyak kader tumbuh dalam ruang kosong. Mereka tidak punya narasi, tidak punya visi, dan akhirnya keluar dari organisasi atau menjadi kader “pasif” yang hanya hadir saat dibutuhkan secara formalitas.

 

Usulan Jalan Keluar: Membangun Lembaga Kaderisasi Nasional

 

Untuk mengatasi kegagalan sistemik ini, perlu dibentuk Lembaga Kaderisasi Nasional yang berdiri langsung di bawah struktur pusat SI Indonesia. Lembaga ini harus memiliki otoritas untuk menyusun, mengembangkan, dan menjalankan sistem kaderisasi nasional secara profesional dan ideologis.

 

Beberapa fungsi utama Lembaga Kaderisasi Nasional:

1. Menyusun kurikulum pendidikan kader SI: mulai dari nilai-nilai dasar Islam, sejarah SI, ideologi perjuangan, hingga keterampilan organisasi dan kepemimpinan modern.

2. Mengembangkan pelatihan instruktur kader secara berjenjang dan berkelanjutan.

3. Membentuk pusat-pusat pelatihan kader di setiap wilayah strategis.

4. Mengelola platform digital kaderisasi: kelas daring, diskusi ideologi, jurnal kader, dan database nasional kader.

5. Menjalin kolaborasi dengan lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi lain yang sejalan untuk memperluas jaringan kaderisasi.

 

Kaderisasi adalah Investasi Jangka Panjang

 

Organisasi yang besar tidak dibentuk dari elit yang kuat, tetapi dari kader yang tumbuh dalam proses yang sehat dan sistematis. SI Indonesia harus mulai memandang kaderisasi bukan sebagai rutinitas atau formalitas, tetapi sebagai investasi jangka panjang yang akan menentukan masa depan organisasi.

 

Tanpa kaderisasi, SI akan kehilangan relevansi. Ia akan menjadi organisasi tanpa massa, tanpa pemikiran, tanpa arah. Dalam jangka panjang, ia akan ditinggalkan sejarah — menjadi artefak yang hanya disebut di buku-buku, bukan kekuatan yang hadir di tengah umat.

 

Menyalakan Kembali Api Perjuangan

 

Sudah saatnya SI Indonesia keluar dari krisis kaderisasi yang mematikan ini. Perlu keberanian untuk melakukan pembenahan struktural dan ideologis, membangun kembali ekosistem kaderisasi, dan memberi ruang besar bagi kader muda untuk tumbuh dan memimpin.

 

Kita tidak membutuhkan nostalgia tanpa aksi. Kita membutuhkan gerakan yang hidup, kader yang militan, dan pemimpin yang membumi. Sebab sebagaimana dikatakan Tjokroaminoto:

“Barang siapa ingin hidup mulia dan berarti, hendaklah ia menjadi lilin yang membakar dirinya demi menerangi jalan orang lain.”

 

Kini saatnya SI Indonesia menjadi cahaya kembali, bukan hanya untuk anggotanya, tetapi untuk umat dan bangsa.

Wallahu’alam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *