Iya… Iya… Iya…
by: Bumiara
Segala rupa fana pun tahu gelisah,
seperti bayang yang letih
mengikuti tubuh yang tak lagi tahu ke mana pulang.
Masih ada waktu—
bagi gelap membuka jubahnya,
di tepi cermin yang kau poles tiap pagi,
tapi tak pernah kau tatap jujur.
Iya…
Sang Ego duduk manis di singgasana nafs,
memakai mahkota kehendak pribadi,
berselendang sabda-sabda suci
yang telah dijahit dengan benang otoritas.
Kauberikan label pada diriku,
padahal bayang-bayangku cuma menjiplak
wajah yang tak berani kau hadapi.
Buktikan bila langkahku sesat,
jika memang kebenaran selalu bersuara.
Tapi aku tak dengar Haq dari lidahmu,
hanya gema dari ruang-ruang
yang kau bangun dari reruntuhan cinta.
Kau dulu sembunyi di bawah sayapku,
seperti bayi menanti embun,
tapi kini kau menari di atas bara,
saat buluku mulai luruh oleh angin ujian.
Iya…
Kau berkata aku tak tahu menghargai,
padahal yang kau simpan
bukan cinta,
tapi harap-harapmu sendiri
yang kau beri nama ibadah.
Saat lisanku lelah melafaz dzikir,
kau datang membawa batu prasangka
dan melemparkannya ke jendela batinku
yang hanya ingin tenang menatap langit.
Iya…!!
Syariat kau jadikan taman labirin,
tempat kaubermain petak umpet
dengan kesombongan yang kau namai hikmah.
Kau pilin benang akal
hingga menjadi tali
untuk menjerat leher orang lain.
Iya…!!
Kubuat pagar dzikir
agar taman hati tak dijarah,
tapi kau bakar pagar itu
lalu menyebutku penjaga yang lalai.
Padahal tanganmu yang menyulut api
dari pujian-pujian palsu
yang kautulis di sela amarah.
Amal yang kupendam dalam tanah sunyi,
kau cabut seperti rumput pengganggu,
kau caci seperti bangkai,
padahal tak sedikit dari harum itu
pernah kau hirup
tanpa pernah berterima kasih.
Iya…
Biarlah langit yang mencatat,
dengan tinta tak tampak di mata yang suka menghakimi.
Aku masih berjalan perlahan,
di bawah pohon fana
yang kau potong akarnya
karena takut daunnya jatuh di halamanmu.
Dan aku masih menanti hujan ma’rifat
yang tak pernah kau sambut,
sebab jubahmu terlalu kering untuk disentuh rahmat.
—