Iya… Iya… Iya…

Puisi dan Sastra126 Dilihat

Iya… Iya… Iya…

by: Bumiara

 

Segala rupa fana pun tahu gelisah,

seperti bayang yang letih

mengikuti tubuh yang tak lagi tahu ke mana pulang.

Masih ada waktu—

bagi gelap membuka jubahnya,

di tepi cermin yang kau poles tiap pagi,

tapi tak pernah kau tatap jujur.

 

Iya…

Sang Ego duduk manis di singgasana nafs,

memakai mahkota kehendak pribadi,

berselendang sabda-sabda suci

yang telah dijahit dengan benang otoritas.

Kauberikan label pada diriku,

padahal bayang-bayangku cuma menjiplak

wajah yang tak berani kau hadapi.

 

Buktikan bila langkahku sesat,

jika memang kebenaran selalu bersuara.

Tapi aku tak dengar Haq dari lidahmu,

hanya gema dari ruang-ruang

yang kau bangun dari reruntuhan cinta.

Kau dulu sembunyi di bawah sayapku,

seperti bayi menanti embun,

tapi kini kau menari di atas bara,

saat buluku mulai luruh oleh angin ujian.

 

Iya…

Kau berkata aku tak tahu menghargai,

padahal yang kau simpan

bukan cinta,

tapi harap-harapmu sendiri

yang kau beri nama ibadah.

 

Saat lisanku lelah melafaz dzikir,

kau datang membawa batu prasangka

dan melemparkannya ke jendela batinku

yang hanya ingin tenang menatap langit.

 

Iya…!!

Syariat kau jadikan taman labirin,

tempat kaubermain petak umpet

dengan kesombongan yang kau namai hikmah.

Kau pilin benang akal

hingga menjadi tali

untuk menjerat leher orang lain.

 

Iya…!!

Kubuat pagar dzikir

agar taman hati tak dijarah,

tapi kau bakar pagar itu

lalu menyebutku penjaga yang lalai.

Padahal tanganmu yang menyulut api

dari pujian-pujian palsu

yang kautulis di sela amarah.

 

Amal yang kupendam dalam tanah sunyi,

kau cabut seperti rumput pengganggu,

kau caci seperti bangkai,

padahal tak sedikit dari harum itu

pernah kau hirup

tanpa pernah berterima kasih.

 

Iya…

Biarlah langit yang mencatat,

dengan tinta tak tampak di mata yang suka menghakimi.

Aku masih berjalan perlahan,

di bawah pohon fana

yang kau potong akarnya

karena takut daunnya jatuh di halamanmu.

 

Dan aku masih menanti hujan ma’rifat

yang tak pernah kau sambut,

sebab jubahmu terlalu kering untuk disentuh rahmat.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *