Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi Diperlihatkan, dan Rekayasa Opini Publik Untuk Mendelegitimasi Polri
Pasca dilaksanakannya gelar perkara khusus dalam perkara dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran informasi bohong terkait tuduhan ijazah palsu Presiden Joko Widodo, muncul narasi publik yang sengaja dibangun oleh para tersangka Roy Suryo, Rismon Sianipar, yang merupakan pemohon adanya Gelar Perkara Khusus dan Tifauzia Tyassuma, bersama pihak-pihak yang sejalan, termasuk kuasa hukum mereka.
Narasi ini diarahkan bukan pada substansi hukum perkara, melainkan pada upaya membentuk sentimen negatif terhadap institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), seolah-olah Polri bertindak tidak profesional dan berada “dalam kuasa” Presiden RI ke-7 Joko Widodo.
Pola ini tampak jelas dari keberatan yang mereka suarakan ke ruang publik terkait tindakan Polri yang dalam gelar perkara khusus hanya memperlihatkan ijazah asli Presiden Joko Widodo tanpa mengizinkan para tersangka dan kuasa hukumnya memegang dokumen tersebut. Keberatan prosedural ini tidak berhenti sebagai catatan hukum, tetapi sengaja dikemas menjadi opini publik yang insinuatif seolah-olah terdapat pelanggaran hak, membatasi alat bukti, dan penyidikan yang dikendalikan oleh kekuasaan.
Padahal, jika ditelaah secara jujur dalam kerangka hukum acara pidana, klaim kelompok Roy Suryo Cs tersebut tidak memiliki dasar hukum sama sekali.
Fakta Hukum yang Disembunyikan dalam Narasi Publik
Fakta mendasar yang sengaja dikaburkan adalah bahwa subjek penyidikan dalam perkara ini adalah Roy Suryo, dr. Tifauzia Tyassuma, dan Rismon Sianipar, bukan Presiden Joko Widodo. Para tersangka secara terbuka menuduh ijazah Presiden Joko Widodo palsu dengan mendasarkan “penelitian” mereka pada gambar dokumen yang bersumber dari media sosial, bukan pada dokumen autentik. Salah satu sumber gambar tersebut diketahui diunggah oleh pihak bernama Dian Sandi.
Ketika ada laporan dari Presiden Joko Widodo bersama kuasa hukumnya atas tuduhan tersebut, penyidik kemudian menyita ijazah asli untuk kepentingan pembuktian. Dalam konteks ini, penyitaan dilakukan bukan karena ijazah merupakan alat atau hasil tindak pidana, melainkan karena dokumen tersebut memiliki hubungan langsung dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan para tersangka, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf e KUHAP.
Fakta hukum ini sengaja tidak disampaikan oleh para tersangka dan kuasa hukumnya kepada publik. Sebaliknya, yang didorong justru narasi emosional tentang “hak yang dilanggar” dan “alat bukti yang disembunyikan”.
Kewenangan Polri dan Pembatasan Akses Alat Bukti
Sejak dilakukan penyitaan secara sah, penguasaan fisik atas ijazah asli tersebut berada di tangan penyidik sebagai representasi negara. Pasal 42 KUHAP memberikan kewenangan kepada penyidik untuk memerintahkan penyerahan benda yang dapat disita. Pasal 44 ayat (1) KUHAP mewajibkan negara untuk menyimpan dan mengamankan benda sitaan, sementara Pasal 46 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa barang sitaan hanya dapat dikembalikan apabila kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukannya lagi.
Tidak ada satu pun ketentuan dalam KUHAP yang memberikan hak kepada tersangka (pemohon) dalam forum gelar perkara khusus untuk memegang, menyentuh, atau menguji secara fisik suatu alat bukti. Hak tersangka dibatasi pada hak yuridis, antara lain memberikan keterangan (Pasal 52 KUHAP) dan mengajukan saksi atau ahli (Pasal 65 KUHAP). Selebihnya, pengelolaan alat bukti adalah tanggung jawab penuh aparat penegak hukum.
Dengan demikian, tindakan penyidik yang memperlihatkan ijazah tanpa mengizinkan para tersangka memegangnya bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan pelaksanaan kewajiban hukum. Justru akan menjadi persoalan serius apabila penyidik menyerahkan akses fisik bebas terhadap Ijazah yang merupakan barang sitaan kepada tersangka di luar persidangan.
Dari Prosedur Hukum ke Serangan terhadap Institusi
Masalahnya, Roy Suryo, Tifia, Rismon Sianipar, kuasa hukum dan pihak-pihak yang mendukung mereka tidak berhenti pada perdebatan prosedural di jalur hukum. Keberatan tersebut secara sadar oleh mereka dipindahkan ke ruang publik, disebarluaskan melalui media dan platform sosial, dengan framing seolah-olah Polri bertindak sebagai alat kekuasaan Presiden Joko Widodo.
Di sinilah persoalan utamanya, narasi yang dibangun bukan lagi kritik hukum, melainkan delegitimasi institusi. Polri digambarkan tidak independen, proses penyidikan disugestikan sebagai pesanan politik, dan pembatasan prosedural dipelintir menjadi bukti keberpihakan. Semua ini dilakukan tanpa dasar normatif, tanpa rujukan pasal yang sah, dan dengan mengabaikan fakta bahwa justru para tersangka sejak awal tidak pernah menggunakan dokumen asli dalam membangun tuduhan mereka.
Dengan mencermati keseluruhan rangkaian peristiwa, menjadi terang bahwa polemik pasca gelar perkara khusus bukanlah upaya mencari keadilan prosedural, melainkan strategi pembentukan opini publik. Ketika jalur hukum tidak memberikan legitimasi atas tuduhan ijazah palsu, maka yang diserang adalah institusinya Polri dengan membangun kesan seolah aparat bekerja di bawah kuasa Jokowi.
Ingat dalam hukum acara pidana, melihat alat bukti dapat dimungkinkan, tetapi menyentuh atau memegangnya tidak pernah menjadi hak tersangka, terlebih dalam forum internal seperti gelar perkara khusus. Menyajikan pembatasan tersebut sebagai skandal adalah manipulasi opini, bukan kritik hukum.
Gelar perkara khusus adalah ruang klarifikasi hukum, bukan panggung propaganda. Dan Polri, dalam perkara ini, justru berdiri pada jalur yang benar, bekerja berdasarkan KUHAP, bukan berdasarkan tekanan opini.
Penulis: Rival Achmad Labbaika
Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Online Indonesia



