Citra Perempuan Minangkabau Dalam Kaba
Disadur Dari Buku Minanga, Minangkabau dan Pagaruyung
Disusun oleh DR. H. Nudirman Munir, SH, MH.
Pendahuluan
Karya sastra telah lama menjadi pembicaraan, sebab sebagai suatu karya seni kreatif karya sastra menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya. Seperti halnya yang dikatakan oleh Semi (1984:2) bahwa sastra itu adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Karya sastra bagi masyarakat mempunyai fungsi tertentu dan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan belaka, tetapi juga dapat memberikan pelajaran yang berharga mengenai persoalan hidup. Tokoh-tokoh yang ditampilkan oleh pengarang berfungsi sebagai sarana untuk menggambarkan suatu realita tertentu, melakukan tindakan tertentu, serta mengambil keputusan tertentu terhadap masalah yang dihadapinya. Salah satu karya sastra Minangkabau yang membahas mengenai perempuan adalah kaba.
Citra perempuan Minangkabau yang dimunculkan dalam cerita rekaan, seperti kaba adalah studi perempuan dalam karya sastra (kaba) yang merupakan penelaahan tokoh perempuan sebagai manusia dalam kaitannya dengan manusia dan kelompok masyarakat secara luas. Dengan demikian, teori yang digunakan untuk mengungkapkan citra perempuan harus berhubungan dengan perempuan sebagai analisis.
Kaba sebagai karya sastra tidak bertolak dari kekosongan belaka melainkan dari alam dan kenyataan hidup. Kenyataan hidup inilah yang senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman serta pikiran manusia. Kaba merupakan sastra lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut kemudian didendangkan yang dikenal dengan istilah bakaba. Bakaba biasanya disampaikan oleh seorang tukang kaba dengan alat musik saluang atau rabab yang bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Kaba Minangkabau sudah berkembang dengan baik di tengah masyarakat.
Perkembangan ini ditandai dengan banyaknya jumlah kaba yang ada di tengah masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan jumlah kaba yang muncul seperti kaba klasik dan kaba tak kasik.
Menurut Junus (dalam Djamaris, 2002:79) cerita yang dituangkan dalam kaba klasik mengenai perebutan kekuasaan, cerita dianggap berlaku pada masa lampau yang sangat jauh, tentang anak raja dengan kekuatan supernatural. Sedangkan kaba tak klasik ceritanya tentang seorang anak muda yang mulanya miskin akhirnya menjadi kaya, dan cerita dianggap berlaku pada masa lampau yang dekat kira-kira akhir abad ke-19 atau permulaan abad ke- 20. Pada awalnya, kaba klasik disebarkan dalam bentuk lisan kemudian, setelah masyarakat mengenal tulisan kaba ini dikemas dalam bentuk naskah yang dibukukan. Sedangkan kaba tak klasik, disebarkan dalam bentuk cetakan yang telah diterbitkan.
Salah satu kaba Minangkabau yang diambil dalam penelitian ini adalah Kaba Bujang Piaman Jo Puti Payuang Lauik versi Selasih. Kaba tergolong cerita rakyat dan kaba disebut juga sastra tradisional. Kaba disampaikan secara turun-temurun dari nenek moyang bangsa Minangkabau. Pada awalnya, kehidupan sastra Minangkabau berupa sastra lisan, sastra yang disampaikan dari mulut ke mulut. Cerita dihafalkan oleh tukang cerita (tukang kaba), kemudian dilagukan atau didendangkan oleh tukang kaba kepada pendengarnya. Oleh karena itulah, kaba menjadi karya sastra yang utama dan paling populer dalam sastra Minangkabau.
Djamaris (2002:78) mendefinisikan kaba adalah cerita prosa berirama, berbentuk narasi (kisahan), dan tergolong cerita panjang sama dengan pantun Sunda. Dari segi isi cerita, kaba ini sama dengan hikayat dalam bahasa Indonesia lama atau novel sastra Indonesia modern. Selanjutnya, Junus (1984:17) mengungkapkan bahwa kata kaba sama dengan Kaba berbentuk prosa lirik, bentuk ini tetap dipertahankan bila ia diterbitkan dalam bentuk buku. Kesatuannya bukan kalimat dan bukan baris. Kesatuannya ialah pengucapan dengan panjang tertentu yang terdiri dari dua bagian yang berimbang.
Selanjutnya, Djamaris (2002:78) bahwa kaba tergolong ke dalam sastra lisan (oral literature), suatu karya sastra yang disampaikan secara lisan dengan didendangkan atau dilagukan yang ada kalanya diiringi dengan alat musik saluang atau rabab. Cerita kaba dengan mudah dapat didendangkan karena gaya bahasa yang digunakan dalam kaba adalah bahasa prosa berirama.
Pola kalimat dalam kaba terdiri dari gatra-gatra dengan jumlah suku kata yang relatif tetap. Biasanya masing-masing gatra terdiri atas delapan suku kata, kadang-kadang delapan atau sepuluh. Konsistensi jumlah suku kata itulah yang memungkinkan timbulnya irama di dalam bahasa kaba, seperti halnya metrum yang menimbulkan irama pada sebuah lagu.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaba adalah suatu karya sastra Minangkabau yang diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk sastra lisan yang dapat dilagukan jika diiringi oleh alat musik saluang atau rabab oleh orang tukang kaba. Karena khawatir akan kehilangan budaya lisan ini, dan supaya cerita lisan dapat bertahan dalam perkembangan kemajuan masyarakat maka cerita kaba diwariskan dalam bentuk cetakan.
Semi (1984:27) mengemukakan dua unsur yang membangun fiksi sebagai berikut. Pertama, struktur luar merupakan segala macam unsur yang berada di buat suatu karya sastra dan ikut mempengaruhi kehadiran sastra tersebut. Misalnya, faktor sosial ekonomi, kebudayaan, dan tata nilai yang dianut oleh masyarakat. Kedua, struktur dalam merupakan unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut dari dalam.
Sejalan dengan itu, Muhardi dan Hasanuddin WS (1992-20) menyatakan bahwa fiksi dibangun oleh dua unsur. Pertama, unsur intrinsik, unsur ini terbagi menjadi dua, (1) unsur utama yang menyangkut alur atau plot, penokohan, dan latar atau setting dari ketiga unsur Citra Perempuan dalam tersebut membentuk permasalahan-permasalahan yang intinya disebut tema dan amanat, dan (2) unsur penunjang yang menyangkut gaya bahasa. Kedua, unsur ekstrinsik, terbagi menjadi dua yaitu: (1) unsur utama yang menyangkut imajinatif pengarang dan (2) unsur penunjang yang menyangkut norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, struktur kaba terdiri dari dua macam unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang ada di dalam karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada di luar karya sastra misalnya, nilai-nilai budaya yang ada di Alam Minangkabau.
Kaba pada umumnya tergolong ke dalam cerita pelipur lara, suatu cerita yang pada mulanya mengisahkan peristiwa yang menyedihkan, pengembaraan, dan penderitaan, kemudiaan berakhir dengan kebahagiaan. Hal ini sesuai dengan arti kata kaba itu sendiri. Navis (1984.243) menyatakan bahwa dalam bahasa Sansekerta kaba berarti senda gurau atau pelipur lara. Selain pelipur lara, kaba yang bermula muncul di rantau pesisir menjalar ke darek, yang merupakan pusat kebudayaan Minangkabau. Sampai di Darek, kaba menjadi lebih sempurna sebagai tokoh yang menyampaikan pesan kemuliaan sistem adat. Bahkan tidak kurang pula tokoh ulama dimunculkan sebagai tokoh yang menyampaikan pesan-pesan keagamaan (Navis. 1984.245).
Selanjutnya menurut Junus (1984:18) kaba bertugas untuk mendidik pembacanya bagaimana hidup bermasyarakat dan berbudaya. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaba sebagai karya sastra Minangkabau berfungsi sebagai pelipur lara, hiburan, nasehat, dan sebagai pendidikan moral. Bahkan kaba juga berfungsi untuk menyampaikan pesan adat dan tidak jarang juga berisi pesan agama. Sehingga untuk menemukan apa yang tersirat di dalam kaba tersebut pembaca harus mampu memahami isi cerita kaba tersebut.
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 165) penokohan adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang ditafsirkan pembaca memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Selanjutnya Semi (1984:29) mengemukakan bahwa sebuah penokohan atau karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung. melalui percakapan, melalui ucapan hati, melalui tanggapan hati, melalui tanggapan atas pernyataan langsung atau perbuatan dari tokoh-tokoh lain, dan melalui kiasan serta sindiran.
Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas pengertiannya dari pada tokoh dan perwatakan. Sebab penokohan sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan yang lebih jelas kepada pembaca. Citra adalah gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk (Sugono, 2008:270). Sedangkan citra perempuan adalah gambaran atau ciri khas perempuan. Perempuan yang selalu ditampilkan dalam kerangka hubungan yang sama dan sebanding dengan seperangkat tata nilai yang berakhir pada kedudukan terbawah lainnya yaitu sentimentanitas, perasaan, dan spiritual. Hal ini dapat dilihat dari penilaian perilaku sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan citra perempuan Minangkabau sebagai pribadi dan mendeskripsikan citra perempuan Minangkabau sebagai anggota masyarakat dalam kaba Bujang Piaman jo Puti Payuang Lauik versi Selasih.
Pembahasan
Kaba Bujang Piaman jo Puti Payuang Lauik versi Selasih ini menceritakan tentang masyarakat yang hidup pada zaman tempo dahulu atau masyarakat tradisional. Berdasarkan analisis data mengenai citra perempuan pada tokoh utama perempuan, telah ditemukan dua aspek citra perempuan yaitu citra perempuan sebagai pribadi dan citra perempuan sebagai anggota masyarakat dengan menggunakan teori Kartono tentang Psikologi Wanita.
Menurut teori Kartono Citra perempuan sebagai pribadi terbagi atas empat macam, yaitu citra perempuan penyayang, citra perempuan penyabar, citra perempuan lemah lembut dan citra perempuan yang memiliki orientasi hidup.
Citra perempuan penyayang yang dimiliki tokoh Payuang Lauik dalam kaba Bujang Piaman jo Puti Payuang Lauik versi Selasih tertuju pada orang tuanya, kakaknya, dan kekasihnya. Kata kasih sayang menurut Sugono (2008 1234) adalah perasaan sayang yang diberikan kepada orang yang disayangi Berdasarkan pernyataan tersebut kasih sayang yang dimiliki Puti Payuang Lauik sebagai anak kepada orang tua terlihat pada saat ia berpisah dengan orang tuanya karena melarikan diri dengan Bujang Piaman ke Pariaman.
Perpisahan tersebut membuat Puti Payuang Lauik rindu pada orang tua dan kampung halamannya. Kasih sayang Puti Payuang Lauik sebagai adik kepada kakaknya terlihat ketika Puti Payuang Lauik meninggalkan Istana Parik Batu. la sedih karena berpisah dengan kakaknya Sutan Sari Alam namun, ia juga sadar bahwa pilihan melarikan diri dengan Bujang Piaman adalah pilihan terbaik. Karena ia tidak lagi dibelenggu oleh aturan istana yang menurutnya tidak memajukan kaum wanita. Sedangkan kasih sayang Puti Payuang Lauik sebagai kekasih kepada kekasih, terlihat pada saat Bujang Piaman meragukan kesetiaannya, karena Bujang Piaman tahu bahwa dalam aturan istana tidak boleh menikahi lelaki/perempuan yang bukan keturunan kerajaan.
Setelah mendengar pernyataan itu, Puti Payuang Lauik merasa tidak tega melihat kesedihan Bujang Piaman dan ia berani mengunjungi rumah Buyang Piaman untuk membuktikan cintanya kepada Bujang Piaman. Walaupun sebenarnya ia sudah tahu bahwa tindakan tersebut sudah melanggar adat. Citra perempuan penyabar adalah sifat yang cendrung menerima saja dan memilih pola tingkah laku yang lebih baik mengalah (Kartono, 2007.17). Perasaan sabar yang dimiliki Puti Payuang Lauik dalam kaba BPJPPL versi Selasih ini terlihat ketika Puti Payuang Lauik menahan cobaan yang menimpanya. Cobaan terbesar bagi Puti Payuang Lauik adalah ketika ia dipaksa orang tuanya harus memilih orang yang tidak ia cintai sebagai pendamping hidupnya.
Citra perempuan lemah lembut adalah orang yang mempunyai budi bahasa yang lembut. Menurut Kartono (2007:17), sifat lemah lembut adalah salah satu yang mengukur keindahan psikis perempuan. Dalam kaba BPJPPL versi Selasih ini ditemukan sifat lemah lembut yang dimiliki tokoh Puti Payuang Lauik. Sifat lemah lembut Puti Payuang Lauik terlihat pada saat ia disuruh kembali oleh orang tuanya memilih pendamping hidupnya karena pilihannya yang pertama tidak disetujui oleh keluarga istana. Puti Payuang Lauik berusaha bersikap ramah walaupun pria yang harus ia pilih bukan orang yang ia inginkan. Citra yang memiliki orientasi hidup terlihat dalam kaba BPJPPL versi Selasih pada tokoh Puti Payuang Lauik terlihat disaat kakaknya Sutan Sari Alam menyuruh Puti Payuang Lauik berfikir kembali tentang laki- laki yang sa pilih agar nanti jangan ada penyesalan. Mendengar pernyataan tersebut, Puti Payuang Lauik berkata dengan tegas bahwa pilihannya hanya Bujang Piaman dan tidak ada yang lain.
Sebenarnya ia sudah mengetahui bahwa pilihan ini tidak akan disetujui oleh Citra Perempuan dalam keluarga istana namun, ia bersedia melanggar adat yang dipatuhi oleh keluarga Istana. Karena Puti Payuang Lauik berpendapat bahwa ia tidak akan hidup bahagia dengan orang yang tidak ia cintai. Puti Payuang Lauik menginginkan dalam menjalani hidup tidak selalu dalam kungkungan aturan yang membelenggu. Dia ingin dihargai dan berperan aktif dalam masyarakat. Citra Perempuan sebagai anggota masyarakat dalam kaba BJPPL versi Selasih pada tokoh Puti Payuang Lauik terbagi atas dua bagian, yaitu citra perempuan dalam hubungan dengan keluarga dan lingkungan sekitar dan citra perempuan dalam kepedulian terhadap keluarga lingkungan sekitar.
Citra perempuan dalam hubungan dengan keluarga pada tokoh Puti Payuang Lauik datang mengunjungi orang tuanya di Istana dan ia memperkenalkan kedua anaknya kepada orang tuanya. Sedangkan citra perempuan dalam hubungan dengan lingkungan sekitar terlihat pada saat Puti Payuang Lauik menolak permintaan mertuanya supaya berhenti bekerja karena mereka takut jika nanti Puti Payuang Lauik jatuh sakit. Mendengar pernyataan itu, dengan tersenyum Puti Payuang Lauik berkata bahwa ia tidak ingin dipandang masyarakat sekitar sebagai menantu pemalas dan hanya membanggakan tampang. Jika hal itu terjadi tentu akan membuat hubungannya dengan masyarakat akan retak.
Menurut pendapat Kartono, (2007:277) bahwa hubungan dengan lingkungan yaitu penyesuaian diri dengan lingkungan merupakan tujuan hidup setiap manusia di dunia. Citra perempuan dalam kepedulian terhadap lingkungan/orang lain. Kepedulian adalah sikap perhatian atas penderitaan orang lain (Sugono, 2008:1036). Sesuai dengan kodratnya perempuan diberikan tuhan perasaan yang lebih peka dari pada laki-laki. Kepekaan perasaan itulah yang membuat perempuan lebih mudah tersentuh akan penderitaan orang lain. Dalam kaba BPJPPL versi Selasih ini mencerminkan tokoh Puti Payuang Lauik yang peduli terhadap keluarga dan lingkungannya. Kepedulian Puti Payuang Lauik kepada keluarganya dapat dilihat pada saat ia mengunjungi kedua orang tuanya di Istana. Puti Payuang Lauik meminta pada orang tuanya untuk merahasiakan kedatangannya di Istana pada masyarakat sekitar.
Jika masyarakat mengetahui hal tersebut maka rahasia selama ini akan terbongkar dan nama baik kerajaan akan tercemar. Sedangkan kepedulian Puti Payuang Lauik pada lingkungan sekitar dapat dilihat ketika ia mengajarkan gadis-gadis atau teman sebayanya yang datang kerumahnya mempelajari ilmu yang ia dimiliki. Dengan senang hati Puti Payuang Lauik mengajarkannya mulai dari ilmu baca al-quran, menjahit, dan masak-memasak. Puti Payuang Lauik berpendapat bahwa sebagai seorang perempuan kita harus memiliki keahlian agar hidup mandiri dan tidak selalu tergantung pada lelaki. Dalam kaba BPJPPL versi Selasih ini, secara umum tokoh Payuang Lauik sangat baik karena ia memiliki kedua aspek citra perempuan yaitu citra perempuan sebagai pribadi dan citra perempuan sebagai anggota masyarakat. Hal ini sudah mencerminkan tokoh perempuan yang diidealkan. Perempuan merupakan tiang kokoh dalam rumah tangga dan masyarakat. la berfungsi memberikan arahan dan pengaruh besar bagi generasi muda.
Dalam kaba Bujang Piaman jo Puti Payuang Lauik versi Selasih ditemukan dua aspek citra perempuan yang dimiliki oleh tokoh Puti Payuang Lauik. Data tersebut ditemukan dengan menggunakan teori Kartono tentang psikologi wanita. Berdasarkan data yang ditemukan maka, tokoh Puti Payuang Lauik secara umum sudah dinilai sebagai tokoh yang sangat baik dan sudah termasuk sosok perempuan ideal karena ia telah memiliki citra perempuan sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat.¹
Bersambung…
Akan terbit:
Minangkabau Dalam Kaba Cindua Mato
¹https/media neliti.com/media/publications/117437-ID-citra-perempuan-minangkabau-dalam-kaba-b.pdf
Referensi sebelumnya: