Budaya Lapau di Minangkabau
Oleh: Khairunnisa Nabila
Mahasiswa Universitas Andalas Jurusan Sastra Minangkabau
Sebelum pesat perkembangan zaman dan mempengaruhi interaksi sosial masyarakat Minangkabau, Minangkabau memiliki forum publik yang paling demokratis di dunia, di Minangkabau ada budaya unik bernama “lapau” yang menjadi permata budaya tak ternilau.
Lapau bukan hanya sekedar warung kopi atau tempat berbelanja kebutuhan harian, tapi merupakan tempat diskusi bebas dari urusan adat, politik, sampai ekonomi, “lapau” berarti kedai atau warung kecil. Namun, makna lapau jauh melampaui definisi fisik sebuah bangunan.
Pada awalnya orang-orang cuma menjadikan lapau sebagai tempat singgah buat lepas penat tapi lama-kelamaan lapau beralih menjadi pusat info dan debat seru mulai dari harga dagangan, gosip pasar, semuanya dibahas tanpa hujung.
Disana semua orang boleh bicara tua muda setara, asal pakai akal dan norma adat. Sehingga ini menjadi salah satu warisan budaya Minangkabau yang memiliki makna dan fungsi sosial yang mendalam.
Dalam lapau, nilai-nilai demokrasi, silaturahmi, musyawarah, dan pendidikan informal hidup berdampingan. Uniknya lapau identik dengan kaum laki- laki karena sistem matrilineal suami tidak bisa bebas di rumah istri pemuda tidur di surau atau merantau. Jadi kalau mereka lagi tidak ada kerjaan, mereka ngobrol di lapau, bercanda adu argumen sampai lupa waktu. Di sinilah konsep “balapau” atau kebiasaan pergi ke lapau menjadi sebuah ritual harian yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Budaya balapau juga menjadi semacam sarana untuk menjaga hubungan sosial masyarakat. Di lapau, isu-isu yang mungkin sensitif dalam forum resmi bisa dibahas lebih terbuka. Banyak keputusan tidak tertulis di masyarakat yang sejatinya bermula dari percakapan santai di lapau. Bahkan, persoalan antar warga bisa diredam atau diselesaikan sebelum sampai ke jenjang hukum atau lembaga adat, karena sudah terlebih dahulu dibicarakan dan dimediasi secara informal di lapau.
Bayangkan sebuah tempat di mana aroma kopi bercampur dengan asap rokok, diiringi obrolan riuh yang tak pernah henti. Itulah lapau. Dalam konteks Minangkabau, lapau berfungsi sebagai pusat informasi informal. Kabar terbaru dari desa tetangga, semuanya didiskusikan dan disebarkan di lapau. Peran lapau sebagai media informasi ini sangat krusial, terutama di era sebelum televisi, radio.
Masyarakat bergantung pada lapau untuk tetap terhubung dan mengetahui perkembangan di sekitar mereka. Setiap orang berhak untuk bicara, menyampaikan pendapat, dan mengemukakan argumen. Tak ada yang membatasi. Tua muda, laki-laki dan perempuan (meski mayoritas pengunjung lapau adalah laki-laki, perempuan juga sesekali hadir), kaum adat, pemuka agama, petani, pedagang, semuanya memiliki kedudukan yang setara dalam sebuah diskusi di lapau.
Meskipun diskusi berlangsung bebas, tetap ada etika dan kepatutan yang harus dijunjung tinggi. Argumen harus disampaikan secara logis dan menghormati nilai-nilai adat. Batasan ini justru memperkuat kualitas diskusi di lapau, mendorong setiap individu untuk berpikir kritis dan menyampaikannya sesuatu dengan benar adanya.
Di luar fungsi lapau yang informatif, dulunya lapau sebagai pusat silaturahmi. Bagi masyarakat Minangkabau yang sangat menjunjung tinggi ikatan kekerabatan dan persaudaraan, lapau adalah tempat ideal untuk bertemu, berbagi cerita, dan mempererat tali persaudaraan.
Pertemuan tak sengaja di lapau bisa berujung pada penyelesaian masalah pribadi, atau bahkan perjodohan. Tak hanya menjadi tempat bersua, lapau juga menjadi lokasi pembelajaran kehidupan.
Seorang anak muda bisa duduk diam mendengar percakapan orang tua di lapau dan belajar tentang adat, sejarah, atau nilai-nilai sosial yang tidak diajarkan secara formal. Lapau dengan segala kesederhanaannya menciptakan atmosfer belajar yang santai namun mendalam.
Jaringan sosial yang terbentuk di lapau sangatlah kuat. Dari sinilah lahir solidaritas yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Ketika ada salah satu anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan, kabar berita akan cepat menyebar di lapau hingga terbentuk gerakan tolong-menolong antar sesama. Ini adalah bentuk nyata seperti pepatah Minang “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat) yang menjadi filosofi hidup orang Minangkabau.
Seiring dengan gelombang modernisasi dan lahirnya jaringan internet dan media sosial, peran lapau sebagai forum publik mulai memudar. Generasi muda kini lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya, mencari informasi dan berinteraksi melalui platform digital. Karena di pengaruhi dengan mudahnya penggunaan aplikasi digital zaman sekarang, diskusi-diskusi yang dulu ramai di lapau kini berpindah ke Facebook, Grup WhatsApp, Aplikasi Zoom Meating. Bahkan berbelanja pun tidak banyak waktu yang di butuhkan, dahulunya kita harus mengunjungi beberapa warung atau toko untuk mencari suatu barang, kini hanya penggunakan HP milik pribadi dan membuka aplikasi berbelanja seperti Shoope, Tiktok Shop, GoFood kita dapat berbelanja lebih mudah, membeli keperluan, makanan dengan banyak pilihan bentuk menarik yang disajikan. Pembelian dengan mengunakan sistem COD (Cash On Delivery) barang yang di pesan akan di antarkan sampai rumah pembeli dengan tepat waktu.
Meski demikian, lapau belum sepenuhnya hilang. Di beberapa pelosok nagari, lapau masih tetap eksis, meskipun dengan dinamika yang berbeda. Peran lapau sebagai tempat bersilaturahmi dan berkumpulnya para tetua masih terjaga. Namun, intensitas diskusi yang mendalam dan partisipasi yang luas seperti di masa lalu, memang terasa berkurang.
Lapau memberikan pelajaran bahwa komunikasi yang sehat membutuhkan ruang yang terbuka namun beretika. Masyarakat Minangkabau telah menunjukkan bahwa demokrasi tidak harus datang dari sistem politik formal ia bisa tumbuh dari ruang-ruang kecil yang hidup dalam budaya, seperti lapau.
Melihat kembali kejayaan lapau di masa lalu, kita bisa belajar banyak tentang kebebasan berpendapat, dan pentingnya ruang publik.
Di tengah hiruk-pikuk informasi di era digital, model lapau mengingatkan kita akan nilai-nilai interaksi tatap muka, diskusi yang berkualitas. Penting bagi kita untuk menjaga dan menghidupkan kembali Tradisi balapau, setidaknya dalam bentuk yang relevan dengan masa kini. Mungkin bukan lagi dalam wujud fisik yang sama persis, tetapi semangatnya, semangat diskusi yang bebas dan bertanggung jawab, semangat silaturahmi yang tulus, dan semangat demokrasi yang tumbuh dari akar.
Lapau adalah warisan berharga yang harus kita lestarikan, sebagai pengingat akan kekayaan budaya dan kearifan lokal Minangkabau.