Apakah Permintaan Maaf Tersebut, Tulus dari Hati Kecil(?) Ataukah Hanya Suatu Kebiasaan Saja yang Telah Menjadi Tradisi(?)

OPINI dan ARTIKEL1026 Dilihat

Apakah Permintaan Maaf Tersebut, Tulus dari Hati Kecil(?) Ataukah Hanya Suatu Kebiasaan Saja yang Telah Menjadi Tradisi(?)

 

“Andai ado salah kecek ataupun salah sabuik, maaf dipinto kapado nan rami. Kok tagisia ka-naiak, talendo katurun, mohon dimaafkan pulo”

 

Maaf gadang harago, rilah gadang faedah…

 

Aah… Penulis jadi ingat tentang bulan Ramadhan. Baik diawal maupun akhir Ramadhan hingga separo bulan Syawal…

 

Perkataan itu akan sering kita dengar, baik secara lisan maupun tertulis, seiring perjalan dan kecanggihan teknologi.

 

Masih ingat oleh penulis, dahulunya secara tertulis berupa kartu ucapan yang dikirimkan melalui Pak Pos, kalaupun langsung akan diberikan oleh si peminta maaf dalam bentuk parcel dan diselipi kartu tersebut disela sirup, aneka kue, kopiah, cokelat dan lainnya…

 

Ada juga dalam bentuk tulisan kecil yang disertai dengan kartu pos berupa wesel, dimana sang penerima akan diberikan oleh petugas pos, berupa sobekan kecil yang sudah ada garis-garis yang mudah disobekkan. (Tulisan ucapan disertai kiriman uang, Akhirnya disebut THR).

 

Nah…diwaktu itu (dimasa itu) pada umumnya masyarakat wajib hapal betul nomor kode pos, untuk daerahnya masing-masing. Kalau generasi sekarang, penulis rasa tidak seberapa yang mengetahui kode pos tersebut. (Lebih hapal dengan nomor WhatsApp ataupun akun sosmed, padahal kode pos ini di zaman dahulu adalah sangat penting setelah tanggal lahir).

 

Seiring perjalanan waktu dan perkembangan teknologi, permintaan maaf bisa dikirimkan melalui smartphone dengan tambahan gambar ataupun video pendukung.

 

Dalam hal ini, penulis hanya menyoroti permintaan maaf akan memasuki dan penutup bulan suci Ramadhan, hingga pertengahan bulan Syawal.

 

Tanpa saling kenal pun, disetiap pertemuan ataupun grub-grub di sosial media, akan terlontar perkataan tersebut. Yang intinya “mohon maaf lahir dan batin”.

 

Cuma… Pertanyaannya apakah permintaan maaf tersebut, tulus dari hati kecil(?) Ataukah hanya suatu kebiasaan saja yang telah menjadi tradisi(?).

Wallahu alam…

 

Aah… Andai itu suatu tradisi… Apakah itu tidak mempermainkan kata-kata terhadap sipenerima salam , ataupun kepada tuhan yang maha mengetahui apa yang tersembunyi didalam hati?

 

Didalam adat Minangkabau memang ada pernyataan “Maaf gadang harago, Rilah gadang faedah” dan diiringi suatu pepatah lagi “Salah manyambah, hutang babayia” dan akhirnya satu kata yang sangat berharga “Samo-samo babaruikan kamuko”.

 

Samo-samo babaruikan ka Muko adalah puncak tertinggi, karena penulis rasa, itu adalah yang paling tinggi dan saling mengenal diri. Karena manusia adalah makhluk yang tidak luput dari salah dan khilaf.

Dalam ilmu makrifat juga dikenal “siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal sang penciptanya”. Ini adalah tingkat tertinggi dalam ilmu makrifat, menurut penulis. Karena jarang sekali orang yang mengenali dirinya.

 

Aahh… Kita hanya manusia, penulis juga manusia yang memiliki salah dan dosa, baik kepada sesama manusia, sesama makhluk bahkan bersalah dan berdosa kepada sang maha pencipta…

 

Semoga tetap dalam do,a selamat di dunia dan di akhirat, tetap dalam tuntunan NYA. Mati dalam Husnul khatimah dan dikumpulkan dalam surgaNYA.

Aamiin…

 

 

Penulis: iing chaiang

Agam, 2 September 2024.

Catatan: Gambar hanya pemanis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *