Ketika Bendera Bajak Laut Berkibar di Negeri yang Merdeka
Pada satu momen yang viral dan mengusik nalar bangsa, tampak sekelompok anak muda mengibarkan bendera Jolly Roger, simbol bajak laut dalam serial anime populer “One Piece” di tempat yang seharusnya sakral bagi bangsa ini yakni tiang bendera di lembaga atau tempat umum. Tidak sedikit yang mencemooh, mengaitkannya dengan keluguan generasi muda atau sekadar “gaya-gayaan anak Gen Z.” Namun di balik tawa dan cibiran itu, ada pertanyaan besar dan mendalam, kenapa mereka lebih memilih mengibarkan bendera bajak laut ketimbang Merah Putih?
Opini ini bukan sekadar ingin menyalahkan para pelaku atau membela mereka. Justru sebaliknya, tulisan ini mengajak kita masuk lebih dalam ke akar masalah bukan hanya soal simbolik bendera, tetapi menyentuh ke luka kolektif bangsa, ketimpangan pengelolaan negeri, dan makna kemerdekaan yang kian kosong dari substansi.
Bendera Bajak Laut dan Tanda Krisis Simbolik
1. Bukan Sekadar One Piece, Bendera Itu Berbicara
Bendera Jolly Roger dalam dunia “One Piece” adalah simbol petualangan, pemberontakan terhadap sistem yang korup, dan pencarian kebebasan sejati. Di dalam cerita, para bajak laut bukan semata-mata penjarah laut, tapi banyak di antara mereka adalah sosok yang melawan rezim otoriter, pemerintah dunia yang zalim, dan memperjuangkan keadilan dalam caranya sendiri.
Ketika anak muda hari ini lebih terkoneksi dengan Luffy dan kawan-kawan, ketimbang tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno atau Tan Malaka, itu adalah indikasi krisis ideologis dan keterputusan sejarah bangsa. Mereka tidak merasa terhubung dengan “bangsa” karena narasi bangsa itu sendiri telah digembosi oleh kebijakan formalistik, pendidikan tanpa jiwa, serta teladan pemimpin yang mencederai semangat kebangsaan.
2. Ketika Bendera Merah Putih Tak Lagi Membakar Semangat
Merah Putih, dalam makna terdalamnya, adalah simbol perjuangan darah dan nyawa rakyat. Namun ketika simbol itu hanya tinggal rutinitas upacara, gaya-gayaan lomba 17-an, dan bahkan diseret dalam politik praktis yang kotor, maka wajar bila generasi muda merasa tidak punya koneksi emosional dan ideologis terhadapnya.
Di sinilah kesalahan besar dalam mengelola makna kemerdekaan dimana kita mewariskan simbol tanpa makna, upacara tanpa ruh, dan nasionalisme tanpa perjuangan nyata.
Gagalnya Pengelolaan Negeri: Antara Oligarki, Hipokrisi, dan Bangsa yang Dikhianati
1. Negeri dalam Cengkraman Oligarki dan Demokrasi Kosong
Jika kita mau jujur, Indonesia hari ini bukanlah republik rakyat, tapi republik para pemodal dan oligarki. Pemilu dikendalikan oleh logika kapital, kebijakan lahir dari lobi dan akomodasi elite, bukan dari hasil dialektika rakyat. Kaum muda menyadari ini. Mereka tidak bodoh, hanya tidak ingin pura-pura bahwa negeri ini baik-baik saja.
Ketika rakyat miskin diminta taat hukum, sementara koruptor mendapat potongan hukuman dan hidup mewah di penjara, bagaimana mungkin generasi muda bisa mempercayai negara?
Ketika tanah adat dirampas untuk tambang, hutan dibakar atas nama investasi, dan hak-hak rakyat dikorbankan demi proyek-proyek mercusuar, apa yang bisa dibanggakan dari kemerdekaan ini?
2. Hipokrisi Pemimpin dan Rusaknya Teladan Bangsa
Pemimpin hari ini lebih banyak jadi manajer kekuasaan, bukan pendidik ideologi rakyat. Mereka tampil di media sosial, melempar jargon nasionalisme, tapi berkawan erat dengan korporasi asing. Anak muda melihat itu, dan merasa bahwa negara ini bukan milik mereka lagi.
Sistem pendidikan yang sekadar mengejar skor, guru yang kehilangan idealisme, dan kurikulum yang tak menyentuh realitas kehidupan, semua ini membuat generasi muda lebih tertarik dengan dunia imajinatif seperti One Piece, yang justru menghadirkan nilai-nilai keberanian, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Membaca Ulang Makna Kemerdekaan: Dari Nasionalisme Simbolik ke Nasionalisme Kritis
1. Nasionalisme yang Membebaskan, Bukan Membelenggu
Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajah asing, tetapi juga dari penjajahan sistemik, ketimpangan ekonomi, kebodohan struktural, dan penindasan oleh elite dalam negeri sendiri. Maka, nasionalisme hari ini harus bersifat kritis, bukan sekadar ritualistik.
Kita tidak boleh lagi puas dengan menyanyikan lagu kebangsaan, memasang bendera, atau mengucap “NKRI harga mati.” Nasionalisme yang otentik adalah ketika kita:
a. Melawan korupsi yang merampok masa depan anak bangsa.
b. Menolak privatisasi sektor vital seperti air, pendidikan, dan kesehatan.
c. Membangun kedaulatan pangan dan energi.
d. Memastikan bahwa tanah, laut, dan hutan bukan alat akumulasi segelintir orang.
2. Bangkit dari Surau, Lapau, dan Kampus, Membangun Kesadaran Baru
Kita butuh ruang-ruang ideologis baru, bukan hanya di parlemen atau layar kaca, tapi di lapau rakyat, surau perjuangan, kampus yang kritis, dan organisasi rakyat yang tidak ditundukkan kekuasaan. Kesadaran nasionalisme kritis ini harus menjadi proyek ideologis kolektif.
Kemerdekaan sejati hanya akan hadir jika kita kembali pada semangat “kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan persaudaraan sebangsa” bukan sekadar semboyan kosong, tetapi sebagai arah gerak politik rakyat.
Tanggung Jawab Intelektual dan Gerakan Ideologis
1. Peran Intelektual Organik, Dari Kampus ke Lapangan
Dalam konteks Gramsci, kita membutuhkan “intelektual organik” mereka yang tidak hanya pandai teori, tetapi membawa ilmu untuk membebaskan rakyat. Setiap dosen, aktivis, mahasiswa, jurnalis, dan agamawan mesti bertanya apakah kita sedang membela rakyat atau justru menyesatkan mereka?
Kita tidak bisa lagi netral di tengah ketidakadilan. Netralitas di tengah penindasan adalah keberpihakan kepada penindas. Maka, perlawanan ideologis dan kultural harus dimulai di kelas, di media sosial, di warung kopi, bahkan di tengah pasar.
2. Memaknai Kembali Kemerdekaan Sebagai Sebuah Jalan Panjang
Kemerdekaan bukan tanggal 17 Agustus yang dirayakan tiap tahun. Kemerdekaan adalah perjuangan harian melawan kezaliman sistemik, kebodohan yang dilestarikan, dan politik yang mengkhianati rakyat.
Maka, mengibarkan bendera One Piece bukan semata-mata tindakan iseng. Ia adalah bentuk protes simbolik terhadap negara yang mengabaikan cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Jalan Keluar dan Rekomendasi Perjuangan
1. Pendidikan Kritis dan Gerakan Rakyat
Negara harus berhenti memperlakukan generasi muda seperti anak kecil. Berikan ruang diskusi terbuka, pendidikan yang menyentuh realitas, dan biarkan mereka tumbuh sebagai pemikir dan pejuang. Kurikulum harus dirombak agar tidak jadi alat penjinak.
Gerakan rakyat harus menyatu, petani, buruh, mahasiswa, ulama, dan intelektual harus membangun aliansi ideologis. Tidak cukup dengan tuntutan teknis, kita butuh narasi besar tentang Indonesia yang berdaulat, adil, dan merdeka secara hakiki.
2. Kembali ke Ruh Proklamasi, “Merdeka” Sebagai Titik Awal Perjuangan
Proklamasi 1945 adalah titik tolak, bukan titik akhir. Kalimat “kami bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan” harus dibaca sebagai ikrar abadi untuk terus melawan semua bentuk penjajahan, termasuk penjajahan internal dari elite pengkhianat.
Kemerdekaan yang sesungguhnya baru akan lahir saat anak muda tidak lagi merasa lebih terwakili oleh bendera fiksi bajak laut, tetapi merasa bangga dan terhubung secara spiritual, historis, dan ideologis dengan Merah Putih yang bukan karena doktrin, tapi karena keadilan memang hidup di baliknya.
Antara Simbol dan Substansi
Maka pertanyaan “kenapa bendera One Piece dikibarkan?” bukan pertanyaan anak-anak. Ia adalah jeritan diam dari generasi yang kecewa, terluka, dan merasa kehilangan makna bangsa. Kita boleh marah, tapi kemarahan itu seharusnya diarahkan kepada sistem dan elite yang membuat Merah Putih kehilangan martabatnya.
Kita harus memaknai kembali kemerdekaan dengan jalan ideologis, bukan sekadar retorika patriotik. Karena tanpa keadilan, kemerdekaan hanyalah mitos, dan tanpa ruh perjuangan, Merah Putih hanya kain tanpa makna.
Wallahu’alam,
Oleh Ardinal Bandaro Putiah
Ketua III PB Pemuda Muslimin Indonesia
Matraman, 04 Agustus 2025