Mengenal Sekilas Hj. Fatmawati Soekarno Pembuat Bendera Pertama yang Dikibarkan Oleh Indonesia

Sejarah324 Dilihat

Mengenal Sekilas Hj. Fatmawati Soekarno Pembuat Bendera Pertama yang Dikibarkan Oleh Indonesia

(Fatimah/ The First Lady)

 

Lahir : Bengkulu, Hindia Belanda 5 Februari 1923 M

Ibu Negara Indonesia ke-1 : 17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967 M.

Penjahit Bendera Merah Putih.

Istri ke – 3 Presiden Soekarno.

Gelar Pahlawan Nasional : Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.

Orang Tua : ♂️Hasan Din, ♀️Siti Chadijah.

Suami : ♂️Dr. (H.C.) Ir. H. Soekarno.

Anak : ♀️Megawati Soekarnoputri, ♂️Guntur Soekarnoputra, ♀️Rachmawati Soekarnoputri, ♀️Sukmawati Soekarnoputri, ♂️Guruh Soekarnoputra.

Wafat : Kuala Lumpur, Malaysia 14 Mei 1980 M.

Makam : Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jl. Karet Pasar Baru Barat, Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10250.

 

Keterangan: 

 

Fatmawati (5 Februari 1923 – 14 Mei 1980) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Sebagai Ibu Negara Indonesia pertama, ia adalah istri ketiga dari presiden pertama Indonesia, Sukarno, dan ibu dari presiden perempuan pertama Indonesia, Megawati Sukarnoputri. Ia membuat bendera pertama yang dikibarkan oleh Indonesia.

 

Kehidupan

 

Fatmawati lahir pada tanggal 5 Februari 1923 di Bengkulu dari pasangan Hasan Din dan Chadijah. Salah satu leluhurnya adalah seorang putri dari kerajaan Minangkabau , Kesultanan Inderapura. Ketika bertemu dengan Sukarno, dia masih remaja dan Sukarno telah menikah dengan seorang wanita berusia 53 tahun bernama Inggit Garnasih. Tidak mengherankan, istri Sukarno tidak mau melepaskan suaminya, tetapi setelah dua tahun, Inggit setuju untuk bercerai. Sukarno merasionalisasi kebutuhan akan istri barunya dengan menyatakan keinginannya untuk memiliki anak untuk meneruskan namanya.

 

Berasal dari Keluarga Muhammadiyah

 

Meskipun gerak dakwah Muhammadiyah di Sumatera secara resmi baru ditetapkan pada 1925 melalui pendirian Cabang Muhammadiyah pertama di Maninjau oleh AR Sutan Mansur, secara kultural dakwah Muhammadiyah ditengarai telah sampai di pulau Sumatera beberapa tahun sejak kelahirannya pada 1912 di Yogyakarta.

 

Salim dan Hardiansyah dalam Napak Tilas Jejak Muhammadiyah Bengkulu (2019) mencatat secara kronik, jejak kultural dakwah progresif yang kelak menjadi cikal bakal Muhammadiyah telah sampai di Bengkulu pada 1915 oleh para pendakwah Islam dari Minangkabau.

 

Saat Fatmawati lahir pada 5 Februari 1923, Muhammadiyah belum memiliki cabang resmi di luar Jawa. Tetapi, antara tahun tersebut hingga 1925 saat kedatangan pendiri Sarekat Ambon Alexander Jacob Patty di Bengkulu untuk menjalani masa pembuangannya, ditengarai sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi pergerakan di Bengkulu.

 

Ancaman Belanda pada Keluarga

Dalam otobiografi Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1985) Muhammadiyah ketika itu langsung memanfaatkan kehadiran AJ Patty untuk turut berkiprah dalam pengembangan pendidikan Muhammadiyah—yang kemudian segera dianggap oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai ancaman.

 

Keputusan Muhammadiyah Bengkulu itu mengakibatkan ayah Fatmawati, Hassandin—yang merupakan pegawai perusahaan lima besar Belanda bernama Borsumy (Borneo-Sumatera Maatschappij) sekaligus menjabat sebagai sekretaris Muhammadiyah—dituntut oleh pemerintah kolonial untuk memilih satu di antara dua pilihan: keluar dari Borsumy atau menghentikan kegiatannya di Muhammadiyah yang seringkali konfrontatif terhadap pemerintah melalui rapat atau arak-arakan yang berujung di kantor polisi.

 

Suasana tanah air pada 1923-1930 yang subur oleh pergerakan nasional membuat Hassandin tidak berpikir panjang untuk keluar dari zona nyaman menjadi pegawai Borsumy dan memulai hidup dengan pendapatan tak menentu atas keputusannya untuk tetap berkhidmah pada Muhammadiyah sebagai jalur perjuangan kemerdekaan.

 

Tak kalah dengan Hassandin yang terkenal militan pada Muhammadiyah, ibu Fatmawati—Siti Jubaidah aktif di dalam ‘Aisyiyah guna memberikan ketrampilan atau mengajar baca tulis.

 

Saat Fatmawati menginjak usia remaja, baik Hassandin maupun Siti Jubaidah telah menjabat sebagai konsul Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Oleh keduanya, Fatmawati selalu dilibatkan dalam konferensi Muhammadiyah yang digelar setiap tahun untuk menyanyi atau membaca Al-Qur’an.

 

Mengawal Sang Saka Revolusi

 

1 Juni 1943 Fatmawati bersama kedua orangtuanya mulai tinggal di Jakarta. Mereka tinggal di kediaman Kiai Mas Mansyur hingga pekan kedua sebelum berpindah ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56.

 

Tinggal di sana, Fatmawati mulai menjalani hidup sebagai istri pejuang revolusi. Dirinya mulai berkenalan dengan berbagai tokoh nasional seperti Hatta, Radjiman, Ki Hadjar Dewantoro, Syahrir hingga para perwira tinggi kemiliteran Jepang yang dekat dengan Soekarno seperti Jenderal Yamamoto dan Laksamana Maeda.

 

Fatmawati mencatat saat usia kandungan anak pertamanya—Muhammad Guntur Soekarno Putra—berusia sembilan bulan di antara Oktober-November tahun 1944, seorang perwira Jepang datang ke rumahnya membawa dua macam kain sesuai warna bendera Jepang, merah dan putih, yang segera ia jahit sebagai bendera yang kelak dikenal sebagai bendera Indonesia.

 

Menjadi istri sang proklamator, Fatmawati menjadi saksi pidato lahirnya lima sila (Pancasila) oleh suaminya, Soekarno dalam sidang PPPK (Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) Indonesia pada 1 Juni 1945.

 

Saat momentum kemerdekaan dirasakan sudah dekat, tepatnya dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Fatmawati, Soekarno dan Muhammad Guntur Soekarno Putra yang masih bayi diamankan oleh para pemuda selama dua hari di Rengasdeklok.

 

Setelah melalui perjalanan berliku, akhirnya Indonesia mendapatkan momentum memproklamirkan Kemerdekaan pada hari Jum’at bulan Ramadhan 17 Agustus 1945. Bendera yang dijahit oleh Fatmawati lebih dari delapan bulan sebelumnya akhirnya dikibarkan untuk pertama kali diiringi lagu Indonesia Raya karya W.S Supratman.

 

Pertemuan Soekarno dan Fatmawati

 

Fatmawati bertemu dengan Bung Karno dimulai tahun 1938. Saat itu, Bung Karno dipindahkan oleh Kolonial Belanda dari Pengasingan di Ende (Flores) ke Bengkulu.

 

Bersamaan itu, keluarga Hasan Din pindah ke Bengkulu setelah 3 (tiga) tahun tinggal di Curup. Kepindahan ini karena hasrat Hasan Din untuk mengenal lebih dekat pada Bung Karno yang sangat dikaguminya itu.

 

Bung Karno ketika di Bengkulu aktif di Persyarikatan Muhammadiyah, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Bagian Pengajaran. Dalam melaksanakan kegiatannya di Muhammadiyah inilah maka persahabatan keluarga Hasan Din dan Bung Karno semakin akrab.

 

Mereka saling berkunjung dan Fatmawati sering diajak ayahnya untuk bersilaturahmi dengan Bung Karno. Pada masa itu, Bung Karno ditemani istrinya bernama Inggit Garnasih, wanita berasal dari Bandung dan anak angkatnya bernama Ratna Juami.

 

Seperti disebut, Fatmawati adalah sosok aktivis perempuan yang telah mempelajari hukum, filsafat, hingga gender dalam perspektif Islam. Karena itu, Fatmawati kerap diajak berdiskusi. Dari saling silaturahmi yang semakin akrab inilah, lama kelamaan Bung Karno tertarik pada Fatmawati.

 

Nikah dengan Soekarno dan Dianugerahi 5 Anak

 

Kemudian Bung Karno ingin memperistri Fatmawati. Namun Fatmawati berkeberatan karena Bung Karno telah beristri Inggit Garnasih. Sedangkan Inggit Garnasih yang telah menikah 18 tahun belum ada tanda-tanda hamil.

 

Dalam perkembangannya dengan berbagai pertimbangan, Fatmawati menerima lamaran Bung Karno dengan syarat tidak mau dimadu. Maka secara baik-baik, Inggit diceraikan dan diserahkan kepada orang tuanya di Bandung. Akhirnya Fatmawati menikah dengan Bung Karno di Bengkulu tanggal 1 Juni 1943.

 

Sebagai istri seorang pejuang, Fatmawati mendampingi Bung Karno yang sedang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Fatmawati telah dikaruniai putra pertama yang diberi nama Guntur yang kemudian dikenal dengan Guntur Soekarnoputra.

 

Para petinggi Jepang saat itu menyambut gembira atas kelahiran putra pertama itu. Bahkan Jenderal Yamamoto menyebut Guntur dengan nama Osamu. Saat itu, Fatmawati menyaksikan bendera Merah Putih berkibar pertama kali di bumi pertiwi. Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati.

 

Ketika secara resmi Bung Karno diangkat sebagai Presiden RI yang pertama, maka otomatis Fatmawati menjadi Ibu Negara yang harus mendampingi Bung Karno dalam berbagai kegiatan resmi kenegaraan.

 

Dari pernikahan keduanya, lahirlah lima anak, yakni Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra. Fatmawati meninggal dunia pada 14 Mei 1980.

 

Kisah menjahit bendera

 

Setahun setelah pernikahannya itu, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah Putih juga boleh dikibarkan dan lagu Kebangsaan Indonesia Raya diizinkan berkumandang. Ibu Fatmawati kemudian berfikir bahwa memerlukan bendera Merah Putih untuk dikibarkan di Pegangsaan 56. “Pada waktu itu tidak mudah untuk mendapatkan kain merah dan putih di luar,” tulis Chaerul Basri dalam artikelnya “Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi” yang dimuat di Harian Kompas, 16 Agustus 2001. Barang-Barang bekas impor, semuanya berada di tangan Jepang, dan kalau pun ada di luar, untuk mendapatkannya harus dengan berbisik-bisik,” tulisnya.

 

Berkat bantuan Shimizu, yang merupakan orang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia. Ibu Fatmawati akhirnya mendapatkan kain merah putih. Shimizu mengusahakannya lewat seorang pembesar Jepang, yang memimpin gudang di Pintu Air, di depan eks Bioskop Capitol. Bendera itulah yang berkibar di Pegangsaan Timur saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

 

Ibu Fatmawati menghabiskan waktunya untuk menjahit bendera itu dalam kondisi fisiknya cukup rentan. Pasalnya, Ibu Fatmawati saat itu sedang hamil tua dan sudah waktunya untuk melahirkan putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra. Tak jarang ia menitikkan air mata kala menjahit bendera itu. “Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih, saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja, sebab Dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit.” kata Ibu Fatmawati dalam buku yang ditulis oleh Bondan Winarno.

 

Kehidupan Cinta Fatmawati

 

Sebagai Ibu Negara, Fatmawati dikenal sebagai seseorang yang berperan dalam mendukung kemajuan perempuan. Ia aktif dalam kegiatan sosial mulai dari pemberantasan buta huruf, mendorong kegiatan kaum perempuan dari segi pendidikan dan ekonomi.

 

Kendati demikian, menjadi istri seorang Presiden Indonesia tak serta merta membuat kehidupan Fatmawati lantas berjalan mulus begitu saja.

 

Bung Karno beberapa kali menjatuhkan hati pada perempuan lain. Bahkan, Fatmawati sempat keluar dari Istana Negara karena hal tersebut.

 

Fatmawati Menjadi Pahlawan Nasional

 

Ujian berat Fatmawati dan Soekarno justru dimulai setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia diuji secara berat di tengah-tengah peperangan hingga selesainya Agresi Militer II pada akhir tahun 1948.

 

Setelah kelahiran anak kelimanya, Mohammad Guruh Soekarno Putra, Fatmawati berpisah dengan Soekarno seiring berita bahwa Soekarno hendak memperistri Hartini. Fatmawati setia pada janjinya bahwa perempuan Muhammadiyah tidak mau dipoligami.

 

Dihimpun kembali oleh iing chaiang

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *