Sekilas Sejarah Syaikh Ahmad Khathib al-Minangkabawi

Sejarah549 Dilihat

Sekilas Sejarah Syaikh Ahmad Khathib al-Minangkabawi

 

(Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdul Rahman bin Imam Abdullah bin Tuanku Abdul Aziz)

 

Lahir : Balai Gurah, kecamatan IV Angkek, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, 26 Juni 1860 M.

Nama lain : Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Minangkabawi al-Jawi al-Makki asy-Syafi’i al-Asy’ari.

Imam Masjidil Haram Asal Minangkabau.

Orang Tua : ♂️Abdoel Latif Chatib, ♀️Limbak Oerai.

Saudara : ♂️Balun Banamo, ♀️Kalasoen, ♂️Joenoes, ♀️Aisjah, ♂️Mahmoed, ♀️Hafsah, ♀️Syafiah.

Istri : ♀️Khadijah, ♀️Fathimah.

Anak : ♂️Abdoel Karim Al Khatib, ♂️Abdoel Malik Al Khatib, ♂️Khadijah, ♂️Abdoel Hamid Al Khatib.

Wafat : Mekkah, Arab Saudi 13 Maret 1916 M.

Makam : Jannatul Mualla, 8464 Al Masjid Al Haram Rd, 4558, As Sulaymaniyyah, Makkah 24231, Arab Saudi.

 

Keterangan: 

 

Syaikh Ahmad Khathib al-Minangkabawi (26 Juni 1860 – 9 Oktober 1915) adalah seorang ulama Indonesia asal Minangkabau, ia dikenal terutama karena pernah menjadi Imam Besar di Masjidilharam dan guru dari banyak pemimpin reformis Islam Indonesia, termasuk Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Sulaiman Ar-Rasuli, pendiri PERTI.

 

Asal Usul Keluarga

 

Ahmad Chatib dilahirkan di Koto Tuo, Ampek Angkek tanggal 6 Mei 1860. Ayahnya bernama Abdullatif gelar Khatib Nagari yang berasal dari Koto Gadang. Abdullatif ini merupakan saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto yang menjabat sebagai Tuanku Lareh di Koto Gadang.

 

Ibunya bernama Limbak Urai yang berasal dari Koto Tuo, Ampek Angkek. Limbak Urai bersaudara tiga orang dengan susunan: 1) Gandam Urai – kemudian menjadi ibu dari Syeikh Taher Jalaluddin, 2) Muhammad Saleh Datuk Bagindo – pernah menjadi Tuanku Lareh Ampek Angkek, 3) Limbak Urai – kemudian menjadi ibu dari Ahmad Chatib, dan 4) Haji Ibrahim.

 

Ayah Limbak Urai adalah Tuanku Nan Rancak, seorang ulama terkemuka pada zaman Paderi. Ibu Limbak Urai bernama Siti Zainab, puteri dari Tuanku Bagindo Khatib, Pembantu Regent (setingkat Bupati) Agam. Dengan demikian, Ahmad Chatib lahir dari keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang sangat kuat.

 

Dari segi ekonomi, Ahmad Chatib adalah keturunan orang kaya. Ayah dan pamannya Datuk Rangkayu Mangkuto terkenal sebagai orang kaya dan bangsawan di Koto Gadang. Sebagai keluarga bangsawan dengan latar pendidikan agama yang kuat pula, keluarga ayah Ahmad Chatib tidak menutup diri terhadap pendidikan umum yang saat itu dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda.

 

Pendidikan

 

Ketika masih tinggal di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Guru atau Kweekschool dan menamatkannya pada tahun 1871 M. Di samping belajar di Kweekschool, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil belajar Al-Qur’an.

 

Pendidikan di Makkah

 

Di Makkah, Ahmad Chatib tidak hanya menunaikan ibadah haji, namun juga mempelajari ilmu agama secara mendalam. Sebagai alat dia mempelajari bahasa Arab dengan segala unsurnya, seperti ilmu nahu dan saraf, mata pelajaran dasar dalam bahasa Arab. Di samping itu, dia mempelajari pula ilmu-ilmu umum seperti ilmu falak, ilmu hisab, dan aljabar.

 

Masa belajarnya berlangsung dari tahun 1871 hingga 1876 yaitu saat bermukim di Makkah pertama kali. Ini masa belajar penuh tanpa gangguan. Diantara guru-gurunya di Makkah adalah: Sayyid Zayn Al-Dakhlan, Syeikh Bakr al-Syatta, dan Syeikh Yahya al-Qabli. Di kalangan guru-gurunya, Ahmad Chatib dikenal sebagai murid yang cerdas dan dikagumi oleh guru-gurunya.

 

Kekaguman terhadap kepribadian Ahmad Chatib juga muncul di kalangan pengusaha. Sebut diantaranya Syeikh Shalih Al Qurdi. Toko bukunya di Bab al Salam sering dikunjungi Ahmad Chatib untuk mencari dan membeli buku-buku yang diperlukan. Kemudian pengusaha yang dekat dengan penguasa kota Makkah itupun mendapat informasi yang baik pula dari gurunya Sayyid Zayn Al-Dakhlan.

 

Rasa kagum itu kemudian menimbulkan keinginan untuk menikahkan Ahmad Chatib dengan anaknya bernama Khadijah. Bahkan diapun menyediakan semua keperluan bagi mewujudkan rencana tersebut seperti biaya perkawinan dan mahar.

 

Tawaran Syeikh Shalih Al Qurdi itu tidak ditampik Ahmad Chatib, sehingga pernikahan itu terwujud tahun 1879. Sejak itu pula, Ahmad Chatib mulai mengajar di rumahnya. Mula-mula, muridnya berasal dari kalangan terbatas seperti famili. Termasuk diantara murid-murid yang belajar kepadanya ketika masih di rumah adalah Taher Djalaluddin-saudara sepupunya.

 

Ahmad Chatib dikenal sebagai sosok pemberani dan memiliki spontanitas yang cukup tinggi demi menegakkan kebenaran. Sifat ini sudah terlihat sejak masa mudanya.

 

Seperti diceritakan Hamka dalam “Ayahku” bahwa Ahmad Chatib pernah menghadiri jamuan berbuka puasa bersama mertuanya di Istana Syarif. Pada waktu shalat Maghrib, Syarif Makkah menjadi imam. Ketika mendengar bacaan imam yang salah, Ahmad Chatib langsung membetulkannya. Spontanitas yang berani ini menyebabkan Ahmad Chatib mendapat pujian dari sang syarif. Bukan itu saja, diapun mendapat penghormatan dari penguasa kota suci tersebut.

 

Empat tahun perkawinannya berselang, isteri Ahmad Chatib meninggal dunia tahun 1883. Dia kemudian dinikahkan kembali oleh Syeikh Shalih Al Qurdi dengan anaknya yang lain bernama Fatimah, adik dari Khadijah. Dalam budaya Minangkabau, pernikahan seperti ini dinamai dengan “baganti lapiak”.

 

Sebagai Imam dan Khatib di Masjidil Haram

 

Sejak pernikahannya dengan Fatimah, sang mertua membuka jalan bagi Ahmad Chatib untuk mengajar di Masjidil Haram. Atas bantuan dari mertuanya yang kenal baik dengan penguasa Syarif Makkah bernama Syarif Awn al Rafiq, Ahmad Chatib diijinkan mengajar di Masjidil Haram.

 

Pada saat menerima kepercayaan sebagai guru di Masjidil Haram tahun 1298 H tersebut, Ahmad Chatib masih berusia 38 tahun. Dari sini karirnya sebagai ulama dan guru langsung melejit, sehingga menjadi kebanggaan masyarakat Minangkabau yang mengenalnya.

 

Tidak hanya menjadi kebanggaan bagi daerah asalnya, Ahmad Chatib juga menjadi kebanggaan Indonesia, apalagi pada saat itu, orang Arab masih memandang rendah kepada orang Indonesia. Salah satu pameo terkenal di kalangan orang Arab kepada orang Indonesia seperti ungkapan “Jawi ya’kul hanas”, yang artinya orang Malayu makan ular.

 

Meski sudah mencapai puncak karir yang gemilang di Tanah Suci, kecintaan dan nasionalisme seorang Ahmad Chatib tidak pernah padam. Hal itu ditunjukkan dengan kiprah dan sumbangsihnya untuk Indonesia dengan memperhatikan masalah-masalah yang timbul dan menyumbangkan pemikirannya-pemikirannya untuk kemajuan dan kemashlahatan bangsa. Dia masih mengharapkan perbaikan-perbaikan untuk bangsanya. Apalagi dengan adanya rasa kebencian yang sangat mendalam kepada Belanda sebagai penjajah, Snouck Hurgronje menyebutnya sebagai orang yang fanatik, yang oleh Dr. P.S. van Koningsweld dijelaskan dengan fanatik anti-Belanda.

 

Salah satu perhatian kepada tanah kelahirannya, Ahmad Chatib mengkritisi praktek budaya Minangkabau yang matriakhat. Dia menentang pembagian harta pusaka tinggi di Minangkabau kepada pihak perempuan. Untuk itu, dia menulis dua buku. Pertama berjudul “Al Da’i Al Masmu’ fi ‘il-radd ‘ala Yuwarritsu’: ikhwahwa awlad al-akhawat ma’a wujud al-ushul wa’l-furu” yang artinya “Seruan yang Didengar dalam Menolak Pewarisan Kepada Saudara dan Anak-anak Saudara Perempuan Beserta Dasar dan Perincian” ditulis dalam bahasa Arab dan dicetak di Mesir tahun 1311 H. Kedua berjudul “Al Manhaj al Masyru’” yang artinya “Cara-Cara Yang Disyariatkan” ditulis dalam Bahasa Melayu dan dicetak di Mesir tahun 1311 H.

 

Selain sikap kritisnya kepada adat Minangkabau, sosok Ahmad Chatib juga merupakan orang yang anti kepada Belanda. Hal itu pernah dikemukakan oleh Haji Agus Salim – pernah berguru kepada Ahmad Chatib saat menjadi penerjemah di Konsulat Belanda di Jeddah – saat memberikan kuliah di Cornell University, AS tahun 1953. The Grand Old Man itu mengatakan bahwa Ahmad Chatib adalah seorang yang sangat anti-Belanda. Karena itu, dia tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Snouck Hurgronje ketika ilmuwan Belanda itu berada di Makkah tahun 1885.

 

Pernikahan

 

Di Makkah, Ahmad Khatib sering mengunjungi sebuah toko buku milik seorang pria bernama Shalih al-Kurdi. Shalih tertarik padanya, lalu menikahkannya dengan salah satu putrinya, yang menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar bernama Khadijah. Dari pernikahannya dengan Khadijah, Ahmad khatib dikaruniai seorang putra, yang diberi nama Abdul Karim (1300-1357 H). Pernikahan Ahmad Khatib dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia tidak lama kemudian.

 

Shalih, sang mertua, meminta Ahmad Khatib untuk menikahi putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Dari Fathimah, Ahmad Khatib dikaruniai beberapa orang anak:

 

‘Abdul Malik, yang kemudian menjadi ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di al-Hasyimiyyah (Yordania).

 

‘Abdul Hamid, seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan. Penulis Tafsir Al Khathib Al Makki dan Sirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Imam al-Adil.

 

Ahmad Khatib digambarkan sebagai seorang ayah yang baik dan agamais, ia mengajarkan pendidikan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman pada putra-putranya, dan dikatakan turut mewariskan ilmu pengetahuannya kepada mereka.

 

Pandangan

 

Meskipun Ahmad Khatib adalah seorang Muslim Sunni ortodoks, ia tetap berharap untuk mendamaikan sistem matrilineal di Minangkabau dengan hukum waris yang ditentukan dalam Al-Qur’an. Melalui murid-murid Minangkabau yang belajar di Makkah maupun yang diajarnya di Indonesia, ia mendorong modifikasi budaya Minangkabau berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.

 

Murid

 

Murid-murid Khatib umumnya diajarkan fiqih Syafi’i. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Hamka; Syaikh Muhammad Jamil Jambek dari Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Muhammad Jamil Jaho, Syaikh Abbas Qadhi, Syaikh Abbas Abdullah, Syaikh Khatib Ali, Syaikh Ibrahim Musa, Musthafa Husein al-Mandili, dan Syaikh Hasan Maksum. Dua muridnya yang peling menonjol adalah Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan, yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

 

Karya

 

Dalam bahasa Arab:

 

1.Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli.

2. Al-Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah.

3. Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’.

4. Raudhatul Hussab.

5. Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz.

6. As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir.

7. Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id.

8. An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah.

9. Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah.

10. Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir.

11. Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah.

12. Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman.

13. Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah.

14. Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin.

15. Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain.

16. As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar.

17. Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah

18. Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas

19. Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus.

20. Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah.

21. Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq.

22. Tanbihul Anam fir Radd ala Risalah Kaffil Awwam,

23. Hasyiyah Fathul Jawwad.

24. Fatawa Al Khathib ala Ma Warada Alaih minal Asilah.

25. Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin Abdil Lathif

 

Dalam bahasa Indonesia

 

1. Mu’allimul Hussab fi Ilmil Hisab

2. Ar Riyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid wa Al Fiqh Asy Syafi’i

3. Al Manhajul Masyru fil Mawarits.

4. Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra dan Miraj

5. Shulhul Jama attain fi Jawaz Ta’addudil Jumu attain

6. Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah.

7. Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin

8. Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man Alaih Qadhaish Shalawat.

9. Husnud Difa fin Nahy anil Ibtida

10. Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari.

11. Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin.

12. Izhhar Zughalil Kadzibin

13. Al Ayat Al Bayyinat fi Raf il Khurafat.

14. Al Jawi fin Nahw.

15. Sulamun Nahw.

16. Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah.

17. Asy Syumus Al Lami ah fir Rad ala Ahlil Maratib As Sabah

18. Sallul Hussam li Qathi Thuruf Tanbihil Anam.

19. Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah

20. Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara

21. Fatawa Al Khathib.

 

Kematian

 

Ahmad Khatib al-Minangkabawi meninggal dunia pada tanggal 9 Oktober 1915 (9) Jumadil Awal 1334) H di Makkah, Arab Saudi.

 

Penghimpun: iing chaiang

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *