Tuangku Galuang Harimau Nan Salapan dari Sungai Pua

Sejarah3117 Dilihat

Tuangku Galuang Harimau Nan Salapan dari Sungai Pua

 

 

Lahir : sekitar ± 1747 M

Tokoh Perang Paderi termasuk Harimau Nan Salaparan.

Perjuangan : 1830 – 1837 M.

Orang Tua : ♂️Galuang Nagari Sungai Pua.

Wafat : sekitar ± 1845 M.

Makam : ?

 

Keterangan : 

 

Menurut sejarahnya, Tuangku Galuang adalah salah seorang Harimau Agam Nan Salapan yang hidup dan aktif sekitar tahun 1747 sampai 1845. Dia adalah putra Galuang Nagari Sungai Pua. Harimau Nan Salapan dipimpin oleh seorang Pahlawan Nasional yaitu Tuangku Nan Renceh dari Tilatang Kamang. Harimau Nan Salapan adalah murid dari Hj. Miskin yang berasal dari Pandai Sikek, Hj. Miskin adalah salah satu dari tiga serangkai pembaharu Islam di Minangkabau yang pulang dari merantau cukup lama untuk menuntut ilmu agama di Mekkah Al Mukarrramah.

Riwayat lain mengatakan beliau bertiga pernah ikut dalam perang Salib II di Istambul, konstatinopel namun perlu digali kembali riwayat ini.

 

Eksistensi Harimau Nan Salapan tidak dapat dipungkiri lagi. merupakan satu kesatuan dengan Pasukan Paderi yaitu Tuangku Imam Bonjol di Pasaman, Tuangku Tambusai di Riau dan Tuanku Rao di Rao.

 

Perang Paderi menurut buku sejarah berlangsung dari Tahun 1830 – 1837, namun kenyataan sejarah dan sesuai dengan literatur yang ada. perang Paderi telah dimulai sejak tahun 1747 dan berlangsung lebih dari Tahun 1837 yang disebutkan oleh buku sejarah tersebut. Sedikit sekali masyarakat Indonesia bahkan masyarakat Minangkabau sekalipun khususnya generasi muda yg mengetahui bahwa satu-satunya pembawa, penegak ahlussunah waljamaah murni dalam sejarah Indonesia masa lampau adalah Haji Sumanik, Haji Miskin, Haji Piobang, beserta Tuangku Imam Bonjol, Tuangku Rao dan Tuangku Tambusai beserta Harimau Nan Salapan menyiarkan dakwah di Sumatera Barat.

 

Mereka memerangi kebatilan yang saat itu banyak kaum adat, para datuk, hulu balang dan lainnya yang melakukan perjudian, adu ayam, kemusrikan yang parahnya bisa di bilang sama dengan yang terjadi di Arab pada masa itu yaitu tahun 1700 – 1870.

 

Dakwah tersebut di tentang keras oleh kaum adat dan perang saudara pecah di seluruh Minangkabau. Kaum adat mendapat bantuan dari Belanda. Perang tersebut di sebut Perang Paderi. Kaum adat kalah ditandai dengan Istana Pagaruyung tahun 1802 di hancurkan dan keluarga raja melarikan diri dan selanjutnya falsafah Minangkabau atas kejadian tersebut di kuatkan kembali dengan ditandai perjanjian di Bukit Marapalam (Lintau) antara (Lintau dan Sungayang, Tanah Datar) yaitu falsafah “Adat Basandikan Syara’, Syara’ Basandikan Kitabullah.”

 

Inilah satu-satunya perang dalam sejarah Indonesia yang menegakkan Agama Islam yang sebenar-benarnya. Dan bukan itu saja, para Tuanku tersebut bersama Harimau Nan Salapan menyebarkan Islam ke negeri Tapanuli, Natal, dan sampai ke tapal batas Aceh Sumatera Utara, yang juga merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung pada saat itu. orang Tapanuli, Mandahiling, Natal sampai Kabun Jahe semua tunduk dan menganut Agama Islam atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa, yang diberikannya kekuatan kepada para pembela-Nya. (sumber: Buku Tuanku Rao oleh Buya Hamka Tahun 1963).

 

Khusus kita di Galuang Sungai Pua, kita patut merasa bangga nagari telah melahirkan seorang putra yang berjuang demi bangsa dan agama, yang kita kenal dengan nama Tuanku Galuang, beliau adalah salah seorang dari Harimau Nan Salapan existensi perjuangan Harimau Nan Salapan dalam literatur tidak diragukan lagi yang ditulis oleh Belanda maupun bangsa sendiri.

 

Tetapi amat disayangkan di nagari sendiri sejarah perjuangan beliau kabur atau dikaburkan atau disembunyikan wallahualam, namun bukti sejarah tidak akan bisa dipungkiri dan tidak terbantahkan khususnya di Galuang Sungai Pua.

 

Tokoh-tokoh yang disebut sebagai Harimau Nan Salapan banyak ditulis dalam literatur sejarah, buku perang paderi karangan M.Rajab tahun 1964, Decte der Padaries (Padries) in de bovenlanden van Sumatra hal 249 (terbitan Lange dan Co di Batavia 1855) dalam buku tersebut bahwa pergolakan (perang) paderi di dataran tinggi Sumatra dipimpin oleh Delapan Tuanku (act priensters) yang dikenal dgn Harimau Nan Salapan (de act tigers) masing-masing menghimpun, melatih pasukan di daerah mereka, kemudian bergabung menyusun strategi, berjuang serentak secara bersama sama .

 

Harimau Nan Salapan tersebut :

 

1.Toeankoe nan Rentje van kamang (Tuanku nan Renceh dari Kamang)

2. Toeankoe Loebok owoer van tjandong (Tuanku canduang dari canduang)

3.Toeankoe Berapi van Boekiet (Tuanku biaro dari biaro bukit berapi)

4. Toeankoe loedang-lowee van Boenoempo (Tuanku Ladang Laweh dari Banuhampu)

5.Toeankoe Padang Loear van Boenoempo (Tuanku Padang luar dari Banuhampu)

6. Toeankoe di Galong van Soengoei Poear (Tuanku Galuang dari Sungai Pua)

7. Toeankoe Banesa van Bansa (Tuanku Bansa dari Bansa)

8. Toeankoe kapau van kapau (Tuanku Kapau dr Kapau)

 

Perang di Bukit Batabuah (Lereng Merapi)

 

Setelah berdirinya Dewan Harimau Nan Salapan pada tahun 1803 , diawali berkumpul beberapa orang ulama di Kamang, disusunlah strategi untuk menghabisi praktek Bida’ah yang dilakukan masyarakat, untuk melakukan pembersihan sebagai langkah awal harus mengambil /merebut kekuasaan dari tangan para penghulu yang menjadi pemimpin masyarakat pada masa itu.

 

Satu-satunya cara untuk merebut kekuasaan tersebut tidak ada jalan lain hanya dengan kekerasan, karena kaum adat tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada kaum Putih (kaum Paderi).

 

Desas desus telah terbentuknya Dewan Harimau Nan Salapan serta rencana yang telah disusun terdengar keluar Kamang. Kaum adat tidak merasa senang, mereka menganggap sepele bahkan melecehkan sejauh mana tindakan yang akan dibuat kaum paderi terhadap mereka, kaum adat memancing kaum paderi dengan melakukan kebiasaan yang tidak disukai kaum paderi yaitu berjudi, sabung ayam, meminum minuman keras menghisap madat (opium) secara besar-besaran.

 

Hal ini memancing kemarahan kaum paderi, kaum paderi datang ke Bukit Batabuah, sesampainya disana pertempuran tidak bisa dielakkan lagi, jatuhlah korban di kedua belah pihak. Awal dimulai pertempuran di Bukit Batabuah, selanjutnya terjadilah berbagai pertempuran hampir di seluruh Luhak Agam (Marjani Martamin : 1984).

 

Dalam waktu lebih kurang satu tahun, Harimau Nan Salapan berhasil menguasai beberapa wilayah Agam seperti Matur, Canduang, Koto Lawas, Pandai Sikek (daerah lereng Merapi dan Singgalang) Bukit Pua, Padang Tarab dan guguak, Kamang adalah basis pertahanan , penguasaan daerah Agam relatif dalam waktu singkat di lakukan oleh Harimau Nan Salapan, wilayah Agam dikenal tempat bermukimnya ulama-ulama ternama Tuanku Nan Tuo dan Tuanku Masiangan. Disini peranan pangulu sangat tipis, bahkan terkesan terhimpit oleh para ulama (Amir Syarifoedin : 2011).

 

Pertempuran di Pagaruyung, Perang Paderi Semakin Meluas

 

Harimau Nan Salapan meminta kepada Tuanku Lintau untuk mengajak yang dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta kaum adat untuk meninggalkan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, dalam beberapa kali perundingan yang diadakan, tidak ada kata sepakat antara kaum paderi dengan kaum adat, maka beberapa nagari bergejolak dalam kerajaan Pagaruyung.

 

Pada Tahun 1815, Kaum Paderi dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang kerajaan Pagaruyung dan pecahlah perang di koto Tangah, akibat serangan ini Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan . Dari catatan sejarah Raffles mengunjungi Pagaruyung tahun 1818, menyebutkan bahwa dia hanya mendapati sisa-sisa puing Istana Pagaruyung yang sudah terbakar .

 

Keterlibatan Belanda

 

Karena terdesak oleh gempuran dan tekanan dari kaum paderi dan yang dipertuan Pagaruyung tidak diketahui keberadaannya, maka kaum adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, Sultan Tanggal Alam Bagagar membuat perjanjian dengan pihak Belanda, dalam hal ini sebetulnya dia tidak berhak mengatas namakan pagaruyung, akibat perjanjian tersebut Belanda menjadikan sebagai tanda penyerahan kerajaan pagaruyung ke tangan pemerintahan Hindia Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent di tanah datar.

 

Keterlibatan Belanda dalam peperangan karena diundang oleh kaum adat, campur tangan Belanda dalam peperangan dimulai dengan penyerangan Sumawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan april 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, kemudian tanggal 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat pertahanan yang telah dikuasai .

 

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur kaum paderi keluar Pagaruyung , kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van Der Capellen, sedangkan kaum paderi menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.

 

Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakkan pasukan Belanda di Tanjung Alam dihadang oleh kaum Paderi, Belanda bergerak ke Luhak Agam pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso. Kapten Goffinet menderita luka berat, kemudian meninggal pada 5 September 1822. Dengan kematian komandan pasukan Belanda tersebut terpaksa kembali ke Batu Sangkar karena terus ditekan dan diserang oleh Harimau Nan Salapan dan pasukannya yg dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh .

 

Setelah mendapat bantuan tambahan pasukan pada tanggal 13 April 1823, Raaff kembali menyerang Lintau, tetapi kaum paderi dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batu Sangkar, tahun 1824 yang dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letkol Raaff, satu tahun kemudian tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan dimakamkan di Pagaruyung, Sedangkan Letnan Kolonel Raaff meninggal secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 sebelumnya sudah mengalami demam tinggi.

 

Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda dibawah pimpinan Mayor Frans Laemin berhasil menguasai daerah di kawasan Luhak Agam, Koto Tuo dan Ampang Gadang kemudian menduduki Biaro dan Kapau. Mayor Frans Laemin dalam pertempuran menghadapi gempuran Harimau Nan Salapan siang dan malam dengan pasukan berani mati berjihad. Akhirnya Mayor Frans Laemlin mengalami luka parah pada bulan Desember 1824, Mayor Frans Leamlin meninggal dunia di Padang.

 

Dapat dibayangkan betapa gagah berani dan perkasa pasukan Harimau Nan Salapan menggempur Belanda dengan peralatan perang seadanya, sementara Belanda dengan peralatan persenjataan sudah lengkap dan modern kala itu, tetapi dengan semangat juang para Pendekar-pendekar dengan gagah berani dapat menghalau pasukan Belanda, satu persatu komandan pasukan Belanda ciut akhirnya meninggal. Jelas perang Gerilya dari hutan masuk hutan memegang peranan penting dalam melumpuhkan dan menghancurkan pasukan Belanda, dari catatan sejarah tidak sedikit komandan pasukan Belanda yang gugur, banyak ditulis dalam buku karangan Belanda sendiri.

 

Gencatan Senjata dengan Perjanjian Masang

 

Perlawanan yang dilakukan oleh kaum Paderi tanpa kenal lelah, berjalan dalam kurun waktu yang panjang selama lebih kurang 35 tahun (1803-1838) peperangan ini tidak melawan Belanda semata tetapi juga melawan bangsa sendiri kaum adat (perang saudara). Kaum adat tidak sanggup menghadapi pasukan Harimau Nan Salapan meminta bantuan kepada Belanda, tentu saja Belanda membantu karena ada kepentingan terhadap negeri jajahan dengan segala cara politik adu domba (devide et inpera) walaupun demikian perlawanan dan semangat kaum paderi tidak kendor dan tidak gentar tetap berjuang berjihad di jalan Allah, hal ini yang menyulitkan Belanda, perlawanan cukup tangguh dari kaum Paderi sulit menundukkan nya, Belanda melalui Residennta di Padang dengan segala taktik mengajak pemimpin kaum paderi berdamai. Kala itu dipimpin Tuanku Imam Bonjol dengan segala pertimbangan, keluarlah Maklumat “Perjanjian Masang” pada tanggal 15 November 1825, Belanda dengan liciknya mengajak berdamai karena kehabisan dana menghadapi peperangan di Eropah dan perang Diponegoro di Pulau Jawa.

 

Selama periode gencatan senjata berlangsung, Tuanku Imam Bonjol berupaya memulihkan kekuatan dan mencoba merangkul kaum adat kembali, karena beliau yakin akan ada serangan Belanda kembali gelombang kedua, kompromi tersebut dikenal dengan nama “Plakat Puncak Pato” di MARAPALAM kabupaten Tanah Datar yang melahirkan konsensus bersama kaum Paderi dan Kaum “Adat yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah.”

 

Sosok Tuanku Galuang

 

Cerita Tuanku Galuang sejak berakhir Perang Paderi tidak ramai dibicarakan seperti Tuanku -tuanku lainnya NYARIS hilang atau dihilangkan ironisnya di kampung kelahiran beliau sendiri, anak cucu dan kemenakan banyak yang tidak tahu sampai saat ini bagaimana wafatnya, dimana wafatnya dan dimana kuburannya belum diketahul.

 

Anehnya penulis Belanda lebih banyak tahu sosok dan profil dari Tuanku Galuang ini dapat ditemui dalam buku karangan orang Belanda De Stuers (1850) Hollander (1857) Parve (1355) tentang Perang Paderi di Sumatra Barat, perlawanan Tuanku Nan Salapan dengan julukan Harimau Nan Salapan (de act tijgers) sungguh ironis orang Belanda lebih banyak tahu dari kita sendiri. Semut di seberang lautan kelihatan, Gajah pelupuk mata tidak tampak.

 

Namun fakta sejarah tidak akan bisa dihilangkan walaupun kita tidak tahu tetapi orang lain mengetahuinya bahkan mencatatnya. Selanjutnya terpulang kepada kita semua untuk mencari, mengali dan menelusuri serta meluruskan sejarah Tuanku Galuang, bukan saja putra Galuang Sungai Pua semata, tetapi adalah putra bangsa Pahlawan Bangsa, setara dengan Tengku Umar, Wali Songgo, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Patimura, dan pejuang daerah masing-masing.

 

Tuanku Imam Bonjol dan Harimau Nan Salapan yang telah berjuang / berjihad melawan bangsa penjajah yang merampas, menindas bangsa dan tumpah darah kita. Kita semua tahu bahwa Bahwa “Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang mengenal mengetahui sejarah bangsanya sendiri. Bangsa yang mulia adalah bangsa yang mengenang jasa-jasa para pahlawannya.”

 

Dari hasil survey dilapangan (field research) dari keterangan yg dihimpun Bahwa Tuanku Galuang dari Suku Piliang Kati’ak (Datuk Sidubalang) dari Limo Kampuang dan Kapalo Kato Sungai Pua dengan berkembangnya anak, cucu dan kemenakan maka “Manaruko ka Galuang.”

 

Pada masa Tuanku Galuang berdirilah Rumah Gadang 14 Ruang Surau beratapkan ijuak dan lapangan tempat berlatih Silat dilokasi inilah menjadi basis dan markas Tuanku Galuang sekaligus tempat pertemuan /rapat dari Harimau Nan Salapan dan pasukan kaum putih (kaum paderi). Lokasinya adalah di areal mesjid Jamik Galuang sekarang, selain tinggal menetap diseputaran Rumah Gadang 14 Ruang tersebut suku Piliang Kati’ak menetap di Ponggok.

 

Penghimpun: iing chaiang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *