Kisah Kiprah Kegigihan Para Saudagar Minang Melawan Kolonial

Sejarah206 Dilihat

Kisah Kiprah Kegigihan Para Saudagar Minang Melawan Kolonial

 

Dunia niaga, memang identik dengan orang Minang. Ada pola yang sama dalam kesuksesan saudagar Minang, yaitu merantau dan membangun jejaring bisnis di perantauan (di luar hingga menjadi kaya raya). Dan, kebiasaan merantau ini telah berlangsung berabad-abad lamanya.

 

Perdagangan berkembang di pesisir barat Sumatra sejak abad ke-14, telah mendorong perkembangan Islam di pesisir. Selain itu, orang Minang yang tinggal di pesisir barat Sumatra telah menjalin hubungan sosial yang kuat dengan pedalaman, termasuk dengan saudagar dari Gujarat dan Arab.

 

Pasar juga mulai berkembang sebagai tempat para saudagar Minang berinteraksi satu sama lain dan karena interaksi para saudagar luar dengan masyarakat lokal.

 

Sejarah mencatat bahwa orang-orang Muslim dari Gujarat dan Minangkabau pertama kali berkumpul di pelabuhan Tiku, setelah mereka berhasil diislamisasi pada dekade kedua abad ke-16 (Dobin, 1987).

 

Sampai abad ke-20, ketika tangan-tangan Kolonial Belanda makin kuat mencengkeram, di tepian Padang, terdapat beberapa pasar besar yang digerakkan saudagar kaya, di antaranya Pasar Gadang, Pasar Mudik, Pasar Ilir, Pasar Batipuh, dan Pasar Malintang. Di keempat pasar ini, berdiri gedung-gedung niaga para saudagar – yang berasal dari Oud Agam, Tanah Datar, Batipuh X Koto, dan Solok.

 

Tidak sekadar berniaga, tetapi mereka juga membentuk sebuah organisasi. Saudagar Vereeniging demikian nama organisasi yang kali pertama dibentuk oleh Abdullah Basa Bandaro tahun 1916, dengan ketua pertamanya adalah Nurdin Saleh.

 

Inyik Basa Bandaro, demikian arsip, surat kabar, dan beberapa literatur menulisnya, adalah tokoh di balik berdirinya Sarekat Oesaha – kemudian mendirikan Adabiah School. Dan, melalui usaha tokoh pergerakan ini, turut membantu Haji Rasul merintis Thawalib School Padang Panjang (Sufyan, 2021).

 

Ayah angkat dari Chatib Sulaiman ini, turut menjadi penggerak dan pendukung dana dari dunia pergerakan di Sumatra Barat. Bahkan, pengagum berat Tan Malaka ini, turut mendanai beberapa surat kabar kiri (yang kerap melayangkan protesnya terhadap pajak (belasting) yang menyengsarakan orang Minang itu.

 

Namun, Inyik Basa Bandaro tidaklah seorang diri dalam membesarkan Saudagar Vereniging. Seperti foto yang terpampang di atas adalah pengurus dari Saudagar Vereeniging. Mereka adalah A. Fatah Sutan Malano (comissaris), A. Karim Yusuf (comissaris), Abdul Aziz Latif (Penningmeester/bendahara), Marzuki Jatim (Vice Voorzitter), Mr. Sutan Harun al-Rasjid (Hoofdcomissaris), Turki Bagindo Marah (voorzitter), Oemar Marah Alamsyah (Secretaris), M. Thaib Sutan Mangkuto (Comissaris), Datuk Madjo Kayo (Comissaris), H.M Thaib (comissaris).

 

Abdul Aziz Latif (seorang pemilik Sumatra Banking and Trading Corporation Ltd) yang bergerak untuk pembuatan kapal dikenal seorang dermawan. Pemilik N.V Abdul Latif dan beberapa pabrik tekstil itu, turut membantu finansial dari gerakan Islam modernis dan pertumbuhan persyarikatan Muhammadiyah sampai pedalaman Minangkabau.

 

Sampai periode 1929, merupakan masa keemasan dan tersibuk di pasar-pasar tua di Kota Padang. Sampai akhirnya petaka depresi ekonomi (the great of depression) mengguncang dunia. Hindia Timur adalah yang terdampak langsung, terutama untuk sektor tambang, perkebunan, dan pertanian.

 

Sektor yang bergerak perkebunan tebu paling terpukul akibat deraan malaise. Panen tebu yang meningkat tajam tahun 1930 dan 1931, namun tidak segaris lurus dengan produksi gula yang harus dipotong setengahnya. Sektor ini makin terpuruk, setelah Kerajaan Belanda harus mematuhi persetujuan pembatasan internasional Chadbourne yang ditandatangani tahun 1930 (De locomotief, 1930).

 

Akibatnya, banyak pabrik gula yang tutup di Jawa dan Sumatra. Tiga tahun berjalannya depresi ekonomi, hanya separuh saja pabrik gula yang beroperasi. Dan, pada tahun 1932 jumlah industri ini makin berkurang menjadi 137 pabrik gula (Geerligs, 1932).

 

Malaise telah membuat perbankan tidak berdaya dan pabrik pakaian menghadapi kesulitan, yang sekali lagi berimbas berkurangnya donasi untuk pergerakan Islam dan nasionalisme di Minangkabau.

 

Perusahaan N.V Abdul Latif yang berdomisili di Pasar Mudik Padang turut merasakan pil pahit Malaise. Usaha bisnisnya terancam pailit karena berutang pada bank pemerintah Kolonial Belanda. Kondisi yang sama turut dirasakan oleh saudagar lainnya, seperti Marzuki Jatim, Sutan Harun al-Rasjid, Turki Bagindo Marah, Oemar Marah Alamsjah M. Thaib Sutan Mangkuto, Datuk Madjo Kajo, dan H.M Thaib.

 

Freek Colombijn dalam karyanya menarasikan situasi sulit di Kota Padang. Pemerintah daerah masa itu mengucurkan utang besar f 450.000 untuk para saudagar. Namun, melonjaknya suku bunga, menyebabkan pemerintah menyerah dan berakibat membengkaknya angsuran yang harus dibayarkan saudagar. Dan kondisi itulah yang umumnya dirasakan para saudagar yang berhimpun dalam Saudagar Vereeniging

 

Muhammadiyah Minangkabau yang selama ini berhubungan elok dengan Abdul Latif turut merasakan dampaknya. Apalagi, persyarikatan telah diamanahi oleh Hoofdbestuur Hindia Timur, untuk menjadi tuan rumah Kongres XIX di Fort de Kock (Baca: Bukittinggi).

 

Hamka menarasikan kondisi sulit yang dihadapi Latif, namun tidak mau menyerah dengan situasi itu. “Maka dengan hatinya yang tabah, taat nya dan senyum simpulnya, dihadapinya lah kesulitan itu. Meskipun keadaannya dalam sangat sulit, namun kalau orang datang meminta bantu, diberinya juga bantuan, tidak pernah bermuka masam,” demikian ungkap Hamka (1958) menarasikan kebaikan dari Abdul Latif. 

 

Morat-maritnya kondisi yang dialami saudagar-saudagar yang berhimpun di Saudagar Vereniging dan Aboean Saudagar di masa depresi, tidak mengurangi sedikit pun keinginan mereka untuk berpartisipasi dalam bentuk donasi. Dan, Saalah selaku voorzitter Comitte van Ontvangst, merasakan semangat berbuat baik dari para saudagar Minang tersebut.

 

Melalui Comitte van Ontvangst yang telah bentuk dan disahkan persyarikatan– mereka pun berusaha keras mencari donatur sebanyak-banyaknya, baik di Sumatra Westkust maupun di perantauan. Beberapa nama yang kemudian disasar adalah saudagar yang berniaga di Pasar Gadang dan Pasar Mudik, seperti Abdul Latif, Marzuki Jatim, Sutan Harun al-Rasjid, Turki Bagindo Marah, Oemar Marah Alamsjah M. Thaib Sutan Mangkuto, Datuk Madjo Kajo, dan H.M Thaib.

 

Sebagai catatan, para saudagar Minang ini, tidak ada satu pun yang mengeyam pendidikan Barat, kecuali Sutan Harun al-Rasjid yang mendapat gelar Meester in de Rechten. Bahkan umumnya tidak mengenyam pendidikan MULO dan AMS. Sebagian besar di antaranya adalah lulusan sekolah agama di Minangkabau.

 

Dan usaha yang dirintis di bawah koordinasi Saalah pun berhasil. Panitia Kongres mampu menerima serapan dana yang bersumber dari berbagai kalangan di Hindia Timur–termasuk dari saudagar besar yang berada di Padang, Pariaman, Fort de Kock, Fort van der Capelen, dan Padang Panjang.

 

Dari donasi yang dikumpulkan panitia kongres sebesar f 7.833,66, diperoleh dari para saudagar kaya berupa pendapatan perusahaan dan tentoonstelling f 1.713,97. Pemasukan lainnya berasal dari iklan yang dipasang oleh para saudagar, yakni sebesar f 332,90. Seperti mamanggakan iduik bajaso, mati bapusako demikian cara saudagar-saudagar besar Minang memberi bantuan tanpa pamrih, meskipun kondisi perusahaan sedang tidak baik-baik saja.

 

Penghimpun: iing chaiang

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *