Tubuh Rakyat dalam Bayang-Bayang Vaksin dan Kapital

Ketika Indonesia diumumkan sebagai lokasi uji klinis vaksin TB M72 vaksin eksperimental hasil kolaborasi lembaga global dan Bill dan Melinda Gates Foundation pemerintah menyambutnya sebagai langkah strategis mengatasi beban penyakit yang telah lama menghantui negeri ini. Namun, bagi sebagian rakyat, kabar ini justru memunculkan pertanyaan lama yang belum usai dijawab, apakah kita masih berdaulat atas tubuh kita sendiri?

 

Narasi resmi menyebutkan bahwa Indonesia ikut serta dalam uji coba karena relevansi epidemiologis. Namun, di balik argumen ilmiah itu, muncul bayang-bayang relasi kuasa yang tak bisa diabaikan. Uji klinis bukan sekadar persoalan medis. Ia adalah soal politik tubuh, ekonomi pengetahuan, dan etika kekuasaan global.

 

Dalam sejarah kolonialisme, eksploitasi tidak hanya menyasar tanah dan sumber daya alam, tetapi juga tubuh manusia. Kini, dalam era kapitalisme filantropik, eksploitasi itu mengambil bentuk yang lebih halus, kerja sama penelitian, investasi vaksin, dan infrastruktur kesehatan. Semua tampak mulia di permukaan, tapi siapa yang memegang kendali atas hasilnya?

 

Marhaenisme mengajarkan bahwa ilmu tidak boleh berdiri di menara gading terpisah dari nasib rakyat. Ilmu mesti berpihak. Maka pertanyaannya berpihak kepada siapa riset ini dilangsungkan? Apakah rakyat dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau hanya menjadi baris angka dalam laporan efektivitas klinis?

 

Bill Gates mungkin tak membawa senjata, tapi kapital yang ia gelontorkan membawa dampak serupa, kekuasaan menentukan arah riset, kepemilikan paten, dan distribusi hasil. Filantropi, dalam banyak kasus, bekerja seperti perusahaan menanam modal untuk panen kekuasaan dan pengaruh.

 

Uji coba vaksin di Indonesia bisa saja membawa manfaat. Tapi jika manfaat itu hanya dinikmati segelintir elite farmasi global, dan bukan rakyat yang tubuhnya menjadi ladang eksperimen, maka kita sedang kembali mengulang babak lama kolonialisme dengan wajah yang lebih rapi.

 

Pemerintah wajib memastikan bahwa setiap kerjasama internasional berlandaskan transparansi dan kesetaraan. Bahwa rakyat tahu, memahami, dan punya ruang menolak. Bahwa laboratorium kesehatan tak berubah menjadi ladang sunyi tempat suara rakyat dibungkam oleh jargon teknokratis.

 

Membangun kedaulatan kesehatan berarti membangun kemampuan riset nasional, memperkuat kapasitas produksi dalam negeri, dan menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek kebijakan. Bukan berarti menolak ilmu luar, tapi menuntut agar ilmu itu tidak digunakan untuk memperpanjang ketergantungan.

 

Tubuh rakyat bukan ruang kosong yang bisa diisi atas nama kemajuan. Ia adalah wilayah berdaulat yang harus dijaga dari intervensi yang tak berpijak pada kepentingan nasional. Jika vaksin TBC adalah harapan, maka biarlah harapan itu tumbuh di tanah yang kita kuasai bukan di ladang yang telah lama disewakan pada kekuasaan global.

 

Penulis: Randa Fikri Anugrah 

(Mahasiswa UIN Mahmud Yunus Batu Sangkar)