Tragedi Sumatra: Jejak Panjang Eksploitasi
Oleh: Zahara Nurul Fatdira
Program Studi Ilmu Sejarah, Universitas Andalas
Setiap tahun, narasi tentang hujan deras dan banjir bandang kembali berulang di Sumatra. Namun, kita harus berhenti menerima ini sebagai takdir semata. Bencana ekologis yang kita saksikan hari ini adalah akumulasi dari kebijakan eksploitatif jangka panjang, cerminan kegagalan negara dalam mengelola mandat lingkungan dari masa ke masa.
Kerusakan lingkungan Sumatra memiliki akar sejarah yang panjang. Di era Kolonial, hutan kita sudah dipandang semata-mata sebagai sumber daya yang harus dikonversi menjadi komoditas pasar kopi, karet, hingga tembakau. Praktik ini meletakkan fondasi pertama tata ruang yang berorientasi pada keuntungan modal, bukan pada kelestarian ekosistem. Pola yang sama kemudian dilanjutkan di masa Orde Baru, di mana izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) diobral secara masif atas nama pembangunan ekonomi. Kawasan hutan yang seharusnya berfungsi sebagai resapan air hulu diubah menjadi lahan produksi, menghilangkan “spons’’ alami yang vital bagi keseimbangan hidrologi.
Ironisnya, di era Reformasi yang menjanjikan transparansi, kita masih melihat kelanjutan pola yang sama. Negara, melalui perangkat birokrasinya, masih ceroboh membagi-bagikan izin tambang, kebun, dan properti di kawasan penting yang seharusnya berfungsi sebagai penahan air. Bencana hari ini adalah puncak dari semua kesalahan masa lalu melindungi fungsi ekologis demi kepentingan ekonomi sesaat. Ini adalah bukti nyata bahwa kepentingan modal seringkali ditempatkan di atas keselamatan rakyat. Oleh karena itu, penanganan bencana tidak bisa hanya nambal di hilir dengan kiriman mi instan. Kita harus memutus rantai dosa sejarah ini di hulu.
Pemerintah wajib segera meninjau ulang total dan mencabut izin bagi perusahaan yang terbukti menjadi biang keladi kerusakan lingkungan. Jangan takut, karena ini adalah cara negara bertanggung jawab secara historis kepada rakyatnya. Kedua, wajibkan para pengusaha yang sudah untung besar itu untuk menanam dan memulihkan fungsi ekologis kawasan yang mereka rusak. Terakhir, hukum harus ditegakkan sekeras-kerasnya untuk memutus mata rantai korupsi dalam perizinan lingkungan.
Masyarakat Sumatra bukan korban nasib. Mereka adalah korban dari jejak kerakusan panjang yang diwariskan oleh kebijakan yang salah.. Sudah saatnya kita menolak tragedi berulang ini dan menuntut perubahan kebijakan yang benar-benar memprioritaskan alam dan rakyat, agar bencana di masa depan tidak lagi menjadi utang sejarah yang harus kita bayar.






