Tradisi Malamang untuk Mandoa Kematian di Daerah Padang Pariaman

Oleh: Nadia Hervina (Mahasiswa Universitas Andalas, Jurusan Sastra Minangkabau)

Tradisi Malamang untuk Mandoa Kematian di Daerah Padang Pariaman

 

Oleh: Nadia Hervina

(Mahasiswa Universitas Andalas, Jurusan Sastra Minangkabau)

 

Di tengah dinamika kehidupan modern, masyarakat Padang Pariaman masih menjaga dengan teguh berbagai tradisi warisan leluhur. Padang Pariaman, sebuah daerah yang kaya akan budaya dan tradisi di Sumatera Barat, menyimpan banyak kearifan lokal yang hingga kini masih lestari. Salah satu tradisi yang masih dijalankan oleh masyarakatnya adalah malamang, yaitu kegiatan memasak lemang (nasi ketan yang dimasak dalam bambu) dalam rangkaian acara sosial maupun spiritual. Salah satu bentuk pelaksanaan malamang yang memiliki nilai simbolis dan religius yang kuat adalah malamang untuk mandoa kematian yakni ketika keluarga almarhum mengadakan doa bersama untuk orang yang telah meninggal dunia.

 

Apa itu Malamang?

Malamang berarti kegiatan membuat lemang, yaitu makanan tradisional dari beras ketan yang dimasak dalam bambu, bersama santan dan dibungkus daun pisang. Lemang biasanya dimasak dengan bara api secara perlahan hingga matang sempurna. Dalam budaya Minangkabau, lemang bukan hanya sekadar makanan, tetapi simbol kebersamaan, keberkahan, dan rasa hormat.

 

Biasanya malamang dilakukan dalam berbagai kegiatan penting, seperti pernikahan, hari besar keagamaan, dan juga kematian. Khusus dalam konteks kematian, malamang menjadi bagian dari rangkaian kegiatan mandoa—doa bersama untuk arwah orang yang telah meninggal, biasanya dilakukan setelah hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, hingga seratus hari kematian, tergantung pada adat setempat.

 

Malamang sebagai Ungkapan Duka dan Doa

Tradisi malamang untuk kematian bukanlah hal baru bagi masyarakat Padang Pariaman. Saat seseorang wafat, keluarga besar tidak hanya berduka, tetapi juga menggalang kekuatan kolektif untuk mengadakan acara mandoa sebagai bentuk doa dan penghormatan kepada yang telah pergi. Di sinilah malamang hadir sebagai simbol dan sarana.

 

Makna dan Filosofi Malamang

Malamang bukan sekadar kegiatan memasak. Ia adalah simbol solidaritas, kebersamaan, dan penghormatan. Tradisi ini mencerminkan kuatnya nilai-nilai gotong royong dalam masyarakat Minangkabau. Dalam malamang menjadi sarana mengungkapkan rasa kehilangan, mempererat hubungan keluarga dan tetangga.

 

Masyarakat Padang Pariaman percaya bahwa dengan menyelenggarakan acara mandoa (berdoa bersama) yang disertai dengan malamang, mereka tidak hanya mendoakan arwah yang telah pergi, Lemang yang dibuat kemudian dibagikan kepada tetangga, keluarga, dan para peserta doa sebagai sedekah dan simbol berbagi berkah.

 

Proses dan Rangkaian Kegiatan

Tradisi malamang biasanya dilaksanakan menjelang acara mandoa atau beberapa hari sebelum acara utama. Proses pembuatan lemang dilakukan secara gotong royong oleh anggota keluarga besar, tetangga, dan masyarakat sekitar. Pagi-pagi sekali, kaum ibuk-ibuk menyiapkan bahan seperti beras ketan, santan kelapa, dan daun pisang. Sementara itu, kaum bapak dan pemuda bertugas mencari bambu, membersihkannya, dan menyiapkan bara api untuk membakar lemang.

 

Biasanya, kegiatan ini berlangsung di halaman rumah atau di tanah lapang. Masyarakat berkumpul, saling bercengkrama, dan bekerja sama. Suasana kekeluargaan sangat terasa. Dalam proses ini, tidak hanya lemang yang dimasak, tetapi juga nilai-nilai sosial yang terus dirawat dan diturunkan dari generasi ke generasi.

 

Setelah lemang matang, ia akan disusun rapi dan dibagikan kepada para tamu undangan serta masyarakat sekitar pada saat acara mandoa dilaksanakan. Sebagian juga diberikan kepada tetangga dan kerabat yang tidak sempat hadir sebagai bentuk berbagi keberkahan.

 

Doa dan Spiritualitas

Mandoa merupakan inti dari keseluruhan rangkaian. Acara ini biasanya dihadiri oleh angku atau labay, ninik mamak (tetua adat), serta sanak saudara. Doa yang dipanjatkan bertujuan untuk mendoakan dan ketenangan arwah orang yang telah meninggal, serta untuk memohon ampunan baginya.

 

Dalam masyarakat Minangkabau, khususnya di Padang Pariaman, agama dan adat saling bersinergi. Kegiatan seperti malamang dan mandoa merupakan bukti nyata dari perpaduan nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat bersendi pada syariat Islam). Doa dipimpin oleh seorang imam atau ustaz, diikuti oleh para hadirin dengan khusyuk dan haru.

 

Simbol Solidaritas dan Identitas Budaya

Tradisi malamang untuk mandoa kematian bukan hanya tentang ritual atau kewajiban keluarga. Lebih dari itu, ia adalah ekspresi nyata dari solidaritas sosial dan ketahanan budaya. Di tengah arus modernisasi dan individualisme, praktik-praktik seperti ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga harmoni dalam masyarakat.

 

Selain itu, malamang juga mencerminkan identitas budaya masyarakat Padang Pariaman. Ia menjadi bagian dari cara hidup, dari nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun. Dalam konteks kematian, malamang menjadi sarana untuk menyatukan kembali keluarga besar yang mungkin telah terpisah jarak, serta memperkuat hubungan emosional dan spiritual antar anggota masyarakat.

 

Pelestarian Tradisi di Tengah Perubahan Zaman

Seiring perkembangan zaman, tradisi malamang juga mengalami tantangan. Gaya hidup yang semakin cepat, keterbatasan waktu, serta pergeseran nilai-nilai sosial membuat beberapa generasi muda mulai menjauh dari kegiatan ini. Namun, di beberapa nagari (desa adat) di Padang Pariaman, semangat untuk melestarikan malamang masih sangat kuat.

 

Upaya pelestarian dilakukan baik secara individu maupun kolektif. Beberapa komunitas budaya dan lembaga adat mengadakan pelatihan atau lomba malamang sebagai bentuk promosi dan edukasi. Generasi muda pun diajak untuk terlibat langsung dalam proses pembuatan lemang agar memahami makna di baliknya, tidak hanya sekadar melihat sebagai tugas tradisional.

 

Jadi Tradisi malamang untuk mandoa kematian di Padang Pariaman adalah cermin dari nilai-nilai luhur masyarakat Minangkabau: gotong royong, penghormatan terhadap leluhur, serta perpaduan adat dan agama. Di balik aroma wangi lemang yang mengepul, tersimpan kisah cinta, duka, dan harapan. Melalui malamang, masyarakat tidak hanya mengenang yang telah pergi, tetapi juga dalam kebersamaan yang hangat.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *