Oleh: Ardinal Bandaro Putiah
Kabupaten Agam, tanah subur di jantung Ranah Minang, bukan hanya menyimpan keindahan alam dari Tiku hingga Baso, dari hamparan Gunung Marapi dan Singgalang, tapi juga menyimpan sejarah panjang tentang perjuangan adat, agama, dan martabat rakyat kecil. Di balik hijaunya sawah dan sunyinya surau-surau tua, terdapat dinamika sosial yang kompleks, kemiskinan yang membandel, petani yang semakin terjepit, dan generasi muda yang perlahan menjauh dari akar budayanya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat tahun 2024, tingkat kemiskinan di Kabupaten Agam berada di angka 6,82%, sedikit lebih tinggi dari rata-rata provinsi. Sementara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Agam pada tahun yang sama adalah 72,15, tertinggal dari Padang (82,48) dan Bukittinggi (80,10) (BPS Sumatera Barat, 2024). Ini menunjukkan bahwa capaian pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat Agam masih jauh dari ideal.
Di tengah kondisi ini, Benny Warlis tampil dengan dua janji besar: Sawah (Padi) Pokok Murah dan Bangkik dari Surau. Dua frasa yang dengan cerdas merangkum masalah pokok rakyat, perut yang lapar dan jiwa yang hampa. Satu menyasar persoalan ekonomi pangan, satu lagi menyasar krisis nilai dan identitas. Namun seperti kata orang tua di kampung: “Janji itu mudah diucapkan, tapi berat ditunaikan, terlebih kalau hanya berhenti jadi pidato.”
Apakah dua program ini betul-betul membumi dalam realitas nagari? Apakah cukup kuat menopang visi perubahan, atau justru akan terkubur dalam lumpur birokrasi dan politik citra?
Mari kita bedah satu per satu.
Sawah (Padi) Pokok Murah: Ketahanan Pangan atau Sekadar Populisme?
Program Sawah (Padi) Pokok Murah menjanjikan intervensi pemerintah dalam menstabilkan harga beras di tingkat masyarakat. Dalam sejumlah pernyataannya, Bupati Agam menyebut bahwa harga beras akan ditekan agar tetap terjangkau, terutama bagi masyarakat miskin. Skema ini, katanya, akan melibatkan Badan Usaha Milik Nagari (Bumnag), koperasi, dan penguatan produksi lokal.
Namun mari kita tanyakan terlebih dahulu: mengapa harga beras mahal? Masalahnya bukan sekadar distribusi atau inflasi. Akar persoalannya terletak pada struktur pertanian kita yang timpang, mayoritas petani di Agam menggarap lahan kecil (0,25–0,5 hektare), akses ke pupuk bersubsidi sulit, bibit mahal, dan hasil panen sering tidak sesuai harapan karena perubahan iklim. Di sisi lain, sistem tengkulak masih dominan dan membuat petani tak punya kuasa menentukan harga.
Jika pemerintah membeli beras murah dari pasar bebas atau dari petani dengan harga rendah, maka petani makin tertekan. Tapi jika membeli dari petani dengan harga tinggi lalu menjual murah ke masyarakat, maka pemerintah harus menanggung subsidi besar yang bisa jadi tak tersedia dalam APBD.
Alternatifnya? Kembali ke akar, koperasi petani berbasis nagari, subsidi langsung untuk produksi, dan pembentukan lumbung pangan nagari yang dikelola bersama oleh anak nagari. Konsep ini sejalan dengan prinsip ekonomi kerakyatan, produksi, distribusi, dan konsumsi dikendalikan oleh komunitas, bukan oleh kartel atau spekulan pasar.
Namun pertanyaan berikutnya: sejauh mana nagari di Agam diberdayakan untuk mengelola pangan secara mandiri? Bumnag sebagian besar masih stagnan. Koperasi banyak yang mati suri. Tanpa revitalisasi kelembagaan ini, program padi murah akan berjalan di atas fondasi rapuh (Arief, 2020).
Bangkik dari Surau: Romantisme Adat atau Agenda Transformasi?
Surau, dalam tradisi Minangkabau, lebih dari sekadar tempat ibadah. Ia adalah pusat pendidikan, tempat berkumpulnya para ulama, dan saksi lahirnya pemimpin- pemimpin yang memperjuangkan kemerdekaan. Dari surau-lah lahir banyak pemikir dan tokoh, baik dalam dunia agama maupun sosial-politik. Namun dalam beberapa dekade terakhir, keberadaan surau di banyak daerah, termasuk di Agam, semakin terpinggirkan. Surau lebih sering terlihat kosong, hanya digunakan untuk kegiatan salat dan pengajian terbatas.
Program Bangkik dari Surau mencoba menghidupkan kembali peran surau dengan mendirikan pusat-pusat pendidikan berbasis agama dan budaya. Bupati Benny Warlis memandang bahwa surau dapat menjadi tempat penting untuk mengajarkan nilai-nilai adat Minangkabau yang semakin terlupakan, serta mengintegrasikan pendidikan agama dengan kebutuhan zaman, seperti pengetahuan teknologi dan keterampilan praktis.
Namun pertanyaannya adalah, Apakah surau bisa sekadar dihidupkan dengan infrastruktur fisik atau dukungan dana? Lebih dari itu, surau memerlukan pengelola yang paham visi pendidikan yang komprehensif, pendidikan yang tidak hanya mengajarkan teks-teks agama, tetapi juga membekali anak-anak nagari dengan keterampilan hidup yang relevan dengan dunia modern.
Salah satu tantangan terbesar adalah kekurangan guru yang kompeten. Sejauh ini, banyak surau hanya memiliki ustadz yang mengajarkan agama dengan pendekatan yang kaku dan terpisah dari konteks sosial dan ekonomi. Sedangkan untuk memenuhi visi pendidikan yang lebih progresif, surau memerlukan pendekatan yang menyatukan agama dan sains, yang memadukan moralitas Islam dengan pengetahuan duniawi (Yusuf, 2017).
Maka, program ini tidak hanya berbicara tentang membangun fisik surau, tetapi juga tentang memperbarui kurikulum yang mengintegrasikan agama dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Surau harus menjadi tempat pembelajaran yang menyeluruh, yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mempersiapkan anak-anak nagari menghadapi tantangan global, dari pendidikan teknologi hingga kewirausahaan berbasis budaya.
Jika surau sekadar menjadi tempat mengaji tanpa memperhatikan keterkaitan antara nilai-nilai agama dan perkembangan zaman, maka tujuan Bangkik dari Surau akan berisiko gagal. Surau harus menjadi tempat yang tidak hanya membentuk karakter, tetapi juga mencetak generasi yang mampu bersaing di dunia yang semakin kompleks ini (Zulkifli, 2015).
Pembangunan Berbasis Nagari: Kunci atau Ilusi?
Agam, sebagai daerah yang masih mengandalkan sektor pertanian dan adat sebagai pilar kehidupan, memerlukan pendekatan pembangunan yang berbasis pada potensi lokal. Dalam konteks ini, pembangunan nagari ( desa adat ) menjadi kunci untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan dan inklusif. Nagari, sebagai unit terkecil dalam pemerintahan, harus diberdayakan untuk mengelola sumber daya alam, pendidikan, dan ekonomi sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat.
Namun kenyataannya, meskipun banyak kebijakan yang mengarah pada pemberdayaan nagari, proses desentralisasi pemerintahan di Agam masih terbentur oleh banyak hambatan. Salah satunya adalah kekurangan sumber daya manusia yang kompeten di tingkat nagari, baik dalam hal administrasi pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam, maupun pengembangan ekonomi berbasis lokal. Hal ini memperburuk ketimpangan pembangunan antara daerah nagari satu dengan lainnya.
Program Saeah (Padi) Pokok Murah dan Bangkik dari Surau sebenarnya adalah langkah yang baik untuk memperkuat nagari, tetapi hanya akan efektif jika ada koordinasi yang baik antara pemerintah kabupaten, nagari, dan masyarakat. Program ini tidak bisa berjalan jika tidak ada peran aktif dari masyarakat setempat, terutama dalam hal pengelolaan koperasi, distribusi pangan, dan pendidikan.
Di banyak nagari, meskipun sudah ada koperasi atau Badan Usaha Milik Nagari ( Bumnag ), namun banyak yang masih lemah dalam pengelolaannya. Akibatnya, program pembangunan ekonomi berbasis nagari sering kali berjalan di tempat. Untuk itu, selain dana dan infrastruktur, pendidikan kewirausahaan dan manajemen koperasi harus menjadi fokus utama. Dengan memberdayakan masyarakat nagari untuk mengelola sumber daya secara mandiri, Agam bisa memiliki model pembangunan yang lebih berkelanjutan.
Selain itu, keterlibatan elite lokal juga menjadi faktor penentu. Di beberapa nagari, kebijakan pembangunan sering kali terhambat oleh politisasi yang menguntungkan kelompok tertentu saja. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa program ini terbuka dan inklusif, dengan melibatkan semua elemen masyarakat, baik dari kalangan adat, agama, maupun generasi muda.
Suara Rakyat: Narasi dari Sawah dan Surau.
Untuk memahami apakah dua program ini benar-benar efektif, kita perlu mendengarkan suara rakyat langsung. Dari sawah ke surau, suara masyarakat Agam mencerminkan harapan dan ketidakpastian yang ada.
Ketika Penulis berbincang dengan Afdel, seorang petani di Nagari Ladang Laweh, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap program Sawah (Padi) Pokok Murah. “Kalau harga padi kami tetap rendah dan tengkulak (Toke) masih menguasai, apa artinya beras murah?” katanya. “Pemerintah perlu bantu kami dengan subsidi langsung ke petani, bukan hanya janji harga murah di pasar.” Syamsul berharap agar pemerintah memberikan akses yang lebih besar kepada petani untuk mengelola hasil bumi mereka sendiri, tanpa terjebak dalam rantai tengkulak yang merugikan.
Fikri Muhammad Fuad, seorang pengurus surau di Nagari Ladang Laweh, melihat Bangkik dari Surau sebagai harapan baru bagi pendidikan di Agam. “Surau adalah jantung dari pendidikan yang ada di Minangkabau. Kami ingin anak-anak di sini tidak hanya tahu agama, tetapi juga bisa membaca teknologi dan sains,” ujarnya. Namun Fikri juga menambahkan bahwa surau memerlukan pendidikan yang lebih relevan dengan zaman, seperti pelajaran komputer dan bahasa asing, agar anak-anak surau bisa bersaing di dunia global.
Suara-suara seperti inilah yang harus menjadi dasar evaluasi dan pengembangan lebih lanjut dari kedua program ini. Tanpa mendengarkan langsung harapan dan kebutuhan masyarakat, kebijakan pembangunan hanya akan terjebak dalam retorika tanpa dampak yang signifikan.
Rekomendasi: Dari Retorika ke Revolusi pembangunan
Dua program ini memerlukan pendekatan yang lebih struktural dan berbasis pemberdayaan. Berikut beberapa rekomendasi yang perlu diperhatikan:
1. Pemberdayaan Koperasi Nagari dan Pendidikan Petani.
Pemerintah perlu mendirikan koperasi petani yang kuat, dengan memberikan pelatihan pengelolaan yang memadai. Selain itu, pengembangan kapasitas petani melalui pendidikan tentang teknik pertanian yang efisien, penggunaan teknologi, dan pengelolaan hasil panen sangat penting agar mereka tidak hanya menjadi objek subsidi, tetapi juga aktor utama dalam pembangunan ekonomi lokal.
2. Revitalisasi Surau Sebagai Pusat Pendidikan Terpadu.
Program Bangkik dari Surau harus diintegrasikan dengan kurikulum yang tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga memberikan keterampilan yang relevan dengan dunia kerja, seperti keterampilan digital, kewirausahaan, dan pengembangan karakter. Pelatihan bagi pengurus surau juga harus diberikan agar mereka dapat mengelola surau sebagai lembaga pendidikan yang modern, dinamis, dan inklusif.
3. Sinergi antara Pemerintah, Masyarakat, dan Sektor Swasta.
Agar kedua program ini berjalan efektif, diperlukan sinergi antara pemerintah kabupaten, pemerintah nagari, masyarakat, dan sektor swasta. Pemerintah harus berperan sebagai fasilitator dan regulator yang mendukung inisiatif lokal, sementara sektor swasta dapat dilibatkan dalam investasi dan teknologi yang relevan, seperti penyediaan alat pertanian modern atau pengembangan aplikasi pendidikan berbasis surau.
4. Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Dana: Kedua program ini harus dikelola dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Agar masyarakat dapat merasakan manfaatnya, penggunaan dana untuk pengadaan beras murah dan revitalisasi surau harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Sistem pelaporan yang transparan akan membangun kepercayaan publik terhadap kebijakan ini.
Kesimpulan
Program Sawah (Padi) Pokok Murah dan Bangkik dari Surau yang digagas oleh Bupati Benny Warlis di Kabupaten Agam mengandung harapan besar untuk mengatasi kemiskinan dan kebangkitan nilai-nilai adat serta agama. Namun, untuk mewujudkan janji-janji tersebut, dibutuhkan lebih dari sekadar retorika dan anggaran. Yang terpenting adalah keberanian untuk merombak struktur ekonomi dan sosial yang ada, memberdayakan masyarakat melalui pendidikan, dan memperkuat kelembagaan lokal agar program-program tersebut tidak terjebak dalam politik jangka pendek.
Jika kedua program ini bisa dijalankan dengan prinsip-prinsip yang telah disebutkan, bukan tidak mungkin Agam akan menjadi contoh sukses bagi daerah lain dalam mengintegrasikan ekonomi berbasis komunitas dengan kebudayaan lokal, menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan, dan menghasilkan generasi muda yang memiliki karakter serta keterampilan untuk menghadapi tantangan global.
Referensi:
Arief, R. (2020). Pembangunan Ekonomi Lokal Berbasis Koperasi: Teori dan Praktek di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
BPS Sumatera Barat. (2024). Statistik Kemiskinan dan Pembangunan Manusia di Sumatera Barat. Padang: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat.
Yusuf, M. (2017). Surau dan Pendidikan: Menghidupkan Tradisi di Tengah Modernitas. Jakarta: Pustaka Al-Qalam.
Zulkifli, F. (2015). Revitalisasi Surau dalam Pembangunan Pendidikan Agama di Indonesia. Bandung: Alfabeta.